(Sumber: geotimes.co.id)
Akhir-akhir ini saya sering bertanya pada diri saya sendiri. Mungkin, pertanyaan ini bukanlah pertanyaan yang sangat penting bagi sebagian orang, apa lagi bagi sebagian orang yang berfikir sok bebas tapi tidak bebas. Saya sering bertanya-tanya, kenapa saya harus menulis? Jawaban yang saya dapat dari beberapa buku fiksi dan non-fiksi yang tetap berpendapat bahwa menulis adalah sebuah proses menuju keabadian, seperti yang pernah dikatakan Pramoedya, bahwa; orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis maka ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah.
Sebagai manusia yang tidak cerdas dan tidak pula menulis, tentu kemungkinan terburuk itu akan datang menimpa saya. Orang yang cerdas saja bisa hilang apa lagi orang tolol seperti saya ini. Frasa “hilang” tentu tidak cocok bagi saya, saya menawarkan frasa untuk diri saya sendiri yang saya fikir lebih tepat, yaitu “tiada”. Jika frasanya “hilang” berarti pernah ada, hanya saja keberadaanya tidak lagi diketahui. Begitulah kira-kira.
Berangkat dari kecemasan di ataslah saya menulis sedikit demi sedikit. Saya fikir hanya dengan jalan menulislah saya bisa mengupayakan perpindahan saya dari “tiada” menuju “ada”. Apakah nanti saya akan dikenang dalam sejarah atau tidak itu tentu bukan urusan saya, itu adalah urusan sejarah.
Rasa-rasanya, apa yang dituliskan Pramoedya belum begitu memuaskan pertanyaan saya. Entah atas alasan apa saya tidak puas, hal itu juga masih menjadi pertanyaan yang sampai sekarang saya belum mencium bau jawabannya. Nah, berakangkat dari pertanyaan abstrak yang hanya terlukis dalam kepala saya itu, saya mencoba untuk mensederhanakan dengan pertanyaan kedua; akan menjadi apa saya sepuluh tahun kedepan? Apakah saya menjadi orang? Atau hanya menjadi segumpal daging yang kebetulan saja hidup.
Saya pernah menghayal, sekiranya saya mendapat pekerjaan kelak, tapi saya berkerja—meminjam istilahnya Hamka—seperti babi di hutan yang hanya sekedar bekerja. Pun begitu ketika misalnya nanti saya diberi anugerah tangan yang bisa bermanja-ria dengan pena atau keyboard (untuk konteks post-medernisme). Apakah saya hanya sekedar bekerja, atau sekedar menulis begitu saja? Tanpa harus memikirkan dampak tulisan saya kepada orang yang membacanya.
Mungkin, hal ini tidak berlaku di kalangan penulis pemula, namun bukan berarti saya mengatakan bahwa saya adalah penulis yang professional, bahkan saya masih sangat awam dalam dunia tulis menulis, hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya tulisan saya yang mendapat respon, tidak pernah dimuat di media, walaupun dimuat bukanlah suatu standar baku sebuah tulisan berkualitas atau tidak, namun setidaknya untuk sebuah eksistensi, tulisan yang dimuat di media dan mendapat bayaran tentu lebih bagus dari pada tulisan ‘bagus’ tidak pernah dibaca.
Suatu ketika saya pernah mengikuti diskusi lebih tepatnya pesta, mungkin. Pesta yang diadakan oleh teman-teman komunitas membaca yaitu; GSB (Gerakan Surah Buku). Pesta yang sangat unik saya kira, selain karena menghadirkan pembicara-pembicara yang memang berkompetan di bidangnya, salah satunya adalah Prof. Irwan Abdullah dari salah satu kampus paling bergengsi di Jogja; Universitas Gajah Mada. Biasanya jika berpesta yang mungkin tertanam dalam fikiran kita adalah berpora-pora, maka tidak dengan pesta kali ini. Dalam pesta ini kita malah berdiskusi sambil menikmati pesta.
Saya masih ingat, ketika itu saya bertanya perihal “anak ruhaniyah” yang lahir “premature”. Lebih jelasnya, saya mencurahkan keresahan saya ketika menulis. Saya pernah menulis sebuah buku antologi puisi bersama dengan seorang teman saya satu kontrakan. Sayangnya, saya sedikit malu mengakui kalau buku tersebut adalah karya saya. Tentu maksud saya tidak mengakui bukanlah makna mutlak tidak mengakui, melainkan karena kualitas tulisan yang masih di bawah tulisan yang paling awam sekalipun, sehingga saya sangat jarang mempromosikan buku tersebut.
Jika karya adalah anak ruhaniyah, sebagaimana yang Pramoedya sebutkan, maka buku antologi puisi saya jelas anak ruhaniyah saya, namun karena saya tulis dengan tanpa perhitungan, hingga yang lahir adalah karya prematur, walaupun memang tidak akan ada karya yang benar-benar sempurna jika karya tersebut masih karya manusia.
Terlepas dari anak ruhaniyah saya yang bernama “LALU” itu, saya ingin berbagi cerita hal yang lain pula, namun masih dengan tema yang sama. Bahwa semakin sering saya menulis lepas, semakin sering pula pertanyaan, kenapa saya menulis itu timbul.
Siapa yang tak kenal Hamka, seoang ulama besar yang ucap dan tulisannya selalu sastrawi. Mulai dari karya fiksi berupa novel sampai tafsir al-Azhar yang berjilid-jilid tetap tidak kehilangan sastranya. Dalam buku beliau Falsafah Hidup ada sebuah tulisan yang menyiratkan; kalaulah menulis hanya sekedar menulis tentu tulisan itu hanya akan menjadi pengantar tidur, tapi jika tulisan itu ditulis dengan hati maka akan dibaca oleh hati pula, begitu tulis Hamka.
Setelah merenungkan kembali kata-kata yang singkat tapi sarat makna itu, betapa saya tidak terkepak, dan tidak mungkin tidak tertampar rasanya. Selama ini saya menulis dengan nafsu, sampai-sampai menulis bagi saya tidak ubahnya mabuk, saya sudah tidak peduli apa isi tulisan saya dan akan apa jadinya pagi pembaca. Memang, dalam beberapa diksusi liar mengenai sastra bersama teman-teman, saya sering mendengar; bebaskan tulisanmu. Katakan apa saja yang engkau suka.
Semenjak itu bisa dikatakan nafsu menulis saya menjadi meningkat, misalnya saat-saat duduk menunggu kopi di antar, mununggu kawan di kamar mandi, saya selalu membuat coretan-coretan kecil. Tapi lahirnya suatu karya tidak pernah bisa membuat saya puas dalam artian bisa tenang. Melainkan, saya merasa ada yang tidak beres dengan diri saya.
Pernah suatu ketika saya menulis puisi beberapa waktu setelah azan magrib, dengan hanya mengenakan celana dalam, lalu duduk di teras rumah bagian dalam. Puisi itu saya beri judul; telanjang, secara batiniyah saya menolak dan tidak setuju dengan apa yang saya lakukan itu. Batin saya mengatakan, bahwa untuk mendapatkan rasa dari sebuah karya tentu tidak perlu mengundang “setan” ke dalamnya.
Ya, kalau hanya untuk memenuhi lembar-lembar tentu dengan menyuruh monyet meletakkan jemarinya di atas keybord akan menjadi sebuah tulisan. Tapi, apakah monyet sama seperti saya? Tentu berbeda. Mungkin saya lebih dari monyet, maskudnya lebih rendah dari monyet. Toh, apa bedanya tulisan saya yang bebas, kacau balau tanpa berfikir dengan seekor monyet menulis. Bahkan monyet itu lebih cerdas, seharusnya dia tidak bisa menulis menjadi pandai menulis.
Memang saya akui, akhir-akhir ini saya menulis untuk mengejar target untuk bisa dicetak menjadi buku, sehingga terkadang saya harus mengebu tulisan tanpa mengerti etika, rasa, pesan dari sebuah bahasa tulisan. Saya coba menuangkan apapun yang terlintas dalam kepala saya dengan menuliskannya dalam bentuk puisi, essai yang terkadang kemudian saya rombak menjadi cerita pendek.
Namun yang saya sayangkan terhadap kebiasaan saya itu adalah sebelum tulisan tersebut menjadi tulisan yang utuh saya sudah memikirkan hal yang lain, sehingga saya harus menuliskan hal yang lain pula. Jadinya adalah, apapun yang pernah saya tulis tidak pernah menjadi tulisan yang selesai, selalu saja terbengkalai. Oh, saya fikir apa jadinya kalau misalnya sepuluh tahun kedepan saya mendapat mendat jadi kepala proyek, tentu akan banyak proyek setengah matang.
Fenomena semacam ini mungkin sering dialami oleh penulis-penulis besar sebelum mereka menjadi penulis besar. Hebatnya mereka bisa mengolah sesuatu yang terlintas secara acak itu menjadi tulisan yang berisi, bernas, ganas, yang akan dibaca sampai setelah dunia memperdebatkan letak kuburan mereka. Lah, sedangkan saya. Sudahlah tidak pandai mengolah belajar mengolahpun enggan.
Saya coba renungkan kembali, bagaimana saya bisa mengembalikan ketenagan dalam menulis. Saya ingin menulis dengan memejamkan mata sambil menikmati bunyi keyboard layaknya nada yang dimainkan oleh pianis tersohor. Dulu sekali, saya pernah mendapatkan ketetangan semacam itu kendati sebentar.
Saya ingat, ketika itu saya duduk di warnet. Saya mencoba menikamti menulis sambil mengikuti irama musik jazz klasik yang rileks. Walaupun tulisan saya tetap tidak bagus, tapi saya sangat suka dengan pola menulis seperti itu. Kadang sesekali saya menutup mata menikmati musik sambil jemari saya terus menuliskan beberapa kata.
Beberapa bulan silam, saya pecaya bahwa menulis itu memang seperti bercinta, walaupun saya belum pernah bercinta. Tapi saya sangat yakin bahwa menulis itu seperti bercinta, dimana antara penulis dan apa yang akan ditulis adalah dua hal yang berpisah pada awalnya, lalu disatukan oleh media tulis, selanjutnya menjadi “buah hati” atau karya. Tapi, saya lupa bahwa dalam bercinta seyogyanya yang hadir adalah rasa cinta, bukan hanya sekedar mengebu nafsu semata. Akhirnya saya menyadari bahwa yang saya lakukan akhir-kahir ini, bukannya menulis-bercinta meliankan menulis-memperkosa.
Setiap karya, apakah itu tulisan, lukisan, musik, pahat atau apapun. Saya fikir itu memang seperti buah hati, dan memang buah hati, yang artinya tidak bisa dilepas begitu saja. Nah, inilah kesesatan saya. Kenapa sampai hati hingga saya “menolak” kehadiran buah hati saya yang bernama “LALU” itu.
Setelah saya renungkan, teranyata alasannya sangat sedernaha. Oleh karena saya tidak mampu atau belum mampu menjadi “Ayah” yang baik saja, sehingga si LALU hampir tidak saya akui. Seyogyanya saya sebagai “Ayah” tidak boleh melepas begitu saja, melainkan saya harus mendidik tulisan tersebut, karena bagaimanapun tulisan itu akan bermasyarakat sebagaimana halnya anak biologis juga.
Bedanya dengan anak biologis adalah; bahwa tulisan diberikan gizi dengan cara memperbanyak tulisan yang lainnya, artinya konsisten dalam menulis. Konsiten sekedar konsisten tentu tidak cukup, melainkan butuh fokus dalam menuliskan bidang tertentu tentu. Walaupun sampai tulisan ini saya tulisan saya tidak pernah konsiten dalam menulis apa lagi untuk konsisten dalam seyogyanya konsisten.
Selain itu yang sangat penting adalah aksi atau lelaku, karena setelah menyadari bahwa lakon hidup saya dengan apa yang saya tulis pecah kongsi—meminjam istilahnya Buya Syafi’i—akhirnya saya menjadi malu mengakui karya saya. Kerana apa yang saya tulis dengan apa yang saya perbuat sangat kontras.
Hal ini baru saya sadari setelah bertemu dengan salah seorang penyair Madura di Kafe Basabasi. Salah satu kafee model menurut saya karena selain menyediakan makanan dan kopi tentunya, juga menyediakan pustaka dan satu lagi adalah pojok-pojok penulis, pojok Agus Noor, misalnya. Walaupun saya tidak mengerti betul makna pojok-pojok itu.
Kalau saya tidak silap Muafiqul Khalid MD-lah waktu itu, yang secara tidak sengaja saya temui. Setelah mengajari tentang bagaimana mengubah puisi, lalu beliau memberi wejangan; setelah menulis puisi kamu harus menjadi puisi itu sendiri, begitu kalau saya tidak silap. Pertemuan yang tidak pernah direncanakan itu berlangsung singkat, untuk selanjutnya saya belum pernah bertemu lagi dengan beliau ini.
Menulis itu seperti bercinta. Artinya, harus berhasil menikmati tulisan itu sejak dari prosesnya. Karena dengan begitu, menurut saya, kita bisa mengaduk emosi dan suasana dengan tepat. Penulis dan media tulisnya, saya fikir seperti pasangan kekasih, memang harus saling menikmati.
Walaupun di hadapan kita adalah benda mati, tapi bagaimana kita mampu menghadirkan imajinasi yang menjadikan benda-benda itu hidup dan berinteraksi dengan kita. Bayangkan saja misalnya, ketika seoang penulis merayu letopnya, lalu membelai lembut keyboardnya. Cobalah mengimajinasikan, mungkin kita bisa menikmati proses menulis bahkan lebih nikmat dari setelah menjadi tulisan itu sendiri. Pelajaran ini saya sarikan dari ajaran Tuan Guru Tungang Iskandar (@kitablempap). Kata beliau, dalam bermain musik misalnya, maka seoarang pemusik merasa dirinya yang menjadi nada itu sendiri. Atau dalam seni lukis, pelukis merasa dialah warna itu sendiri, tempo hari di kelas Surah Buku
Menulis juga butuh suasana yang tenang dan nyaman. Karena proses menulis akan sangat mempengaruhi dalam tulisan. Saya pribadi baru menyadari bahwa sebenarnya saya adalah tipe orang yang tidak bisa menulis dalam keadaan fikiran yang kacau. Seperti apa yang dikatakan Sapardi Djokodamono, bahwa orang marah tidak bisa menulis sajak, bahkan mungkin tidak boleh menulis sajak. Awalnya, saya fikir apa yang dikatakan penyair kondang itu tidak ada hubungannya, bahkan sangat salah. Karena dulu sebelum menulis puisi harus marah baru bisa menulis.
Lagi-lagi, karena tidak mendengarkan kata tetua, saya harus menerima bahwa puisi saya sangat tidak bertanggungjawab. Dimana saya selalu menghadirkan satu wajah yang tidak saya sukai, saya selalu menyalahkan orang lain dari pada menyalahkan kesalahan diri sendiri. Setelah beberapa bulan selalu dengan puisi bias konflik yang saya aduk dalam emosi yang terkadang tidak terkontrol, akhirnya saya hanya mendapat kecemasan-kecemasan, padahal puisi seyogyanya menentramkan.
Untuk mengakhiri tulisan ini. Setelah tadi saya mengatakan menulis itu seperti bercinta yang artinya harus menikmati sejak proses bahkan sebelum proses. Saya fikir, seorang penulis tidak bisa menulis dengan cara memperkosa, artinya tidak bisa tergesa-gesa untuk merampungkan, atau untuk melepiaskan begitu saja. Melainkan harus pula difikirkan, diproses dan direnungkan.
Bukankah kita sering mendengar cerita, kalau-kalau anak yang lahir dari pemerkosaan terkadang tidak diakui oleh orang tuanya. Nah, saya kira begitu pula jika kita menulis tergesa-gesa, yang ada malahan sebelum tulisan menjadi tulisan yang utuh kita sudah meninggalkannya, bahkan terkadang tanpa tanggung jawab.
Singkat kata, setelah pembahsannya lari ke sana kemari, tidak jelas. Saya kembali pada pertanyaan awal yang saya peruntukkan untuk diri saya sendiri itu. “Kenapa saya menulis?” Jawaban sementara sembari menunggu jawaban yang lainnya—dari dua hari lamanya saya menulis tulisan ini,—saya baru bisa menyimpulkan, bahwa saya ingin merasakan kenikmatan bercinta dengan tulisan. Saya ingin merasakan nikmatnya sebuah proses menulis. []
Yi Lawe.
Yogyakarta, 2018.
bercinta adalah candu
oiya tafsir hamka yang benarnya al-azhar
kalo al-manar ditulis rasyid ridha
caiyoo
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Tengkyu bang.. Aduh, ingat orangnya tapi lupa karyanya.. Aduh... Hehehe.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
saya juga ingat puisi yang dibawakan oleh muhi, lanjutkan anak muda.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Poesi adalah koentji yang mencari pintunya bang @tukangseduh. Hehe
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
ya tentunya sebuah pintu membutuhkan kunci
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Kalau begitu, tulisan itu kalau tidak klimaks ya kimak..! ..tulisan yang mantap Yi..!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Hehehe.. telah sampailah kami menuju gerbang jiwa-jiwa penikmat proses itu, sebagaimana yang dahulu kala Pak Presiden pernah ajarkan. Tks Pak. Hehe.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit