Patuh pada Aturan untuk Merebut Kepercayaan Publik: Pemilu 2019 |

in election •  6 years ago 

JaDI_110119_03.jpg


Catatan Diskusi Publik Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Aceh

Serangan kabar bohong atau hoaks di berbagai media sosial mengenai pelaksanaan tahapan pemilu 2019, sudah terjadi sejak tahapan dimulai. Di antara banyaknya hoaks tersebut, ada kalanya menjadi viral dan ada yang berlalu begitu saja.

Hoaks secara masif dan sistematis sudah menjadi bagian dari tahapan pemilu sejak 2004 silam, tetapi semakin mengganggu pada pemilu 2019 karena sudah ada beberapa tersangka yang diproses secara hukum, antara lain kabar bohong mengenai tujuh kontainer surat suara yang sudah dicoblos.

Dalam beberapa pemilu sebelumnya, hoaks cenderung menyerang sesama kompetitor peserta pemilu. Namun, kali ini badai hoaks juga menyerang penyelenggara secara sistematis. Anggota KPU-RI, Viryan Azis, dalam sebuah wawancara dengan stasiun TV, menyebutkan ada upaya untuk meruntuhkan kepercayaan publik terhadap penyelenggara.


JaDI_110119_04.jpg


Dari media sosial, disambar media massa

Direktur Eksekutif Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Aceh, Ridwan Hadi, menyebutkan tantangan penyelenggara kali ini cukup berat. Selain karena untuk pertama kali pemilu legislatif dan pilpres digelar secara serentak sehingga konstelasi politik terasa kian panas, beberapa situasi yang ada membuat publik mempertanyakan kredibilitas penyelenggara.

“Di antaranya termasuk hoaks yang pada awalnya bisa diverifikasi ketidakbenarannya, tetapi kemudian menjadi berita utama karena media massa memberitakannya. Masyarakat lebih percaya kepada berita media massa daripada informasi dari sosial media,” ungkap Ridwan Hadi dalam diskusi publik tentang kepercayaan terhadap pemilu 2019 yang diselenggarakan oleh JaDI Aceh di Banda Aceh, Jumat 11 Januari 2018.

Penyelenggara juga tidak mampu memenuhi ketentuan Pasal 572 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, yakni tentang kewajiban menyiapkan peraturan pelaksana paling lama satu tahun sejak undang-undang tersebut diundangkan. Artinya, seluruh Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu harus ditetapkan paling lambat pada 2018 lalu. Namun, beberapa peraturan masih belum ada sampai sekarang.

“Tapi, kita tidak bisa ini tidak bisa sepenuhnya menyalahkan penyelenggara karena ada keharusan berkonsultasi dengan DPR,” kata Ridwan Hadi.

Adanya pernyataan berbeda dari setiap komisioner KPU juga membuat publik kurang percaya terhadap kredibilitas penyelenggara. Misalnya saja soal boleh tidaknya pasangan presiden dan wakil presiden mengubah visi dan misi. Ada komisioner KPU yang menyatakan boleh, ada yang bilang tidak boleh, dan ada yang menyebutkan boleh dalam masa waktu tertentu.


JaDI_110119_01.jpg


Inkonsistensi KPU dalam beberapa tahapan juga berpotensi menggerus kepercayaan publik. Antara lain Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) yang kemudian tidak menjadi dasar pengambilan keputusan di KPU. Demikian juga dengan kasus Oesman Sapta Oddang yang pernah masuk Daftar Calon Sementara (DCS) tetapi kemudian dicoret dan direkomendasi kembali oleh Bawaslu untuk dimasukkan ke dalam Daftar Calon Tetap (DCT).

Isu-isu lain yang menjadi perdebatan publik juga berpotensi menggerogoti kepercayaan publik, meski tidak semuanya terjadi atas putusan penyelenggara, sebab ada lembaga peradilan yang ikut “mengganggu” tahapan.

Di antara kasus tersebut adalah calon anggota legislatif mantan narapidana korupsi yang tidak diloloskan KPU tetapi diloloskan Bawaslu, kasus kotak suara kardus yang menjadi masalah padahal sudah pernah digunakan dalam pilkada, tidak adanya TPS di Lembaga Permasyarakatan dan rumah sakit yang berpotensi mengurangi partisipasi pemilih, debat kandidat presiden, termasuk isu lokal caleg partai politik lokal di Aceh yang boleh mengajukan caleg 120 persen dari alokasi kursi yang tersedia di sebuah daerah pemilihan. Terhadap kasus terakhir, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sudah memutuskan KPU bersalah dan memberikan peringatan.


JaDI_110119_05.jpg


Semakin dipercaya, legitimasi semakin kuat

Agak miris mendengar respon anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP) Provinsi Aceh, Tgk Akmal Abzal, yang menyebutkan kepercayaan publik akan berpengaruh kepada persentase partisipasi publik, “tapi seberapa pun tingkat partisipasi pemilih, tetap ada pasangan presiden yang kalah dan menang, tetap ada partai politik yang kalah dan menang.” Pernyataan ini terkesan penyelenggara tidak responsif terhadap partisipasi pemilih. Padahal, meningkatkan partisipasi aktif masyarakat sudah menjadi misi dari KPU.

Menyangkut putusan DKPP, tambah Tgk Akmal, KIP Aceh belum merespon karena belum menerima salinan putusan dari DKPP. “Kalau belum gatal, untuk apa digaruk,” tegas Tgk Akmal. Padahal, dalam kasus ini juga dituntut responsif KIP Aceh untuk menjelaskan sebagai bagian dari sosialisasi dan edukasi.

Tgk Akmal menyesalkan sejumlah tokoh agama tetap melanjutkan informasi yang sudah terbukti hoaks di media sosial. Menurutnya, tokoh agama dan para pesohor seharusnya ikut memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, terlepas partai apa pun dan pasangan calon presiden mana pun yang mereka dukung. “Kalau sudah tahu sebuah informasi tidak benar, jangan dilanjutkan lagi kepada orang lain,” kata Tgk Akmal.


JaDI_110119_06.jpg


Sedangkan anggota Bawaslu Provinsi Aceh, Fakhrurrazi, menyebutkan Bawaslu Aceh sangat cepat merespon sejumlah laporan yang ada, salah satunya kasus calon anggota DPD Abdullah Puteh yang sebelumnya dicoret oleh KIP Aceh karena yang bersangkutan termasuk mantan narapidana korupsi. Dalam masalah ini, antara KPU dengan Bawaslu memang berbeda pandangan dan sempat menjadi perdebatan sengit.

Akademisi dari Universitas Syiah Kuala, Kurniawan, berpendapat penyelenggara sangat penting menjaga kepercayaan publik karena itu bisa memengaruhi partisipati pemilih. “Semakin tinggi partisipasi pemilih, legitimasi dewan dan presiden terpilih semakin kuat,” kata Kurniawan yang juga pernah menjadi anggota Panitia Seleksi Calon Anggota Bawaslu Kabupaten dan Kota di Aceh, 2018 lalu.

Sekretaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Lhokseumawe, Yuswardi Mustafa, mengkritisi sikap penyelenggara di daerah yang seolah alergi dengan keterlibatan lembaga lain seperti JaDI dalam mengawasi tahapan pemilu.

“Seolah, mereka menganggap JaDI hanya mencari-cari kesalahan penyelenggara. Padahal, menyukseskan pemilu juga menjadi bagian dari misi JaDI agar demokrasi di Indonesia semakin berkualitas,” ujar Yuswardi yang juga Ketua Presidium JaDI Kota Lhokseumawe.[]


JaDI_110119_02.jpg


JaDI_110119_07.jpg


Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Thanks for using eSteem!
Your post has been voted as a part of eSteem encouragement program. Keep up the good work! Install Android, iOS Mobile app or Windows, Mac, Linux Surfer app, if you haven't already!
Learn more: https://esteem.app
Join our discord: https://discord.gg/8eHupPq

Voted ur post

Posted using Partiko Android

Thanks so much @rajorajiten.