Bitcoin’ Halalkah? Lalu Bagaimana dengan SBD?

in esteem •  7 years ago 

sumber

‘Bitcoin’ Halalkah?

Sabtu, 24 Maret 2018 09:42

image

Oleh Safriadi

MENARIK dikaji lebih jauh khususnya dari sudut pandang hukum ketika opini yang ditulis oleh Saudara Furqan tentang bitcoin mania yang merupakan satu dari fenomena speculative bubble. Pada paragraf terakhir dalam tulisannya yang berjudul “Bitcoin Mania, Andakah Korban Berikutnya?”, Luqman berpesan; “Jangan sampai karena alasan ingin kaya dalam waktu cepat mengorbankan rasionalitas berpikir dan masa depan Anda.” (Serambi, 1/3/2018).

Fenomena bitcoin ini sudah merambah ke dalam kalangan masyarakat Aceh, bahkan sudah menjadi pasif income bagi sebagian masyarakat Aceh. Sehingga apabila tidak segera dicarikan solusi aspek hukumnya, maka dikhawatirkan timbul perasaan was-was oleh sebagian masyarakat. Terlebih lagi banyak pertanyaan yang muncul kepada penulis, khususnya seputar hukum berinteraksi dengan bitcoin tentang kehalalan atau keharamannya.

Dikutip dari laman Wikipedia, bitcoin adalah satu mata uang elektronik yang dibuat pada 2009 oleh Satoshi Nakamoto. Nama tersebut juga dikaitkan dengan perangkat lunak sumber terbuka yang dia rancang, dan juga menggunakan jaringan peer-ke-peer tanpa penyimpanan terpusat atau administrator tunggal, di mana Departemen Keuangan Amerika Serikat menyebut bitcoin sebuah mata uang yang terdesentralisasi.

image

Hukumnya haram
Bagaimana hukum menggunakan atau bertransaksi dengan beitcoin? Pemegang amanah fatwa Darul Ifta’ Misriyyah, Kairo, Mesir, setelah melakukan pembahasan dan merujuk kepada ahli ekonomi tentang mata uang, mengeluarkan fatwa bahwa bertransaksi dengan mata uang virtual, khususnya bitcoin hukumnya haram.

Keharaman tersebut didasari oleh beberapa alasan: Pertama, berdampak negatif bagi sistem perekonomian; Kedua, terganggunya keseimbangan pasar (tempat dilaksanakannya transaksi antara penjual dan pembeli); Ketiga, terganggunya konsep dan peraturan tata cara kerja para pegiat ekonomi; Keempat, tidak ada payung hukum terhadap pengguna atau orang yang berinteraksi dengan bitcoin, juga terhadap uang yang dihasilkan darinya;

Kelima, belum ada peraturan pemerintah tentang hukum berinteraksi dengan bitcoin (dibolehkan atau dilarang); Keenam, tercabutnya kewenangan pemerintah dalam hal keuangan dengan berlaku pada bitcoin; Ketujuh, adanya kemudharatan yang timbul dari penipuan, kesamaran dan kecurangan pada penggunaannya, standarnya dan harganya.

Rasulullah saw dalam hadisnya melarang tindakan penipuan, “Barang siapa yang menipu umat muslim, maka ia tidak termasuk kedalam kategori umat Islam”. Apalagi berinteraksi dengan bitcoin dapat berisiko tinggi terhadap individu dan negara, sedangkan aturan syariat telah menetapkan “tidak boleh memudharatkan orang lain dan tidak boleh saling memudharatkan”.

Sementara itu, Tgk H Muhammad Amin Daud (Ayah Cot Trueng) berpendapat bahwa transaksi (ber-muamalah) yang dibolehkan oleh agama adalah transaksi yang jelas ‘aqid-nya (penjual dan pembeli), adanya mabi’ (barang), serta adanya manfaat yang dituju dari padanya. Sedangkan pada kasus bertransaksi dengan bitcoin tidak diperdapatkan pembeli secara jelas (anonymous), barang yang diperjualbelikan (mabi’) juga tidak dimiliki secara nyata. Dengan demikian, beliau berpendapat bahwa haram hukumnya berinteraksi dengan bitcoin. Pendapat ini beliau kemukakan pada acara mubahasah masail hadisah di satu dayah di Kota Langsa.

Pendapat serupa juga disampaikan oleh Tgk H Nuruzzahri Samalanga (Waled Nu). Menurut beliau, haram hukumnya melakukan transaksi dengan bitcoin, karena tidak sesuai dengan kaidah-kaidah ber-muamalah sebagaimana yang diatur oleh syara’. Sehingga beliau menganjurkan kepada seluruh masyarakat agar mencari rezeki dengan giat dan dalam cara-cara yang halal dan jelas sumbernya.

Rezeki yang dihasilkan dengan cara-cara yang halal, menurut Waled Nu, merupakan kepercayaan dan keberkahan yang diberikan langsung Allah Swt. Rezeki yang baik adalah rezeki yang halal dan didapatkan dengan cara berusaha, tidak dihasilkan dengan cara instan yang menyalahi dengan akal sehat.

Bukan alat pembayaran
Terkait mata uang virtual tersebut, Bank Indonesia (BI) menyatakan bahwa bitcoin bukan merupakan mata uang atau alat pembayaran yang sah di Indonesia berdasarkan UU No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Selain itu, BI juga melarang Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran untuk melakukan pemrosesan transaksi pembayaran dengan menggunakan virtual currency (termasuk bitcoin).

BI dalam satu Siaran Pers-nya terkait bitcoin dan virtual currency lainnya menyatakan: Memperhatikan UU No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dan UU No.23 Tahun 1999 yang kemudian diubah beberapa kali, terakhir dengan UU No.6 Tahun 2009, BI menyatakan bahwa bitcoin dan virtual currency lainnya bukan merupakan mata uang atau alat pembayaran yang sah di Indonesia.

Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk berhati-hati terhadap bitcoin dan virtual currency lainnya. Segala risiko terkait kepemilikan/penggunaan bitcoin ditanggung sendiri oleh pemilik/pengguna bitcoin dan virtual currency lainnya.

Dari beberapa uraian di atas, seperti lembaga fatwa Mesir, pendapat para ulama, dan pernyataan dari BI, akankah kita masih menyakini bahwa bitcoin itu halal?

Begitu pula ketika kita berinteraksi dengan berbagai media sosial yang dapat menghasilkan reward dalam bentuk virtual, misalnya Steemit yang menggunakan fasilitas bitcoin untuk pemrosesan pencairan reward atau dananya. Tentunya aspek hukum tentang Steemit butuh kajian yang lebih mendalam lagi dari para pakar dalam bidangnya. Nah!

Dr. Tgk. Safriadi, SHI, MA., Staf Pengajar Dayah Raudhatul Maarif Cot Trueng dan Fakultas Syariah IAIN Lhokseumawe. Email: [email protected]

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

I would love to see SBD go back up and steem to stay where it is at ;)

I also really hope SBD can ride back mister ..😂

Very nice, Will be looking forward to your posts. Up-voted: hope you will visit my blog