Bangsa yang Nyaris; Tanggung

in esteem •  6 years ago  (edited)

image

Pertandingan antara Indonesia vs Qatar yang berakhir dengan skor 5-6, oleh banyak orang akan menilai dengan kalimat; "Kita Nyaris Memang". Pertandingan penuh kejutan itu, mengajarkan kita dua hal; satu, (versi mainstream namun agak naif) bahwa perjuangan mereka sungguh luar biasa dan hampir saja bisa menyeimbangkan kedudukan. Kedua, apapun drama dan prosesnya, kalah tetaplah kalah.

Sejak awal pertandingan, Indonesia tertinggal 1-4 hingga di babak kedua kembali terpuruk 1-6. Masuknya pemain dengan nama panggilan 'Pace' mengubah banyak hal. Tiga gol dari pemain mungil asal Papua ini serta satu gol Sadil, mampu memperkecil menjadi 5-6, sebuah capaian luar biasa.

image

Yang luar biasa tidak hanya skor yang menipis. Lebih jauh, adalah mentalitas yang awalnya loyo kembali bergelora. Menginggat, sejak pertandingan dimulai Indonesia terus saja di bawah tekanan. Pressing ketat dari Qatar menyebabkan Indonesia susah mengembangkan permainan. Dampaknya, kesalahan sendiri kerap terjadi dan dapat dimanfaatkan dengan baik oleh lawan.

Dari sini ada hal yang dapat dipetik. Tekanan hidup, mendorong seseorang untuk rentan berpikir negatif yang muaranya adalah kehilangan semangat hidup. Belum lagi, yang parah, melakukan hal-hal di luar kepatutan. Untuk itu, selalu penting kontrol emosi, diri dan jiwa agar ketenangan pelan-pelan muncul. Ketenangan dapat membuat seseorang jauh lebih rasional. Begitu kira-kira dalam sekup permukaan.

image

Lantas apa lagi yang menarik dari pertandingan tersebut? Pertandingan dan hasil yang dramatis sesungguhnya bukan kali pertama Indonesia mengalaminya, bahkan agak sering. Bagi saya, "Indonesia adalah bangsa yang nyaris". Apa yang bisa kita gugat dalam artian kritis? Nyaris bisa dimaknai sebagai sesuatu yang tanggung.

Hampir menang sama dengan kalah. Hampir juara sama dengan gagal. Itu versi gamblangnya. Tentu saya tidak membahas proses. Ini secara hasil. Hanya saja, bangsa yang kerap mabuk dalam hal-hal semangat ini, terlalu sering memoles segala hal dengan narasi heroik. Semisal sepakbola, kita harus menghargai perjuangan para pemain, kita sebenarnya hebat tapi tidak beruntung. Kalimat barusan, dalam kacamata kritis terindikasi pengecut. Sulit mengucapkan hal gamblang bahwa gagal.

image

Tentu akan lain perspektif ketika dibahas dalam amatan positif thinking. Dua kalimat terakhir di atas, adalah bagian daripada sikap menghargai, mengakui yang menunjukkan kebesaran jiwa. Tidak ada yang salah memang. Tapi kalau boleh jujur, bangsa kita terlalu over dosis dengan narasi yang demikian rupa.

Sebagai bangsa yang nyaris, sifat inferior dan superior kerap teraduk-aduk. Celakanya, tidak pada tempatnya. Mengedepankan moralitas itu baik, tapi juga punya efek samping. Semisal Kalimat; kita nyaris menang dan kita hebat. Bahayanya, bagi si oknum, dalam kasus di atas sekali (pemain bola) akan muncul dalam dirinya kerapuhan atau mudah muak.

image

Maka, mulailah belajar untuk berani mengucapkan hal-hal yang gamblang. Selama ini, yang agak 'mereng' dari kebiasaan adalah, sering menuntut jujur, tapi tidak enakan ketika bahasanya vulgar. Benar bahwa bahasa itu seni attau alat politis, pertanyaannya; sampai kapan mempertahankan paradoks, berdiri atas moralitas (terlalu menjaga) tetapi tidak pernah berani mengucapkan kata/kalimat yang gamblang!?

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!