Wacana yang menjadi berhala
Sesuatu yang mudah untuk diucapkan namun sulit untuk dilakukan adalah toleransi. Kampanye tentang toleransi gempar dilakukan oleh beberapa kelompok yang menginginkan adanya Indonesia yang aman dan damai. Beberapa kelompok seperti jaringan Gusdurian juga secara masif telah mencoba membumikan istilah tersebut dengan menjadikannya jargon dan sebuah ideologi. Namun apa yang didapat? Sulit untuk tidak mengatakan bahwa semakin hari kata toleransi semakin tidak ada artinya. Toleransi hanya bisa didapuk sebagai episteme yang hanya dapat dipelajari. Tidak untuk tatanan yang bersifat aksiologis.
Penyebab utama adanya toleransi menjadi utopis adalah semakin merebaknya klaim kebenaran (trueth claim). Entah kenapa tren trueth claim ini menjadi idola tersendiri bagi beberapa kelompok. Khususnya kaum beragama. Mungkin karena tidak adanya pengetahuan yang memadai atau memang karena nuraninya sudah mati sehingga tidak dapat lagi menerima wacana-wacana dari pihak lain dengan kesadaran penuh bahwa dirinya bukanlah pemilik hak mutlak kebenaran dari sebuah wacana.
Kelompok-kelompok intoleran tersebut mempunyai paradigma right or wrong (benar dan salah) sebagai prinsip dalam menjalani hidupnya. Bukan berprinsip true or untrue (benar atau tidak benar). Dengan demikian pola yang ada dalam idenya adalah sebatas tentang benar dan salah dalam ruang lingkup objektif saja. Tidak mempunyai pola “benar dan tidak benar” dalam ranah yang lebih subjektif. Yang pertama akan membawa kepada doktrin untuk menegasikan wacana yang tidak sesuai dengan gagasannya dan mengklaim satu-satunya kebenaran objektif adalah wacananya. Sedangkan yang kedua memunculkan pemahaman bahwa dirinya mempunyai prinsip kebenaran (subjektif) sedangkan yang lain juga mempunyai prinsip yang sama. Hal ini akan membentuk pola pikir humanis. Bahwa kebenaran yang menjadi prinsipnya bukanlah kebenaran mutlak melainkan hanya kebenaran subjektif. Dengan demikian tidak ada lagi klaim saling membenarkan dan menegasikan kebenaran lain. Melainkan suatu kebenaran yang memungkinkan untuk menerima kemungkinan kebanaran dari wacana lain.
Lantas bagaimana kita mengetahui tolak ukur sebuah wacana menggunakan klaim kebenaran tunggal dan menegasikan gagasan lain yang juga mengandung kemungkinan benar?
Edi AH Iyubenu dalam berhala-berhala wacana mengutip dari Ian G. Barbour dalam buku issues in science and religion bahwa tolak ukur sebuah wacana apakah itu konstruktif atau destruktif adalah dengan mengetahui keterujian intersubjektif. Keterujian subjektif di sini diartikan sebagai keberagaman pengalaman objektifitas dalam sebuah kelompok baik itu dari unsur pengetahuan, sosial, budaya, dan lain sebagainya yang kemudian objek-objek tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh dan melahirkan sebuah paradigma pengalaman kebenaran objektif. Pergeseran pengalaman dari berbagai objektifitas itulah yang disebut Harbiur sebagai keterujian intersubjektif.
Berlandaskan hal tersebut jika pada suatu kelompok dapat melewati keterujian intersubjektif dan menghasilkan sebuah paradigma objektif dalam satu kesatuan utuh, maka kelompok tersebut mempunyai gagasan yang konstruktif yang mempunyai prinsip kebenaran bukanlah suatu yang bersifat tunggal dan mutlak dengan menegasikan yang lain (true and untrue). Sementara itu sebuah sistem yang tidak dapat melewati keterujian intersubjektif, maka ia adalah sistem yang destruktif, yaitu mempunyai pola pikir yang kaku, rigid, dan stagnan. Yang tidak bisa mengkrompomikan idenya dengan ide lain. Yang hanya mampu memberhalakan wacananya sendiri dan tidak dapat menerima gagasan lain (right and wrong).
Hal inilah yang menjadi problem besar kita. Sebuah sistem Indonesia yang apabila tidak dapat melewati keterujian intersubjektif niscaya akan terus-menerus terjebak dalam kubangan klaim kebenaran (trueth claim) dalam setiap elemennya yang tentunya akan membuat tatanan sistem tersebut menjadi destruktif yang menghancurkan. Meskipun tidak secara cepat namun perlahan dapat menggerogoti persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. .
Mengurangi Egosentrisme
Apabila antar elemen bangsa tidak lagi menjadikan wacana sebagai sebuah berhala, niscaya tatanan sosial kita akan menjadi semakin rekat. Tentunya hal ini akan berdampak kepada kemajuan Indonesia. Egosentrisme golongan diakui atau tidak hanyalah penyebab orang untuk tidak mengakui kebenaran gagasan orang lain. Oleh sebab itu, sudah seyogyanya bagi setiap warga Indonesia ataupun identitas kelompok yang menaunginya untuk meminimalisir egosentrisme yang dapat menyebabkan perpecahan. Dengan mengurangi egosentrisme kelompok, tentu akan secara otomatis akan memberikan semangat persaudaraan antar warga negara yang membuat Indonesia semakin kuat nantinya.
Jika Indonesia ingin berhenti dari berbagai hiasan konflik maka satu-satunya yang harus dilakukan adalah berhenti untuk memberhalakan wacana. Mulailah untuk bercita-cita membangun Indonesia bersama-sama untuk menjadikannya negeri yang aman, damai, makmur, dan sejahtera.