Bahasa Relasi Kelamin

in esai •  7 years ago 

Oleh Herman RN

“KAYAK cewek saja. Kamu itu cowok atau cewek sih? Kamu… bla..bla..bla..” ungkapan ini atau mirip dengannya kerap terdengar dalam pergaulan remaja. Biasanya, kalimat seperti ini dituturkan oleh lelaki kepada temannya. Tidak tertutup kemungkinan ucapan itu dilontarkan pula oleh perempuan kepada teman lakinya.

Kalimat seperti ini biasanya ditujukan kepada lelaki yang tidak mampu mencapai maksud. Ketidakmampuan tersebut diterjemahkan sebagai kelemahan sehingga disamakan serupa perempuan. Ucapan demikian, di satu sisi, memang merendahkan diri si lelaki. Namun, di sisi lain bermakna bias, terutama telah mendeskreditkan perempuan yang diasumsikan sebagai sinonim lemah. Pada kalimat tersebut tersirat bahwa perempuan sebagai makhluk tidak berdaya. Karenanya, jika ada lelaki yang tidak mampu berbuat sesuatu akan disamakan seperti perempuan, lemah dan tidak berdaya. Tindakan menyamakan laki dan perempuan dalam pola pikir bahwa lelaki yang tidak kuat sama dengan perempuan tentu saja perilaku subordinasi terhadap kaum perempuan. Inilah bias gender dalam bahasa bertutur yang mudah sekali terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Sebaliknya, perempuan yang memiliki kesanggupan dari sisi tenaga--lebih daripada perempuan umumnya--akan dikonotasikan sebagai lelaki. Kerap kepada perempuan tersebut dilontarkan kalimat semisal “Kayak cowok, kasar, dll.” Secara teks, kalimat ini mencoba memposisikan perempuan sebagai makhluk yang kuat. Akan tetapi, dari sisi semantis, kalimat ini mencoba menegaskan bahwa perempuan itu sejatinya tidak boleh memiliki tenaga menyerupai lelaki. Tidak boleh memiliki kemampuan setara dengan lelaki. Tegasnya, ada disposisi bahwa perempuan hanya boleh tercipta sebagai makhluk lemah, yang dalam pemahaman umum berperilaku kemayu atu feminin. Lagi-lagi yang menjadi imbas bahasa tutur adalah perempuan.

Banyak sekali sebenarnya ucapan dalam kehidupan sehari-hari manusia yang mendeskreditkan posisi perempuan. Kadang, ucapan itu disadari, kadangkala tidak. Hal ini tentu menarik ditelaah. Bukan hanya karena Oktober diperingati sebagai Bulan Bahasa, tetapi juga di tengah gencarnya perjuangan gender dalam masyarakat kita. Sejatinya, bias gender yang paling mudah terjadi itu melalui bahasa tutur. Barangkali, idiom ‘lidah tak bertulang’ sangat tepat untuk menggambarkan betapa nudahnya kesalahan itu terjadi pada ucapan. Oleh karena itu, pepatah menganjurkan agar setiap orang menjaga lidahnya. Bahkan, diasumsikan bahwa “Mulut itu ibarat harimau” atau “Mulutmu harimau kamu”.

Kesadaran berbahasa, terutama menyangkut relasi gender atau relasi dalam jenis kelamin mesti dimiliki setiap orang. Sangat banyak terjadi marginalisasi terhadap kaum perempuan dalam ungkapan berbahasa. Bahkan, bagi mereka yang mengaku sebagai aktivis gender sekalipun, dimungkinkan muncul kalimat atau bahasa bias gender. Untuk apa, di satu sisi memperjuangkan relasi gender, tetapi di sisi lain bahasa yang digunakan malah mendeskreditkan gender itu sendiri? Dalam pepatah orang Aceh disebutkan Saweueb babah bulee basah, saweueb lidah badan binasa ‘Bersebab mulutlah bulu basah, bersebab lidah badan binasa’.

Idiomatik
Dalam bentuk ungkapan idiomatik, perempuan juga sering jadi konotasi ‘rendahan’. Idiomatik-idiomatik untuk menyatakan lakon asusila, misalnya, bagi perempuan lebih banyak namanya dibanding untuk laki. Banyaknya atribut bahasa yang maknanya asusila dilekatkan kepada kaum perempuan dapat dilihat mulai dari idiom pelacur, PSK, lonte, murahan, sampai tante girang. Sebaliknya, bagi lelaki yang melakoni tindakan asusila yang sama, atribut bahasa yang disematkan lebih sedikit, paling hidung belang dan mata keranjang. Kalaupun ada tambahannya, bagi lelaki disebutkan gigolo, sedangkan perempuan pun punya istilah germo untuk hal yang sama. Artinya, perempuan lebih banyak menerima istilah subordinasi dibanding lelaki.

Dalam bentuk idiomatik makian, juga lebih sering disebutkan bagian tubuh perempuan dibanding bagian tubuh laki. Lazim terdengar dalam bahasa Indonesia, umpanya, pukimak dan beberapa bagian tubuh lainnya milik perempuan. Sangat langka bagian tubuh lelaki yang dipakai utuk menyatakan ungkapan ‘jorok’ tersebut. Hal ini juga bagian dari bias gender dalam berbahasa, kendati barangkali penempatannya sangat kontekstual sehingga tak selalu berkonotasi negatif.

Hampir di semua bahasa dalam semesta ini berlaku demikian. Dalam bahasa Aceh, untuk beberapa ungkapan yang menyatakan kegirangan pun digunakan bagian ‘kelamin perempuan’. Sebagai contoh, seseorang yang baru saja mendapatkan suguhan kopi yang barangkali lebih nikmat dari biasanya, mudah sekali terlontar kalimat “Ok maih, mangat that kupi nyoe sang” ‘Pukimak-nya itu, nikmat sekali kopi ini rupanya’. Bagi dua orang teman lama yang baru saja bertemu setelah berpisah beberapa waktu, juga dimungkinkan muncul bahasa yang membawa bagian kelamin perempuan. “Pantek Maknya itu, lama sudah kita tidak jumpa, kangen aku” adalah kalimat yang mudah muncul. Meski bukan untuk menyatakan makian, tetapi penggunaan bagian tubuh perempuan selalu sering diucapkan. Dalam bahasa daerah tertentu, konotasi yang sama terkadang lebih dari lima, misalnya bahasa Aceh, ada pap leumo, aneuk tét mie, bret makeuh, pukoi leumo, apam, dan lain-lain. Semua idiomatik ini bermakna ‘kelamin perempuan’ atau ‘kelamin betina’.

Tentu saja kata-kata itu tidak selamanya untuk memaki, tetapi berlaku kontekstual. Namun, dari sisi pemunculan kosa kata yang bagian tubuh perempuan lebih banyak digunakan tinimbangkan laki, kosa kata tersebut tetap berada pada nilai rasa yang rendah. Artinya, perempuan diasumsikan sebagai konotasi rendah.
Akhirukalam, melalu Bulan Bahasa tahun ini, semoga kita dapat merefleksi dan mengintrospeksi kembali bahasa tutur kita menjadi lebih baik. Paling tidak, jangan sampai terlalu sering terjebak pada bias kelamin, walau dalam hidup ini kelamin merupakan sesuatu yang vital dan mesti. Wallahualam!

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!