Saya selalu percaya apa itu impian? Ibarat nyawa yang tak akan pernah bisa dipisahkan dari kehidupan. Bukankah menjadi pemimpi membutuhkan suatu keberanian? Itulah yang saya dapatkan dari Kelas Inspirasi Abdya 1, salah satu program mulia dari pengerak yang lahir dari relawan Pengajar Muda Indonesia @nitajuniartirks juga menjabat sebagai koordinator Kelas Inspirasi Abdya.
Awalnya saya masih ragu- ragu mengikuti Kelas Inspirasi ini, berjuta pertanyaan muncul di kepala? Apa yang bisa saya Inspirasikan? apa yang harus saya lakukan di kelas nanti? sedangkan saya belum pernah mengikuti kelas- kelas sebelumnya, saya juga tidak memiliki bakat sebagai seorang guru (walaupun dari dulu saya bercita- cita ingin menjadi “Guru”) dan saya juga paling grogi berdiri didepan. Ah, saya harus mematikan ketakutan – ketakutan itu. Setelah seminggu Relawan Inspirator/ Documentator di buka pendaftarannya, saya mencoba memberanikan diri untuk mendaftar sebagai “Relawan Pengajar” walaupun saya belum tahu apa yang harus saya bagi nantinya jika saya terpilih. Ternyata benar saya menjadi salah satu dari 30 Inspirator dan 9 Documentator yang lolos dari 88 orang Inspirator/ Documentator yang mendaftar di kelas Inspirasi Abdya 1. Meski pada awalnya saya tergerak untuk ingin sekali berpartisipasi di Kelas Inspirasi ini. Meski sadar, siapalah aku. Mengenakan identitas sebagai Relawan Bencana (Taruna Siaga Bencana) rasanya begitu lancang, sementara prestasi aku apa. Tetapi kucoba mematikan rasa malu. Tak harus menunggu sempurna untuk berbagi, bukan?
Sebelum Hari Inspirasi itu tiba, panitia lokal dan beberapa relawan yang terlibat langsung di Kelas Inspirasi mengadakan 1 hari khusus untuk Breafing, salah satu hari yang penting (menurut saya) yang harus diikuti terlebih saya yang belum memiliki pengalaman mengajar. Pada Hari Briefing para relawan diberi tips dan trik teknik dan metode pengajaran yang baik dan benar, struktur pengajaran dengan BOMBER-B (Bang! - Outline - Message - Bridges - Example - Recap - Bang!), cara penyampaian materi, tips manajemen kelas, dan sebagainya.
Selain itu di hari Briefing juga kita bertemu dengan relawan satu tim. Saya masuk di kelompok 8 bersama 3 orang relawan pengajar (Saya sendiri sebagai Relawan Tagana, Kak Wulan sebagai Dokter gigi dan Bang Khalis sebagai Dosen di salah satu Universitas di Meulaboh Aceh Barat) 1 orang dokumentator (Habib). Tapi sayangnya di hari Briefing hanya saya yang hadir. Beruntung di Kelompok 8 yang menjadi Fasilitator nya adalah Rikar, salah satu Fasilitator yang begitu Welcome dengan Inspirator- inspiratornya. Sebelumnya tiap- tiap relawan pengajar akan mendapat waktu sekitar 30 menit untuk mengajar di kelas. Dimana masing- masing Inspirator berkesempatan mengajar di 3 Kelas yaitu di kelas 4, 5 dan 6. Dan kelompok saya berkesempatan mengajar di SD Negeri 8 Jeumpa salah satu Sekolah Dasar yang terletak di Gampong Padang Geulumpang Kabupaten Aceh Barat Daya. Selama briefing yang terus kepikiran di benak saya, metode penyampaian materi seperti apa yang harus saya terapkan? dan yang paling utama menyiapkan mental dan keberanian.
“Jika kita ingin hidup bahagia, kita harus berbagi, salah satunya berbagi inspirasi”. Berbekal pengalaman di Lapangan dan beberapa alat peraga yang sengaja aku persiapkan dari awal. Aku mencoba menarik perhatian anak- anak dengan itu. Kelas yang pertama kumasuki adalah kelas 5. Murid-muridnya antusias dan merespon dengan baik. Aku tak begitu kesulitan menjelaskan kepada mereka tentang apa itu Tagana dan apa peran Tagana di Masyarakat? Anak- anak begitu antusias melihat saya menjelaskan satu persatu tugas dari Tagana itu sendiri. 5 menit sebelum waktu habis, saya mencoba kembali mengambil perhatian anak- anak dengan memperlihatkan beberapa tugas Tagana dilapangan, ku sodorkan laptop tepat dihadapan mereka, dengan seksama mereka bertanya- tanya “Itu banjirnya dimana bang” berhubung yang saya perlihatkan adalah fhoto- fhoto saat banjir melanda Abdya kala itu. Setelah 8 menit berlalu, saya kembali menawarkan anak- anak melihat video gempa dengan antusiasnya anak- anak itu melihat video gempa yang mereka saksikan di layar yang berukuran 14 Inci itu. “Nanti kita akan mengadakan simulasi Gempa Bumi ya! siapa yang mau ikut” kataku sambil mengacukan jari keatas. Semua murid menunjukan jari- jari mereka, “aku – aku” seisi kelas pecah kala itu. Sebelum melakukan simulasi, saya mengajarkan lagu yang berhubungan dengan gempa. Saya teringat pernyampaian materi oleh seorang senior saya di Tagana, anak- anak itu paling suka dengan lagu- lagu. Dan salah satu metode yang dilakukan di Negara- Negara maju seperti Jepang, melakukan pengenalan dini terhadap bencana terhadap anak- anak melalui media lagu. Itulah yang menjadi strategi saya dalam mengajar. Dan satu lagi, Kelas Inspirasi Abdya mampu membuat saya menjadi seorang penari dadakan di kelas dengan memperagakan gerakan demi gerakan lagu tentang gempa.
“Kalau ada gempa lindungi kepala
Kalau ada gempa masuk kolong meja
Kalau ada gempa jauhilah kaca
Kalau ada gempa lari ketempat terbuka”
Semua siswa di kelas begitu antusias dengan gerakan- gerakan yang saya peragakan sambil diikuti oleh siswa- siswa kelas dasar itu. Terik matahari seakan diabaikan oleh para siswa itu ketika mereka berkumpul di halaman sekolah, salah satu titik kumpul jika gempa terjadi. Ada rasa haru saat melihat anak- anak itu tersenyum, meski SD Negeri 8 Jeumpa salah satu Sekolah Dasar yang hanya memiliki siswa paling sedikit. Saya fikir saya dan inspirator yang lain bakalan kewalahan dengan jumlah siswa yang begitu, ternyata diluar dugaan Inspirator dan fasilitator siswanya begitu antusias yang luar biasa. Terbukti dari semangat mereka yang begitu luar biasa. Meski kata Kepala Sekolahnya bahwa SD Negeri 8 Jeumpa salah satu Sekolah Dasar tertinggal jauh dari perkotaan, semangat belajar dan harapan mereka tidak pernah tertinggal. Terbukti dari harapan- harapan mereka yang ingin menjadi Dokter, Guru, Tentara, Polisi, Desainer bahkan ada yang menjadi Astronot (Semoga impian- impian mereka tercapai). Di 5 menit terakhir saya meminta semua murid kelas 5 untuk menceritakan impian- impian mereka, satu persatu dengan gagah berani mereka tampil didepan dengan menceritakan cita- cita mereka. Mau jadi Polisi! Mau jadi tentara! Mau jadi guru! Mau jadi dokter! dan masih banyak lagi kata anak-anak di Kelas Inspirasi. Sudah relatif lebih bervariasi dibandingkan masa kecilku dulu saat ditanya tentang cita-cita. Yang menyedihkan, tak satu pun anak- anak yang ingin jadi Relawan Tagana. Meski menjadi Relawan adalah Profesi yang mulia, bisa membantu sesama tanpa membedakan ras dan suku bangsa.
“Relawan tak dibayar bukan karena tak bernilai, tapi karena tak ternilai” begitulah yang dikatakan oleh Pak Anies Baswedan. Berada di antara kerumunan anak-anak dengan segala bentuk kepolosan mereka, menumbuhkan kembali harapan akan masa depan Indonesia yang lebih baik. Berada di antara anak-anak juga mengingatkan kembali akan mimpi yang masih bisa dijemput. Percayalah, bahwa tak ada mimpi yang terlalu besar bagi mereka yang memiliki keberanian untuk mengejarnya. Semoga Kelas Inspirasi terus bisa memberi inspirasi bagi kita semua. Salah satu bukti bahwa kehadiran kami Para Relawan kelas Inspirasi Abdya menjadi bukti bahwa masih ada yang peduli dengan Pendidikan di Indonesia.
Congratulations @adiyanto! You received a personal award!
Click here to view your Board
Do not miss the last post from @steemitboard:
Vote for @Steemitboard as a witness and get one more award and increased upvotes!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Congratulations @adiyanto! You received a personal award!
You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking
Do not miss the last post from @steemitboard:
Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit