Sejarah Ekonomi Islam

in contoh •  7 years ago  (edited)

sejarah ekonomi islam.jpg

KATA PENGANTAR
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Segala puji dan syukur kehazirat Allah yang mana oleh allah telah memberikan kita kesehatan jasmani dan rohani, sehingga saya selaku penyusun telah dapat menyusun sebuah makalah yang berjudul “Ekonomi Islam”

Isi makalah ini merupakan hasil pengamatan kami Isi makalah ini merupakan hasil kami Mahasiswa/i fakultas keguruan ilmu pendidikan universitas serambi mekkah geudong dengan mengendalikan membaca buku-buku pustaka yang dengan. Yaitu dengan membaca buku-buku pustaka yang berhubungan dengan Ekonomi Islam tersebut.

Saya selaku penyusun menyadari bahwa hasil makalah ini masih sangat jauh dari kebenarannya, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran-saran dari semua Mahasiswa dan mahasiswi kususnya dan seluruh para pembaca pada umumnya, demi kebaikan dan kemeslahatan di masa yang akan datang.

Terima kasih saya ucapkan kepada Dosen pembimbing yang kami hormati, selaku pendidik yang telah memberikan arahan dan saran-saran dalam melakukan tugas ini. Sehingga dengan adanya saran dan arahan beliau selesailah tugas kmai Dan juga dapat di jadikan pedoman tambahan bagi mahasiswa maupun mahasiswi khususnya.

Lhoksukon, ………./……….2014

P e n y u s u n

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB 1 : PENDAHULUAN iii
1. 1 Latar Belakang iii
1. 2 Rumusan Masalah iii
1. 2 Tujuan Pembahasan iii
1.3. Mamfaat iv

BAB 2 : PEMBAHASAN 1
A. Sejarah Ekonomi Islam 1
B. Pengertian Ekonomi Islam 2
C. Landasan Ekonomi Islam 2
D. Perkembangan Ekonomi Islam Saat Ini 3
E. Asas-asas sistem ekonomi islam 4
a. Asas Sistem Ekonomi Islam 4
1. Kepemilikan Individu (al milkiyyah al fardiyyah) 5
2. Kepemilikan Umum (al-milkiyyah al-‘aammah) 6
3. Kepemilikan Negara (al-milkiyyah al-daulah) 7
b. Asas Kedua: Pengelolaan Kepemilikan 7
c. Asas Ketiga: Distribusi Kekayaan Diantara Manusia 8
F. Pandangan Islam terhadap Ekonomi 9
G. Politik ekonomi Islam. 10
H. Kaidah Umum Perekonomian 12

BAB 3 : PENUTUP 13
A. KESIMPULAN 13

DAFTAR REFERENSI 14

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan ekonomi Islam dalam tataran praktis maupun akademis sangat pesat. Hal ini dapat dilihat dari data statistik perbankan syari’ah yang dikeluarkan tiap bulannya oleh bank Indonesia, juga penelitian di bidang perbankan syari’ah, mulai dari soal faktor-faktor yang memengaruhi minat masyarakat untuk menggunakan jasa perbankan syari’ah, bidang investasi syari’ah, hingga soal model pemberdayaan dana zakat di Indonesia.
Inti asas ekonomi Islam adalah hak milik. Hak milik itu terdiri dari hak milik pribadi, hak milik umum, dan milik Negara. Dalam realitas, banyak praktik ekonomi (mikro maupun makro) mengalami kegagalan disebabkan kekeliruan pemahaman mengenai hak milik, seperti mendapatkan harta korupsi atau suap untuk membangun fasilitas umum dianggap benar, kebijakan sumber daya air, kebijakan sumber daya alam dan energi, kebijakan pengentasan kemiskinan, kebijakan privatisasi BUMN Milik Umum, kenaikan harga BBM dan berbagai penyimpangan lainnya.
Dewasa ini kehidupan ekonomi telah menjadi standar kehidupan individu dan kolektif suatu negara-bangsa. Keunggulan suatu negara diukur berdasarkan tingkat kemajuan ekonominya. Ukuran derajat keberhasilanmenjadi sangat materialistk. Oleh karena itu, ilmu ekonomi menjadi amat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Namun demikian, pakar ilmu ekonomi sekaliber Masrhal menyatakan bahwa kehdiupan dunia ini dikendalikan oleh dua kekuatan besar; ekonomi dan keimanan (agama), hanya saja kekuatan ekonomi lebih kuat pengaruhnya daripada agama.
Sementara itu perkembangan ekonomi Islam akhir-akhir ini begitu pesat, baik sebagai ilmu pengetahuan maupun sebagai sebuah sistem ekonomi telah mendapat banyak sambutan positif di tingkat global. Sehingga dalam tiga dasawarsa ini mengalami kemajuan, baik dalam bentuk kajian akademis di Perguruan Tinggi Negeri maupun swasta, dan secara praktik operasional.
Sistem Keuangan Islam merupakan bagian dari konsep yang lebih luas tentang ekonomi Islam. Sistem keuangan Islam bukan sekedar transaksi komersial, tetapi harus sudah sampai kepada lembaga keuangan untuk dapat mengimbangi tuntutan zaman. Bentuk sistem keuangan atau lembaga keuangan yang sesuai dengan prinsip Islam ádalah terbebas dari unsur riba. Kontrak keuangan yang dapat dikembangkan dan dapat menggantikan sistem riba adalah mekanisme syirkah yaitu : musyarakah dan mudharabah (bagi hasil).

B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka ada rumusan masalah yang dapat diambil sebagai kajian dalam makalah ini antara lain:

  1.  Bagaimana perkembagan ekonomi islam?
    
  2.  Bagaimana analisis perkembangan islam?
    
  3.  Bagaimana perkembangan ekonomi islam?
    
  4.  Bagaimana analisis perkembangan ekonomi islam?
    

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka makalah ini di dibuat dengan tujuan :

  1.  Untuk mengetahui perkembangan ekonomi islam serta analisisnya.
    
  2.  Untuk mengetahui perkembangan ekonomi silam serta analisisnya.
    

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Ekonomi Islam
Sebenarnya ada dua macam sejarah ekonomi. Pertama adalah sejarah pemikiran ekonomi yang merefleksikan evolusi pemikiran tentang ekonomi. Dan kedua adalah sejarah perekonomian yang menggambarkan bagaimana perekonomian itu bisa menjadi perekonomian suatu bangsa, misalnya Inggris atau Jepang, bias pula suatu kawasan misalnya Eropa Barat, Timur jauh atau Asia Tenggara, dan bahkan perekonomian dunia berkembang.
Pemikiran ekonomi Islam berusia setua Islam itu sendiri. Sepanjang 14 abad sejarah Islam kita menemukan studi yang berkelanjutan tentang isu ekonomi dalam pandangan syari’ah. [1] Sebagian besar diskusi ini hanya terkubur dalam literatur tafsir Al-Qur’an, sarah Hadits, dasar-dasar hukum Ushul fiqih dan Hukum Fiqih. Belum ada usaha yang dilakukan untuk mengkaji lebih dalam materi-materi ini dan menyajikannya secara sistematis. Studi ini dan studi filsafat moral dan histografi mendapatkan perhatian ketika ilmu social yang baru dilahirkan tersebut menjadi kurikulum di Universitas Negara muslim dan para sarjana mulai menjari warisan Islam di bidang ini.
Beberapa usaha telah dilakukan akhir-akhir ini untuk mempelajari ilmu ekonomi yang telah diajarkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Karena isi kedua sumber ini bersifat ketuhanan, ekonomi Islam hanya berupa interpretasi manusia itu sendiri yang dalam hal ini menampakkan ciri khas pemikiran ekonomi dalam Islam. Pengajaran ekonomi di dalam Al-Qur’an dan Sunnah bersifat Universal, tetapi manusia mencoba menginterpretasikan dan mengaplikasikannya sesuai dengan kepentingan pada waktu dan tempat usaha-usaha tersebut dilakukan.
Tetapi yang jelas banyak aktivitas pengaturan ekonomi yang dilakukan selama masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin dan Dinasti Umayyah yang berhubungan dengan subjek ini seperti administrasi tanah kharaj. [2] Pengumpulan dan pembayaran zakat, serta cara para penguasa dan penasehat menggunakan Baitul Maal dalam menangani permasalahan ekonomi pada masa mereka. Satu hal yang dapat ditangkap dengan jelas adalah bahwa perhatian mereka pada pemenuhan kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan, dan kebebasan merupakan objek utama yang menginspirasikan ekonomi Islam sejak permulaan dulu.
B. Pengertian Ekonomi Islam
Ekonomi Islam didefinisikan sebagai cabang ilmu yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang langka, yang sejalan dengan ajaran islam, tanpa membatasi kebebasan individu ataupun menciptakan ketidakseimbangan makro dan ekonomi logis. [3]
Pandangan islam terhadap masalah kekayaan berbeda dengan pandangan islam terhadap masalah pemanfaatan kekayaan. Menurut Islam, sarana sarana yang memberikan kegunaan ( utility ) adalah masalah lain. Karena itu, kekayaan dan tenaga manusia, dua duanya merupakan kekayaan sekaligus sarana yang bias memberikan kegunaan ( utility ) atau manfaat. Sehingga, kedudukan kedua duanya dalam pandangan islam, dari segi keberadaan dan produksinya dalam kehidupan, berbeda dengan kedudukan pemanfaatan serta tata cara perolehan manfaatnya.

C. Landasan Ekonomi Islam
Pada pembahasan ekonomi konvensional semua aktifitas berdasarkan perilaku individu-individu yang secara nyata terjadi di setiap unit ekonomi. Karena tidak adanya batasannya syariah yang digunakan, maka prilaku dari setiap individu dalam unit ekonomi tersebut akan bertindak dan berperilaku sesuai dengan norma atau aturan menurut persepsinya masing-masing.
Sedangkan dalam ekonomi Islam berlandaskan dari syariat. Jika kita telaah lebih dalam landasan ekonomi Islam dibagi menjadi dua, yaitu: landasan tetap dan landasan tidak tetap. Pertama, Landasan tetap berkaitan dengan dasar-dasar utama agama Islam. Atau dapat diibaratkan sebagai kumpulan pokok ekonomi yang diambil dari Nash Al-Qur`an dan Sunah dan diharuskan bagi seorang Muslim untuk mengikutinya pada setiap zaman dan tempat. Landasan ini tidak bisa berubah dalam kondisi apapun. Adapun landasan tersebut diantaranya;

  1. Pokok bahwa harta pada hakikatnya adalah milik Allah SWT, dan manusia hanya diperbolehkan untuk memanfaatkan dan mengelolanya. Seperti terdapat dalam Al-Qur`an yang artinya “ Dan hanya kepunyaan Allah lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi”. Juga terdapat pada Firman Allah SWT, artinya “ Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.
  2. Pokok bahwa Islam menjamin kebutuhan setiap individu umat Muslim, seperti Firman Allah SWT, artinya “ Dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang miskin yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa(yang tidak mau meminta)”
  3. Pokok penetap keadilan social dan memelihara keseimbangan ekonomi antara individu umat muslim artinya “ Supaya harta itu jangan hanya beradara diantara orang-orang kaya saja diantara kamu.” Dan masih banyak dalil-dalil Al-Quran lainnya menerangkan hukum-hukum yang berkaitan dengan perekonomian dalam Islam, seperti larangan riba, kewajiban membayar Zakat dan lain sebagainya. Selain dari Al-Quran ekonomi Islam berlandaskan pula dari perkataan Nabi Muhammad SAW yang diutus sebagi penuntun umat manusia dalam seluruh unsur kehidupannya. Diantaranya . Perkataan Rasul ini yang menjadi landasan para Khulafa Rasyidin dalam pelarangan ihtikar atau penimbunan barang. Karena dengan penimbunan ini akan menaikan haraga barang jauh diatas harga asli, dan akan terjadi kerusakan harga sehingga menyulitkan masyarakat. Kedua, landasan tidak tetap dan berkaitan dengan aplikasi. Yaitu penyelesaian permasalahan ekonomi yang diambil dari berdasarkan hasil ijtihad para ulama sesuai dengan dalil yang diambil dari Al-quran dan Sunah. Seperti penjelasan tentang jenis muamalah yang teradap unsur riba, penjelasan tentang upah minimum pekerja, dan batasan keadilan social atau keseimbangan ekonomi diantara individu muslim. Semua kesimpulan yang diambil para ulama ini bukan bersifat tetap dan bisa terjadi perbedaan pendapat atau sesuai dengan situasi dan kondisi.[5]

D. Perkembangan Ekonomi Islam Saat Ini
Perkembangan ekonomi islam yang semakin cerah dewasa ini, dengan ditandai dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah di indonesia baik lembaga perbankan maupun non bank. Tidak hanya itu di dunia pendidikan, semakin bermunculan program studi ekonomi islam di beberapa universitas di indonesia. Perkembangan ekonomi islam yang semakin marak ini merupakan cerminan jawaban atas gairah dan kerinduan umat islam di Indonesia ini akan suatu sistem perekonomian yang mampu mensejahterahkan bangsa dan membebaskan bangsa dari terpuruknya perekonomian indonesia oleh beberapa sebab, diantaranya krisis ekonomi, kemiskinan, pengangguran, juga sebagai pembaharuan ekonomi dalam negeri yang masih penuh kerusakan ini, serta awal kebangkitan ekonomi islam di Indonesia maupun di seluruh dunia, misalnya di Indonesia berdiri Bank Muamalat tahun 1992.

Ketika membahas perkembangan ekonomi islam tak lepas dari pembahasan mengenai Perubahan ekonomi global , seperti pada krisis yang terjadi di negara Timur Tengah dan Eropa. Krisis ekonomi, politik, dan sosial yang mewarnai lingkungan makro ekonomi nasional. Dampak dari situasi di luar negeri menjadi sebab utamanya. Kredit Yunani sebagai contohnya menjatuhkan mata uang Euro dan juga ikut menjatuhkan kondisi pasar uang dan pasar modal. Pemodal asing banyak yang mulai menarik uangnya karena kekhawatiran krisis Eropa. Selain krisis Eropa, krisis yang terjadi di Timur Tengah juga ikut memberikan dampak terhadap investor asing dari Timur Tengah karena kondisi di Timur Tengah yang tidak pasti. Selain itu di tingkat ASEAN sendiri, dengan akan dicanangkannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Sebagai salah satu pilar ASEAN Vision 2020 tentunya, akan banyak persiapan bagi Indonesia. Berdasarkan laporan AEC Scorecard yang diterbitkan oleh Sekretariat ASEAN pada tahun 2009, Negara yang dinilai mencapai tingkat implementasi MEA tertinggi adalah Singapura dengan nilai 93,52%. Dari 10 negara anggota, Indonesia menempati urutan ke-7 dengan nilai 80,37%. Hal tersebut mencerminkan bahwa Indonesia belum sepenuhnya siap menghadapi MEA. Terbentuknya pasar tunggal sebagai karakteristik utama MEA meyebabkan seluruh Negara ASEAN khususnya Indonesia mau tidak mau harus bersaing untuk menjadi Negara pengekspor agar neraca perdagangan Negara tetap seimbang di tengah kondisi produk-produk asing mulai membanjiri Indonesia.

Selain isu-isu global tersebut, terdapat juga beberapa isu khusus ekonomi Islam yang berkembang di Indonesia, setelah persoalan gadai emas yang kemudian menjadi berkebun emas yang sempat menjadi perbincangan beberapa bulan lalu, hingga akhirnya diadakan pengaturan ulang mengenai gadai emas ini agar tidak menimbulkan spekulasi dan riba. Persoalan perbankan syariah masih saja menjadi topik-topik di beberapa media massa terkait perkembangan ekonomi syariah. Menurut sekjen asbisindo, Achmad K Permana mengatakan bahwa ada tiga masalah besar di perbankan syariah, antara lain masalah ketersediaan produk dan standarisasi produk perbankan syariah, tingkat pemahaman masyarakat terhadap produk bank syariah, serta masalah terkait ketersedian SDM perbankan syariah. mengingat Perbankan syariah Indonesia paling pesat pertumbuhannya yaitu 38% dibandingkan dengan pertumbuhan perbankan syariah dunia yang berkisar 10% sedangkan SDM yang ada sekarang masih mengambil dari SDM bank konvensional yang hanya di berikan beberapa kali training mengenai perbankan syariah. Selain itu Perbankan syariah saat ini masih banyak tantangan untuk menjadi sistem perekonomian Indonesia. Bank syariah belum menjadi kepentingan isu nasional, hal ini berbeda dengan Malaysia yang telah didukung oleh pemerintahnya secara penuh.

E. ASAS-ASAS SISTEM EKONOMI ISLAM

  1. Asas Sistem Ekonomi Islam
    

Kegunaan ( utility ) adalah kemampuan suatu barang untuk memuaskan kebutuhan manusia. Karena itu, kegunaan ( utility ) tersebut terdiri dari dua hal : pertama, adalah batas kesenangan yang bias dirasakan oleh manusia ketika memperoleh brang tertentu. Kedua, keistimewaan keistimewaan yang tersimpan pada zat barang itu sendiri, termasuk kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan manusia, dan bukan hanya kebutuhan orang tertentu saja. Kegunaan ( utility ) ini kadang lahir dari tenaga manusia, atau lahir dari harta kekayaan, atau lahir dari harta kekayaan, atau dari kedua duanya sekaligus.
Sesuai dengan fitrahnya, manusia bisa berusaha untuk memperoleh harta kekayaan tersebut untuk dikumpulkan. Oleh karena itu, manusia dan harta kekayaan adalah sama sama merupakan alat yang bisa dipergunakan untuk memuaskan kebutuhan kebutuhan manusia. Dua duanya merupakan kekayaan yang bisa diraih oleh manusia untuk dikumpulkan. Jadi, kekayaan itu sebenarnya merupakan akumulasi dari kekayaan dan tenaga.

Adapun Asas Sistem Ekonomi Islam adalah sebagai berikut :
Asas-asas sistem ekonomi Islam ada tiga, yaitu kepemilikan (الملكية), pengelolaan kepemilikan ( التصرف في الملكية), distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat (توزيع الثروة بن الناس)

a. Asas Pertama: Kepemilikan
Kepemilikan adalah tatacara yang ditempuh oleh manusia untuk memperoleh kegunaan dari suatu jasa ataupun barang. Adapun definisi kepemilikan menurut syara’ adalah idzin dari al-syaari’ (pembuat hukum) untuk memanfaatkan suatu al-‘ain (dzat). Al-Syaari’ di sini adalah Allah swt. Adapun al-‘ain adalah sesuatu yang bisa dimanfaatkan. Sedangkan ‘izin’ adalah hukum syara’. Jenis-jenis kepemilikan ada tiga, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.

  1. Kepemilikan Individu (al milkiyyah al fardiyyah).
    Kepemilikan individu adalah izin dari Allah swt kepada individu untuk memanfaatkan sesuatu.
    Hak individu dan kewajiban negara terhadap kepemilikan individu:
    a) Hak kepemilikan individu adalah hak syar’iy bagi individu. Seorang individu berhak memiliki harta yang bergerak maupun tidak bergerak seperti mobil, tanah, dan uang tunai. Hak ini dijaga dan diatur oleh hukum syara’.
    b) Pemeliharaan kepemilikan individu adalah kewajiban negara. Oleh karena itu, hukum syara’ telah menetapkan adanya sanksi-sanksi sebagai tindakan preventif (pencegahan) bagi siapa saja yang menyalahgunakan hak tersebut.
    Sebab-sebab Kepemilikan Individu
    Syaria’at Islam telah membatasi sebab-sebab kepemilikan harta oleh individu dengan lima sebab, yaitu :
    a. Bekerja dalam perdagangan, industri, dan pertanian
    b. Warisan
    c. Kebutuhan kepada harta sekedar untuk mempertahankan hidup.
    d. Pemberian harta oleh negara kepada rakyatnya.
    e. Harta yang diperoleh seorang individu tanpa ada kompensasi apapun, seperti pemberian (hibah), hadiah, diyat, mahar dan shadaqah.

  2. Kepemilikan Umum (al-milkiyyah al-‘aammah)
    Kepemilikan umum adalah izin dari al-Syaari’ kepada al- jamaa’ah (masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu. Kepemilikan umum ini terbagi menjadi tiga, yakni:
    a. Segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital bagi masyarakat, yang akan menyebabkan persengketaan tatkala ia lenyap; seperti air, padang rumput, dan api. Rasulullah saw bersabda:
    الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
    Manusia berserikat dalam 3 hal yaitu air, padang rumput, dan api.
    Yang juga termasuk setiap peralatan yang digunakan untuk mengelola fasilitas umum, seperti alat pengebor air yang dibutuhkan oleh masyarakat umum, beserta pipa-pipa yang digunakan untuk menyulingnya (menyalurkannya). Demikian juga peralatan yang digunakan sebagai pembangkit listrik yang memanfaatkan air milik umum (PLTA), tiang-tiang, kabel-kabel, dan stasiun distribusinya.
    b. Segala sesuatu yang secara alami, mencegah untuk dimanfaatkan hanya oleh individu secara perorangan; seperti, jalanan, sungai, laut, danau, mesjid, sekolah-sekolah negeri, dan lapangan umum. Sabda Rasulullah saw:
    «لاَ حَمِىَ اِلاَّ ِللهِ وَرَسُوْلِهِ»
    Tidak ada pagar pembatas kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya. (HR. Bukhori, Abu Dawud, Ahmad)
    Makna hadits ini adalah, tidak ada hak bagi seorangpun untuk memberikan batasan atau pagar (mengkapling) segala sesuatu yang diperuntukkan bagi masyarakat umum.
    c. Barang tambang yang depositnya sangat besar. Dalilnya, adalah hadits riwayat Ibnu Majah (2466) dan Ad Darimi (2494) dengan sanad hasan, dari Abyadh bin Hamal bahwa ia telah meminta kepada Rasul saw untuk mengelola tambang garam disuatu daerah yg tidak berair (dekat bendungan ma’rib). Rasulullah memberikannya. Setelah ia pergi, Al Aqra` bin Habis At Taimi berkata;
    يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنِّي قَدْ وَرَدْتُ الْمِلْحَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَهُوَ بِأَرْضٍ لَيْسَ بِهَا مَاءٌ وَمَنْ وَرَدَهُ أَخَذَهُ وَهُوَ مِثْلُ مَاءِ الْعِدِّ
    "Wahai Nabiyullah, sesungguhnya aku telah mendatangi garam itu pada masa Jahiliyah, yaitu dilahan yang tidak ada airnya, lalu orang-orangpun datang dan mengambilnya. Garam tersebut seperti air yang tidak habis-habisnya." Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu meminta agar pemberian garam kepadanya dibatalkan,
    Rasul bersikap demikian karena sesungguhnya tambang garam tersebut adalah barang tambang seperti air mengalir yang tidak terbatas depositnya.

  3. Kepemilikan Negara (al-milkiyyah al-daulah)
    Kepemilikan negara adalah setiap harta yang pengelolaannya diwakilkan pada khalifah sebagai kepala negara. Jenis-jenis harta tersebut adalah seperti; ghanimah (rampasan perang), jizyah (pajak untuk orang kafir), kharâj, pajak, harta orang-orang murtad, harta orang yang tidak memiliki ahli waris, panti-panti dan wisma-wisma bagi aparat pemerintahan yang dibuka oleh daulah Islam, dan tanah-tanah yang dimiliki oleh negara.

b. Asas Kedua: Pengelolaan Kepemilikan
Pengelolaan kepemilikan adalah tata cara yang seorang muslim wajib terikat dengan tata cara tersebut tatkala ia mempergunakan harta. Syari’at Islam telah membatasi tata cara ini dengan hukum-hukum syara’; dalam dua perkara, yaitu; pengembangan kepemilikan dan pengeluaran harta.

  1. Pengembangan Kepemilikan (تنمية الملكية)
    Islam telah mensyari’atkan hukum-hukum tertentu bagi pengembangan kepemilikan, baik dalam perdagangan, pertanian, ataupun industri. Dalam urusan perdagangan Islam telah memperbolehkan jual-beli, ijaarah (upah mengupahi) dan syirkah (perseroan). Selain itu, Islam telah mengharamkan riba, penimbunan (ihtikaar), penipuan, perjudian, dan lain-lain.
    Dalam masalah pertanian, Islam membolehkan untuk memiliki tanah untuk ditanami. Di sisi lain, Islam telah mengizinkan mengambil tanah tersebut dari pemiliknya jika ia tidak mengelolanya selama 3 tahun berturut-turut.
    Dalam persoalan industri, Islam membolehkan seorang muslim memiliki pabrik, memproduksi, dan menjual hasil-hasil produksinya. Akan tetapi produk tersebut terbatas pada hal-hal (benda/barang) yang dihalalkan.

  2. Pengeluaran Harta (infaaq ul maal)
    Syara’ telah menetapkan beberapa cara untuk mengeluarkan harta, yang antara lain adalah:

  3. Zakat, sebagai kewajiban bagi setiap individu yang terkena beban kewajiban ini.

  4. Membelanjakan harta untuk keperluan dirinya dan untuk orang-orang yang harus di beri nafkah seperti istri, kedua orang tua, anak-anak, yang hukumnya adalah wajib.

  5. Silaturahim dengan saling memberi hadiah, yang hukumnya adalah sunnah.

  6. Shodaqoh untuk orang-orang fakir dan orang-orang yang membutuhkan, yang hukumnya adalah sunnah.

  7. Mengeluarkan harta untuk keperluan jihad, yakni membeli senjata, mempersiapkan tentara, sebagaimana yang pernah dilakukan para shahabat Nabi shahabat saat perang Tabuk dan perang lainnya, yang dalam hal ini hukumnya adalah fardhu kifayah.
    Selain itu, Islam telah mengharamkan beberapa macam cara pengeluaran harta, yakni:

  8. Israaf (melampaui batas) dan tabdzîr (mubadzir), yakni mengeluarkan harta dalam hal yang diharamkan dan dalam rangka kemaksiatan.

  9. Risywah (sogok), yaitu pemberian harta kepada orang-orang yang memiliki wewenang untuk melaksanakan suatu urusan tertentu diantara urusan-urusan rakyat, seperti pegawai pemerintahan dan para penguasa, agar mereka (orang yang memiliki wewenang) melaksanakan urusan tersebut (padahal seharusnya urusan tersebut wajib dilaksanakan tanpa mendapatkan imbalan)

  10. Kikir (al bukhl) dan pelit (taqtiir), yakni tidak mengeluarkan harta yang diwajibkan atas seorang muslim. Misalnya tidak mengeluarkan zakat dan nafkah yang wajib baginya untuk ditunaikan kepada orang yang kesusahan. Firman Allah swt:
    ]وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا[
    Dan orang-orang tidak (pula) kikir dan adil (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara demikian (TQS. Al Furqaan: 67).
    Pengeluaran harta oleh daulah Islam dilakukan pada sebuah kondisi yang mengharuskan negara melakukan tugas-tugas wajib bagi kaum muslim secara keseluruhan, misalnya memberi makan orang-orang yang menderita kelaparan, sebagaimana yang pernah terjadi pada ‘âm ar ramadâh (tahun paceklik) di masa Umar bin Khaththab.

c. Asas Ketiga: Distribusi Kekayaan Diantara Manusia
Terdapat 3 cara, yaitu:

  1. Kewajiban Zakat.
  2. Negara mendistribusikan hartanya kepada individu rakyat yang membutuhkan tanpa imbalan, seperti sebidang tanah yang diberikan kepada orang yang mampu (kuat) untuk mengelolanya (menanaminya), dan mengeluarkan harta kepada mereka (orang yang membutuhkan) yang diambil dari harta kharaaj dan jizyah.
    Syari’at Islam melarang penimbunan emas dan perak dalam kapasitasnya sebagai alat tukar --harga untuk membeli barang dan jasa--, agar uang tetap terinvestasikan di dalam lapangan pertanian, perdagangan dan industri. Dengan demikian, niscaya pengangguran akan dapat dihapuskan, sekaligus akan sangat membantu pendistribusian kekayaan.
  3. Islam telah menetapkan aturan mengenai pembagian harta warisan di antara para ahli waris. Dengan demikian, niscaya akan dapat terdistribusikan bentuk-bentuk kekayaan yang berskala besar. Allahu Ta’ala A’lam.

Prinsip Islam yang dapat dijadikan poros adalah bahwa, “kekuasaan palinh tinggi hanyalah milik Allah semata (QS, 3:26, 15:2, 67:1) dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya di muka bumi,” (QS, 2:30, 4:166, 35:39). Sebagia khalifah-Nya, “manusia telah diciptakan dalam bentuk yang paling baik. Seluruh ciptaan lainnya seperti matahari, bulan, langit (cakrawala), telah ditakdirkan untuk dipergunakan oleh manusia.”
Dapat dikatakan prinsip-prinsip kegiatan Ekonomi Islam adalah sebagai berikut:

  1.  Kekuasaan milik tertinggi adalah milik Allah dan Allah adalah pemilik yang absolute atas semua yang ada
    
  2.  Manusia merupakan pemimpin (khalifa) Allah di bumi tapi bukan pemilik yang sebenarnya.
    
  3.  Semua yang didapatkan dan dimiliki oleh manusia adalah karna seizing Allah, oleh karena itu saudara-saudaranya yang kurang beruntung memiliki hak atas sebagian kekayaan yang dimiliki saudara-saudaranya yang lebih beruntung.
    
  4.  Kekayaan tidak boleh ditumpuk terus atau ditimbun.
    
  5.  Kekayaan harus diputar.
    
  6.  Eksploitasi ekonomi dalam segala bentuknya harus dihilangkan.
    
  7.  Menghilangkan jurang perbedaan antar individu dapat menghapuskan konflik antar golongan dengan cara membagikan kepemilikan seseorang setelah kematiannya kepada para ahli warisnya.
    
  8.  Menetapkan kewajiban yang sifatnya wajib dan sukarela bagi semua individu termasuk bagi anggota masyarakat yang miskin. [5]
    

F. Pandangan Islam terhadap Ekonomi
Pandangan Islam terhadap masalah kekayaan berbeda dengan pandangan Islam terhadap masalah pemnfaatan kekayaan. Menurut Islam, sarana-sarana yang memberikan kegunaan (utility) adalah masalah tersendiri, sedangkan perolehan kegunaan (utility) adalah masalah lain. Karna itu kekayaan dan tenaga manusia, dua-duanya merupakan, sekaligus sarana yang bisa memberikan kegunaan (utility) atau manfaat sehingga, kedudukan kedua-duanya dalam pandangan Islam, dari segi keberadaan dan produsinya dalam kehidupan, berbeda dengan kedudukan pemanfaatan serta tata cara perolehan manfaatnya. [6]
Karena itu, Islam juga ikut campurtngan dalam masalah pemanfaatan kekayaan dengan cara yang jelas. Islam, misalnya mengharamkan beberapa pemanfaatan harta kekayaan, semisal khamer dan bangkai. Sebagaimana Islam juga mengharamkan pemanfaatan tenaga manusia, seperti dansa, (tari-tarian) dan pelacuran. Islam juga mengharamkan menjual harta kekayaan yang haram untuk dimakan, serta mengharamkan menyewa tenaga untuk melakukan sesuatu yang haram dilakukan. Ini dari segi pemanfaatan harta kekayaan dan pemanfaatan tenaga manusia. Sedangkan dari segi tata cara perolehannya, Islam telah mensyariatkan hokum-hukum tertentu dalam rangka memperoleh kekayaan, seperti hokum-hukum berburu, menghidupkan tanah mati, hokum-hukum kontrak jasa, industry serta hukum-hukum waris, hibbah, dan wasiat.
Oleh karena itu, amatlah jelas bahwa Islam telah memberikan pandangan (konsep) tentang system ekonomi, sedangkan ilmu ekonomi tidak. Dan Islam telah menjadikan pemnfaatan kekayaan serta dibahas dalam ekonomi. Sementara, secara mutlak Islam tidak menyinggung masalah bagaiamana cara memproduksi kekayaan dan factor prodok yang bisa menghasilkan kekayaan.

G. Politik ekonomi Islam.
Politik ekonomi adalah tujuan yang ingin dicapai oleh hokum-hukum yang dipergunakan untuk memecahkan mekanisme mengatur urusan manusia. Sedangkan politik ekonomi Islam adalah jaminan tercapainya pemenuhan semua kebutuhan primer (bacis needs) tiap orang secara menyeluruh, berikut kemungkinan taip orang untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kesanggupannya, sebagi individu yang hidup dalam sebuah masyarakat yang memiliki gaya hidup (life style) tertentu. Islma memandang tiap orang secara pribadi, bukan secara kolektif sebagai komunitas yang hidup dalam sebuah Negara. [7] Pertamakali, Islam memandang tiap orang sebagai manusia yang harus dipenuhi semua kebutuhan primernya secara menyeluruh. Baru berikutnya, Islam memandangnya dengan kafa sitas pribadinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya. Kemudian pada saat yang sama, Islam memndangnya sebagai orang yang terikat dengan sesamanya dalam dalam interaksi tertentu, yang dilaksanakan dengan mekanisme tertentu, sesuai dengan gaya hidup tertentu pula.
Oleh karena itu, politik ekonomi Islam bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan dalam sebuah Negara semata, tanpa memperhatikan terjamin tidaknya tiap orang menikmati kehidupan tersebut.
Ketika mensyariatkan hukum-hukum ekonomi pada manusia. Islam telah mensyariatkan hukum-hukum tersebut kepada pribadi. Dengan itu, hokum-hukum syara’ telah menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan primer tiap warga Negara Islam secara menyeluruh, sebagai sandang, pangan, dan papan. Caranya adalah mewajibkan bekerja tiap laki-laki yang mampu bekerja, sehingga dia bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya sendiri, berikut kebutuhan orang-orang yang nafkahnya menjadi tanggungannya. Kalau orang tersebut suh tidah mampu bekerja, maka Islam mewajib kepada anak-anaknya, serta ahli warisnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya. Atau bila yang wajib menanggung nafkahnya tidak ada, maka baitul mal-lah yang wajib memenuhinya.
Jelaslah bahwa Islam tidak memisahkan antara manusia dan eksistensinya sebagai manusia, serta antara eksistensinya sebagai manusia dan pribadinya. Islam juga tidak perah memisahkan antara anggapan tentang jaminan pemenuhan kebutuhan primer yang dituntut oleh masyarakat dengan masalah mungkin-tidaknya terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier mereka. Akan tetapi Islam telah menjdikan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut dengan apa yang dituntut oleh masyarakat sebagai dua hal yang seiring, yang tidak mungin dipisahkan antara satu dengan yang lain. Justru Islam menjandikan apa yang ditutuntut oleh masyarakat tersebut sebagai asa (dasar pijakan) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang ada.
Islam mendorong manusia agar bekerja, mencari rezeki dan berusaha. Bahkan Islam telah menjadikan hukum mencari rezeki tersebut. Adalah fardhu. Allah swt. Berfirman:
“Maka, berjalanlah di segala penjurunya, serta makanlah sebagian rezeki-Nya.”
(QS. Al-Mulk: 15)
Banyak hadist yang mendorong agar mencari harta. Dalam sebuah hadist: Bahwa Rasulullah saw telah menyalami tangan Sa’ad bin Mu’adz r.a., dan ketika itu kedua tangan Sa’ad ngapal (bekas-bekas karena dipergunakan kerja). Kemudian hal itu ditanyakan oleh Nabi saw., lalu Sa’ad menjawab: “Saya selalu mengayunkan skrop dan kapak untuk mencari nafkah keluargaku.” Kemudian Rasulullah saw. menciumi tangan Sa’ad dengan bersabda: “ (Inilah) dua telapak tangan yang disukai oleh Allah swt.” Rasulullah saw juga bersabda:
“Tidaklah seseorang makan sesuap saja yang ebih baik, selain ia makan dari hasil kerja tangannya sendiri.” [8]

H. Kaidah Umum Perekonomian
Dengan membaca hukum-hukum syara’ yang menyangkut masalah ekonomi tersebut, nampaklah bahwa Islam telah memecahkan masalah bagaimana agar manusia bisa memanfatkan yang ada. Dan inilah yang sesungguhnya, menurut pandangan Islam, dianggap masalah ekonomi bagi suatu masyarakat. Sehingga ketika membahas ekonomi, Islam hanya membahas bagaimana cara memperoleh kekayaan masalah mengelola kekayaan yang dilakukan oleh manusia, serta cara mendistribusikan kekayaan tersebut di tengah-tengah mereka. Atas dasar inilah, maka hukum-hukum yang menyangkut masalah ekonomi dibangun di atas tiga kaidah, yaitu kepemilikan (property), pengelolaan kepemilikan, dan distribusi kekayaan di tengah-tengah manusia. [9]
Kepemilikan (property), dari segi kepemilikan itu sendiri, sebenarnyamerupakan milik Allah, dimana Allah swt adalah Pemilik kepemilikan tersebut, di satu sisi. Serta Allah sebagai Dzat yang telah dinyatakan sebagai Pemilik kekayaan, di sisi lain. Dalam hali ini Allah swt berfirman:
“Dan berikanlah kepada mereka, harta dari Allah yang telah Dia berikan kepada kalian.”
(QS. An-Nur:33)
Sedangkan tentang pengolahan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan umum (collective property) itu adalah hak Negara, karena Negara adalah wakil ummat. Hanya masalahnya, As –Syari’ telah melarang Negara untuk memgelola kepemilikin umum (collective property) tersebut dengan cara barter (mubadalah) atau dikapling untuk orang tertentu, sementara mengelola denganselain kedua cara tersebut, asal tetap berpijak kepada hokum-hukum, yang telah di jelaskan oleh syara’, tetap diperbolehkan. Adapun mengelola yang berhubungan dengan kepemilikan Negara (state property) dan kepemilikan individu (private property) Nampak jelas dalam hokum-hukum muamalah, seperti jual-beli, penggadaian dan sebagainya. As-Syari’ juga telah memperbolehkan Negara dan individu untuk memenej masing-masing kepemilikannya, dengan cara barter (mubadalah) atau diberikan (silah) untuk orang tertentu ataupun dengan cara lain, asal tetap berpijak kepada hokum-hukum yang telah di jelaskan oleh syara’.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Ekonomi Islam didefinisikan sebagai cabang ilmu yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang langka, yang sejalan dengan ajaran islam, tanpa membatasi kebebasan individu ataupun menciptakan ketidakseimbangan makro dan ekonomi logis.
Prinsip-prinsip kegiatan Ekonomi Islam adalah sebagai berikut:

  1.  Kekuasaan milik tertinggi adalah milik Allah dan Allah adalah pemilik yang absolute atas semua yang ada
    
  2.  Manusia merupakan pemimpin (khalifa) Allah di bumi tapi bukan pemilik yang sebenarnya.
    
  3.  Semua yang didapatkan dan dimiliki oleh manusia adalah karna seizing Allah, oleh karena itu saudara-saudaranya yang kurang beruntung memiliki hak atas sebagian kekayaan yang dimiliki saudara-saudaranya yang lebih beruntung.
    
  4.  Kekayaan tidak boleh ditumpuk terus atau ditimbun.
    
  5.  Kekayaan harus diputar.
    
  6.  Eksploitasi ekonomi dalam segala bentuknya harus dihilangkan.
    
  7.  Menghilangkan jurang perbedaan antar individu dapat menghapuskan konflik antar golongan dengan cara membagikan kepemilikan seseorang setelah kematiannya kepada para ahli warisnya.
    
  8.  Menetapkan kewajiban yang sifatnya wajib dan sukarela bagi semua individu termasuk bagi anggota masyarakat yang miskin.
    

Ekonomi Islam merupakan racikan resep ekonomi yang digali dari Al-Qur’an dan Hadits. Sebagai seorang muslim, kita tidak boleh meragukan kandungan ajaran Al-Qur’an. Namun, kita perlu merumuskan praktik-praktik ekonomi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat tetapi tidak menyalahi prinsip-prinsip yang terkandung dalam Al-Qur’an.

DAFTAR PUSTAKA

An-Nabhani,Taqyuddin, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Persektif Islam, Risalah Gusti, 1996, Surabaya.
Karim, M.A S.E, Adiwarman. Ir.,Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, The International Institut of Islamic Thought Indonesia, 2001, Jakarta
Lubis, Ibrahim, H. Drs, Ekonomi Islam Suatu Pengantar, Kalam Mulia, 1995 Jakarta.
Sholahuddin, M. S.E, M.Si., Asas-asas Ekonomi Islam, PT.Raja Grafindo Persada, 2007, Jakarta.

Thank you for looking at my post
If you like this post
steem1.gif
@nurdinnakaturi

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Saya kasi up pos bapak yah. Bapak ini orang pandai. Faham ekonomi Islam.