Amuk angin timur sore itu begitu bergemuruh, kebisingan jalan raya sama riuhnya dengan orang-orang yang menikmati kopi di salah satu warung kopi (warkop). Di layar televisi, pemain bulutangkis Indonesia yang sedang berjuang melaju ke final Asian Games jatuh-bangun meladeni permainan lawan. Orang-orang warkop dengan pekik teriak turut menyemangati.
Mau, lelaki tambun tiba tepat saat warung kopi gagal menemukan keheningannya. Ia yang baru saja tiba dari kampung halaman, duduk sembari menikmati kudapan. Perutnya yang gampang keroncongan, memaksa agar senantiasa siap siaga memenuhi tanggungjawab: makan.
Nun jauh di ujung kanan paling depan Warkop, di antara banyaknya kerumunan laki-laki, ada dua orang perempuan yang menyita perhatiannya. Seolah-olah tak asing, yang satu mengenakan jilbab violet soft satunya lagi berhijab hitam. Sedikit lama merenung, menemukan nama keduanya, menimbang-nimbang antara iya dan bukan. Beberapa detik kemudian, benak dan memori menentukan bahwa keduanya adalah iya orang yang dimaksud.
Indonesia sudah memastikan tiga wakilnya di final, yang satu dari nomor tunggal putra, Jonathan Cristie. Duanya dipastikan all Indonesia final (ganda putra); Kevin/Gideon dan Fajar/Rian. Penonton, dag-dig-dug jantungan menanti-nanti Antony Sinusika Ginting agar dapat lolos. Sayangnya, perlawanan tak kenal letih dari China Taipei memaksa Indonesia gagal menciptakan all Indonesia final di tunggal putra. Ginting kalah dalam pertarungan tiga set.
Saat fokus Mau sedang khusyuk menyaksikan badminton. Dua perempuan itu nyatanya menyadari kehadirannya, lalu datang duduk di meja Mau. Sontak, kehadiran wanita tersebut memalingkan pandangannya kepada keduanya. Sore itu, Lala tampak lebih anggun dari biasanya, sedangkan Meri memberikan kesan lebih cerah.
Tak ada yang lebih melenakan selain perut terisi, kopi penuh inspirasi, plus memandang dua wajah berseri perempuan yang konon jutek tapi baik hati.
Keduanya adalah representasi daripada perempuan modern dengan tingkat pendidikan tinggi. Sekalipun Mau tahu, bahwa menyebut hal begini, cukup membuat Meri 'males'. Tetapi fakta adalah fakta yang bisa dibaca sebagai kebenaran, dieja sebagai pembenaran atau malah digiring sebagai susuk pemikat kasta sosial. Namun, pada keduanya hal-hal itu biasa saja. Bahkan membuatnya bergaul tanpa pandang bulu.
Lala adalah mahasiswa lulusan Amerika Serikat, sedang Meri lulusan dari Jerman. Pada keduanya, Mau meilihat sesuatu yang mesra. Apa pasal? Dalam narasi intelektual, kebiasaan (tentu tidak semuanya) di Indonesia sulit menemukan kemesraan kedua lulusan dari negara itu. Tidak bertengkar fisik memang, tetapi selalu ada perang dingin yang boleh dibilang tak reda-reda. Kedua Mazhab intelektual dunia ini saling adu keren baik dengan brand, penemuan ataupun adu kuat jaringan.
Keduanya menyapa, "Hai Mau, tambah berseri aja", Mau hanya terkekeh, "Kabar baik, Alhamdulillah. Persoalan berseri ya biasa, tergantung cuaca sih", jawaban dengan nada humor. Lalu Meri melakukan manuver dengan ngobrol dengan temannya Mau, Amat namanya. "Loh, kok ada kamu, kenal juga", interogasi Meri. Amat hanya bilang, bahwa ia dan Mau sudah lama berteman. Bahkan konon, Mau lah kompas baginya dalam menyusuri setiap lekuk kota perantau para pelajar bernama Kota Bunda.
Mau nyeletuk, bagaimana bisa Meri dan Lala bisa akrab. Konon, secara sanad keilmuan yang tak pernah kemarau perang dinginnya. Harusnya mereka tak mesra. Tetapi begitulah kedewasaan, usia pertemanan mereka jauh lebih tua daripada usia pendidikan. Keduanya sudah berteman sejak di bangku sekolah. Bahkan kuat dugaan, kemesraan pertemanan berkorelasi dengan nasib asmara yang kian hari masih dalam misteri Tuhan.
Kedekatan Lala dan Meri setidaknya menandakan kembali ingatan Mau di bangku kuliah dulu. Ketua Jurusan-nya (Kajur) pernah bercerita bagaimana dinamika pendidikan di masa lalu. Pak Ners memiliki dua ijazah master, satu ia selesaikan di Jerman, satunya lagi di Jepang. Saat hendak melanjutkan studi doktoral ke Amerika Serikat, ia ditolak karena ijazah yang Pak Ners apply ialah Jerman.
Mengetahui hal tersebut, pribadi yang kami kenal always smile ini dengan tenang memberikan solusi, "Tidak apa-apa, saya punya ijazah satu lagi". Ia pun menyerahkan ijazah Jepang. Dari peristiwa tersebut, kita tahu bahwa ada perang dingin intelektualitas dunia antara Jerman-AS. Dan kalaupun Jepang diterima, dalam narasikan geopolitik, Jepang kerap diasosiasikan tangan kanannya AS di Asia. Untuk mewanti-wanti (bila saja) Tiongkok menjadi raksasa.
Sesungguhnya, pertemuan singkat antara Mau, Lala dan Meri mengetuk kembali ruang pikir Mau yang (menurutnya pribadi) terlampau beku akhir-akhir ini. Sebagai seseorang yang biasa saja, ada hasrat yang tak pernah benar-benar padam nun jauh dalam relung hatinya untuk melanjutkan studi di masa hadapan. Dimanapun dan kapanpun. Hanya saja, kondisi tidak begitu bersahabat akhir-akhir ini.
Bagi Mau, perjumpaan dengan Lala-Meri tanpa sedikitpun menyentuh urusan itu. Telah mem-bunga-kan kembali hatinya pada kamar kecil hasrat belajar untuk melangkah pada banyak ruang pengetahuan berpayung intelektual. Sekalipun, Mau selalu geli untuk mengucapkan kata elit "intelek".
Mau dan Amat telah mengusik pikiranku.
Anda berhasil membuat saya bagai dihadapan gawaiku sendiri.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Kek mana itu?
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Salam utk foto kampus warna kuning tu ya... Familiar Kali 😁
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Oh itu sekolah dedek Ichsan dulu, Bonn, pas tidurnya kebangun kesiangan. Wkwk.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Hahaahhahahahahahaa... Mantap Kali dek isan 😁
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Duh, Kak Mira.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit