Ada banyak orang yang hidupnya beruntung, tak sedikit yang nasibnya buntung. Dalam hidup kita sering kali dihadapkan pada persoalan pelik. Musibah datang silih berganti, ujian tak jemu menghampiri. Pada batas sabar dan doa, hanya rasa syukur sebaik-baiknya kekuatan.
Tadi siang, di sebuah kawasan saya melihat seseorang yang berkerja dengan profesi dengan resiko tinggi. Bahkan, nyawa adalah taruhannya. Sebuah saja namanya Pak Halim, pria bersuara serak dengan semangat hidup tak biasa. Matanya teduh, tatapannya tajam, bicaranya mengandung sejuta hikmah.
Sebagai seorang tukang listrik, menghadapi tegangan tinggi sudah menjadi hal lumrah dalam kesehariannya. Baginya, berkerja merupakan ibadah. Ia hanya ingin menafakahi 6 anaknya dengan seorang istri yang menkhidmadkan diri sebagai ibu rumah tangga.
Saya berbicara dengannya kurang lebih satu jam kala ia rehat dari rutinitas kerjanya. Kebetulan tiang listrik yang sedang ia perbaiki berdekatan dengan warung kopi yang saya tempati. Saya beruntung, bertemu dengan pribadi yang ramah, yang derma membagikan hikmah dari kisah hidupnya.
Mungkin, bagi kita tukang listrik hanya profesi remeh remeh. Kendatipun ia berkerja bermodalkan ijazah SMK, namun, dari penuturannya beberapa kali ia mendapatkan sertifikat dari PLN sebagai pekerja terbaik. Dari gestur tubuhnya saya membaca ia memiliki etos kerja yang baik.
Kadang, dari kisah tersebut mengetuk hati saya, acap kali, saat mati lampu tiba kita dengan penuh kesal menyumpah-seraphi PLN. Sejujurnya, kita hanya menghardik instansi. Tanpa kita sadari, di balik sebuah perusahaan ataupun BUMN, ada orang-orang biasa yang kinerja lapangannya luar biasa.
Entah sudah berapa banyak dosa kita, entah sudah berapa banyak hati-hati yang terluka. Dalam kekesalan yang memuncak, kita menggugat atas nama pelayanan buruk dengan tagihan tinggi dan tak boleh terlambat. Padahal, lebih dari itu, ada orang-orang yang pontang-panting di saat listrik padam harus segera ke tempat kejadian.
Mudah memang beralasan; mereka kan digaji. Benar, saya tidak menampik itu. Lebih jauh, sekalipun atas nama tanggungjawab mereka, mungkin mereka pun menerima tekanan dan dimarah-marahi atasannya.
Dalam hidup, atas nama kenikmatan pribadi kita sering kali menghakimi, menghujat, bahkan menuntut lebih atas nafsu dan ego yang tak kunjung terpenuhi. Mudah-mudahan, akan ada banyak kisah pinggiran yang terkuak ke permukaan, yang dari sana, hati kita menjadi lembut, akal sehat kita lebih bijak, sehingga akan tumbuh kesadaran; bahwa menghargai orang lain adalah keniscayaan hidup yang patut diapresiasi.
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
https://steemit.com/story/@lontuanisme/belajar-menghargai-orang-lain-016a71c312272
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit