Terinspirasi oleh film : PENGABDI SETAN
"Hati-hati, Nak!"
Hanya kalimat itu yang selalu ibu sampaikan padaku setiap hari, jika akan keluar rumah. Rumah besar yang kami tempati sekarang adalah peninggalan kakek ibu. Rumah dengan arsitektur kuno ini terlihat menyeramkan waktu pertama kali aku pindah ke sini. Tapi lambat laun terbiasa juga.
Entah kenapa, ibu selalu menolak aku ajak pindah. Dengan alasan, ini adalah "rumah amanat". Ayah dari Ibu adalah anak kakek buyutku satu-satunya. Tunggal. Padahal, mendengar cerita ibu sebelumnya kalau Kakek buyut punya anak tiga, sama seperti kakekku. Mempunyai tiga anak dari perkawinannya tapi sekarang hanya ibu seorang yang masih ada.
Jadi anak tunggal terpaksa dari tiga bersaudara itu tidaklah menyenangkan. Aku pun merasakannya. Kesepian melanda hari-hari tanpa bisa aku nikmati.
Bermimpi dalam mimpi. Beberapa hari terakhir ini, mengulang mimpi yang sama adalah kebiasaanku. Malahan untuk mimpi dua malam kemarin itu seperti lanjutan film setiap episodenya. Malam sebelumnya aku berada di suatu ruangan gelap, tapi jelas mataku melihat adanya beberapa pintu berengsel warna emas.
"Ayo, pilih salah satu pintu tersebut!"
Bisikan-bisikan halus mengundang bulu kudukku bangun, selalu terdengar jelas di telinga. Gelengan kepala cepat atau menutup telinga kerap kali kulakukan untuk mengindahkan suara itu. Tapi tetap terdengar, pelan tapi jelas.
Angin yang entah datang darimana malah membuat kepala serasa berat untuk menoleh ke dua arah. kanan dan kiri. Sekujur tubuh pun susah untuk digerakkan. Jangankan untuk bergerak, mengedipkan mata saja terasa kaku.
"Tuhan, doa apa yang harus aku bacakan! Dari kecil aku tak pernah tahu namanya berdoa." Penyesalan datang menghinggapi relung hatiku. Kenapa begitu membatu hati ini ketika ada seorang teman yang mau mengajari beragama. Dengan sombongnya, aku tolak mentah-mentah ajakannya tersebut.
Jangankan untuk belajar, mengetahui tentang agama pun aku tak sudi. Tuhan, ternyata aku butuh dengan-Mu! Tiba-tiba, teringat bacaan yang sering di ucapkan temanku ketika hendak mengerjakan sesuatu 'Bismillah'.
"Bismillah ... Bismillah."
Meskipun aku tak tahu artinya, tapi kata itu mampu keluar lancar dari mulutku. Bibir gemetar melapalkan kata tersebut terus menerus. Jari-jari tanganku mulai bisa digerakkan, tubuh mulai lepas dari himpitan berat.
Aku terbangun dari mimpi. Tapi, sekarang aku berada di mana? Nampak di sekeliling aku berada, banyak meja panjang tertata rapi dengan alas meja warna hitam. Di setiap sudut mejanya terletak satu batang lilin yang belum ada apinya. Lilin berwarna hijau.
"Hallo. Ada orang di sini?"
Hanya terdengar pantulan suaraku kembali. Padahal, menurutku ruangan ini tak ada fasilitas membuat eho. Aku seperti diawasi!
Itu di ujung meja ketiga, tampak terlihat ada pintu juga. Mendekati tempat itu sama saja cari masalah. Pikirku. Lilin-lilin menyala dengan diiringi gedoran pintu, mengharap seseorang membantu membukanya dari dalam sini. Itu berarti, aku. Pintu itu berteriak! Peluh keringat dingin turun dengan derasnya dari dahiku, tapi badan terasa terbakar bukannya menggigil karena ketakutan.
"Pergi! Cepat pergi Aura!"
Mataku bergerak cepat mencari arah sumber suara, tak kutemukan siapapun di sana. Terdengar tak asing, tapi begitu bodohnya aku kalau terus mempertanyakan suara siapa itu di saat seperti ini! Hanya ruangan temaram dicahayai lilin-lilin setengah terbakar. Tapi rasa penasaran masih menghinggapi jiwa, sedangkan bacaan yang aku bisa aja masih kata 'Bismillah'. Sial.
"Tidaakk ...!"
Aku terbangun dengan badan dibanjiri keringat. Kupendarkan pandangan ke sekeliling. Ternyata masih berada di kamar. Ya, mimpi lagi. Semoga mata ini tak terpejam, takut bermimpi dalam mimpi kembali. Tuhan, dimanakah Engkau?
Nampak seraut wajah menunduk sedih dan pilu di balik pintu. Ingin memeluk dan mengusap lembut kepala wanita yang berteriak tadi, tapi banyak alasan menghentikan tangannya menarik gagang pintu kamar.
"Maafkan Ibu, Nak." Ucapnya pelan, sambil beranjak meninggalkan ruangan bercat krem tersebut.
Senyum seringai mengawasi kepergian wanita separuh tua itu di balik pintu kamar.
"Semua sudah diatur Wi, kamu harus siap menerima semuanya. Suka atau tidak. Siap tidak siap!" Ucapan Ayah masih teringat.
Dewi muda menginginkan agar semua berakhir didirinya saja, jangan sampai anaknya menerima 'amanah' terkutuk ini. Penyesalan dan penolakan hanya akan menambah kesedihan semata. Semua tak bisa dielakkan lagi. Sudah ditetapkan sejak Kakeknya memulai semua ini. Entah kenapa harus melakukan hal ini, hanya karena alasan klise. Sakit hati dihina sebagai orang miskin.
Mimpi-mimpi yang akan jadi kenyataan selalu membuat Dewi letih setelah merasakannya. Sesosok tinggi besar, dengan mata menyalang haus menelanjangi tubuh Dewi yang terbalut pakaian. Semakin mendekat, mendekat.
"Arrgghhhh...."
Terbangun dari mimpi dalam mimpi. Badan Dewi menggigil dengan peluh keringat bercucuran di pengap udara yang dingin. Tetesan air mata keluar tanpa diperintah. Usapan lembut jari-jari mengusap banjiran peluh.
Berawal dari ingatan tentang kedua saudara yang sudah meninggal, kembali menyeruak dalam pikiran Dewi. Sosok itu menghampiri dalam mimpi-mimpi dalam setiap malamnya.
Dengan mengatupkan kedua kelopak matanya, ia mencoba tertidur kembali. Dewi bertanya dalam hatinya, "Kenapa? Ada apa dengan semua ini?".
"Kamu adalah keturunan ketiga yang harus melayaninya." Bisikan gaib kembali terdengar. Dewi berusaha tidak mendengar dengan menutupi kedua telinganya.
Menjelang kehilangan seseorang yang disayangi itu sangatlah menyakitkan, apalagi kita mengetahui kejadian yang akan terjadi tapi tak bisa mencegah ataupun mengubah hal itu. Satu persatu keluarga meninggalkannya. Tertinggal dia dan suami yang baru menikahinya beberapa minggu lalu. Putaran-putaran ingatan kembali datang. Kakak pertama perempuan meninggal dengan tak wajar, semalam setelah acara resepsi pernikahan ditemukan meninggal dengan luka sayatan di leher dan sekujur tubuh membiru tak terlihat aliran warna merah sedikitpun. Seperti terhisap. Anehnya wajah cantik beliau tak ada luka sedikitpun. Bersih.
Kabar burung pun cepat meluas seperti kepakan sayap yang melesat jauh. Keluarga Dewi dicap sebagai keluarga pemuja setan. Karena setahun lalu Kakak lelaki Dewi pun meninggal dengan kasus yang tak masuk logika sama sekali. Tubuh yang mulai mengeluarkan nanah dalam waktu seminggu, kemudian hilang tanpa bekas sedikitpun.
Setelah kematian kedua saudaranya, harta Ayah Dewi tiba-tiba bertambah. Sehingga bisa membeli beberapa kendaraan beroda empat, truk untuk usaha dibidang pasir, mobil angkot dan beberapa motor keluaran terbaru. Tapi, Yang terpakai hanyalah sebagian. Sisanya hanya pajangan. Anehnya desas desus pun hilang dengan sendirinya.
"Ayah, Dewi punya suami, tak mungkin melayani lelaki lain selain ia." Tangisan pilu Dewi terdengar di kamar Ayahnya. Entah kenapa beliau menyuruh Dewi melakukan hubungan badan dengan lelaki selain suaminya, tak masuk akal sama sekali.
"Pokoknya, harus! Atau suami kamu Ayah usir dari rumah ini!" Ancaman tersebut membuat Dewi tersudut, ia tak ingin lelaki yang mengerti tentangnya di usir dari kehidupannya.
Malam selasa tepatnya senin kliwon, Dewi memasuki kamar yang berada di belakang rumah. Kamar yang luasnya dua kali kamarnya itu penuh wewangian cempaka, cat kamar bernuansa hijau. Sejauh ia tinggal di rumah ayahnya, baru kali ini memasukinya. Larangan untuk mendekati kamar itu dimulai sejak ia mendapat darah haid pertama kali. Suaminya sekarang tak ada di rumah, mendapat tugas dadakan dari mertua tersayang, ayah Dewi.
Bulu-bulu halus di tubuh Dewi seketika berdiri berbarengan ketika tangannya melepas gagang pintu berwarna emas. Tubuhnya hanya terbalut kain putih yang menutupi dada hingga sampai lutut kakinya. Sebelumnya, ia melakukan ritual mandi rempah-rempah yang diberikan ayahnya. Tapi Dewi tak mencium wewangian apapun dari tubuhnya, kalah oleh harum cempaka. Membuat otaknya susah mencerna, apa yang akan ia lakukan sekarang. Sesuai perintah ayahnya, Dewi menghampiri tepian ranjang besi yang nampak antik dengan bentuk kepala ular di setiap sudutnya.
Belaian angin meniup setiap lekuk tubuh Dewi, hingga ia terlelap dalam mimpi.
"Terima kasih, Sayang."
Kecupan lembut sang suami dibalas senyuman dan pelukan manja Dewi, dengan melingkarkan kedua tangan ke leher kokoh suaminya.
"Ibu ...!" Pekikan Aura membangunkan ibunya yang terlelap di kamar sebelah. Dengan sedikit tergopoh, ibunya mendatanginya. Terlihat Aura menangis, tapi tangisan tanpa air mata. Seringkali Aura seperti itu setiap malam.
"Kenapa, Sayang?"
"Ibu, ibu baik-baik saja kan?"
Aura menelisik ke setiap jengkal tubuh ibunya mulai dari rambut yang mulai memutih hingga kaki. Tangan Aura tak lepas dari genggaman ibunya.
"Ibu, baik-baik saja, Sayang. Kamu mimpi apa?"
Runtunan mimpi Aura malam ini ia ceritakan kepada ibunya, bahkan ketika kematian menjemput kedua kakaknya beberapa tahun lalu.
"Bu, Aura gak mau menikah. Aura takut punya keturunan. Ini semua harus dihentikan!" terdengar isakan tanpa tangisan dari bibir Aura.
"Kamu kenapa bilang gitu, Sayang? Kalau memang sudah ada jodohnya gak baik menundanya."
"Tapi, Bu ... Aura gak usah ngejelasin kenapanya, karena ibu sudah tau maksudnya."
Pelukan hangat ibu membuat Aura merasakan tenang sesaat, tapi ada sesuatu yang tidak tenang di sudut sana. Mata memerah menyalang penuh kebencian terlihat mengawasi gerak-gerik antara ibu anak itu.
Akhirnya, keputusan Aura untuk mendekatkan diri kepada Sang pencipta mendapat persetujuan ibunya. Dengan berbekal kemauan, Aura nekat berangkat ke sebuah ponpes di dusun yang jauh dari rumahnya. Dengan diantar seorang sopir, Aura tiba di tempat tersebut pada saat lembayung mulai terlihat menutupi langit. Aura disambut hangat oleh sang empunya tempat beserta istrinya, tampak seseorang di sebelah mereka tersenyum manis ke arah Aura.
"Selamat datang Aura di rumahku."
Aura menghampiri dan memeluk temannya tersebut setelah sebelumnya menyalami Orangtua Ninda. "Terima kasih, Nda."
Kepada Ninda lah, Aura bercerita tentang keadaan di rumahnya. Tentang mimpi-mimpinya selama ini, dan tentang kemauannya mendalami agama.
"Ayo, masuk?" ajak Ninda.
Dengan menggenggam tangan Ninda, Aura memasuki ruangan kecil yang hangat. Terlihat hanya ada beberapa kursi kayu jati dan meja kecil di dalamnya, serta beberapa rak buku yang penuh dengan buku-buku tebal. Entah buku apa itu Aura tak paham, tapi ruangan ini menenangkan jiwanya yang selama ini selalu merasa seperti berada dalam pengawasan makhluk tak kasat mata.
"Dasar! Manusia tak tahu diuntung! Kau telah melanggar kontrak yang telah ditetapkan sejak kakekmu, kenapa kau menjauhkan pengantinku!"
Dentuman keras pada tubuh Dewi terdengar setelah ucapan tersebut diucapkan, bagaikan terikat tali lasso tubuhnya melayang di langit-langit kamar dan beberapa kali terbentur tembok. Tak ada satu patah katapun yang dapat Dewi ucapkan. Mulutnya seolah terkunci.
"Akan aku pancing agar pengantinku datang kembali ke rumah ini!" Teriakan disertai tawa sinis terdengar membahana di kamar ini. Kamar dimana dulu Dewi dijadikan budak pemuas nafsu makhluk pembuat kontrak dengan kakek Dewi.
"Ja ... ngan. Aku mohon!" gumaman kecil terdengar dari mulut legam Dewi, "Biarkan aku yang jadi penggantinya."
"Hahaha ... tak akan semudah itu kalian mengingkari perjanjian! Bagiku kalian adalah makhluk bodoh! Kau tak bisa menggantikannya!"
Bruukk ...
Tubuh Dewi terhempas ke lantai kamar dengan mulut penuh luka, lidah terjulur disertai keluarnya cacing-cacing kecil lewat lidah, hidung dan lubang mata yang mulai menghitam.
"Aku akan mencarimu, pengantinku!"
-Selesai-