Si Cantik dan Pesawat Terbang

in fiction •  7 years ago  (edited)


sumber

Ia cantik, gesit, kulit lembut serupa kapas. Ia memiliki paras unik dan menarik, khas perempuan blesteran. Kulirik perlahan, ia mengenakan pakaian halus, sehalus rambutnya tergerai di atas bahu. Aih! Aku ingin mendekat, tertahan, akhirnya duduk menganga macam orang baru melihat gadis cantik seumur hidup. Aku kembali masyuk melihat gerak jalanya serupa kucing menyusuri lorong kecil dalam pesawat, matanya sesekali melihat boarding pass. Berselang dua baris dari tempat dudukku, “ini perempuan tercantik yang pernah aku lihat,” gaya jalanya yang seperti singa betina itu serta merta menyeret pikiranku ke gaya jalan seorang model papan atas di FTV. Sebelum itu, aku sudah memperhatikannya di saat berada di dalam antrian check-in di Bandara Kuala Namu, Medan, menuju Bandung. Sesudah itu, ia seperti sosok adikodrati yang muncul dan kemudian menghilang dalam keramaian penghuni terminal.


Tepatnya pukul dua siang saat itu. Matahari mulai menunjukkan girangnya, lalu lintas yang padat membuatku sedikit terhambat untuk sampai di bandara. Untung mobil yang kupilih tahu betul menguasai jalan pintas sehingga sampailah aku dengan selamat, meski sedikit terlambat.

Aku berdiri tepat di belakang perempuan Cina tua yang mulutnya tak berhenti berbicara dengan bahasa yang tidak kumengerti. Kulirik pembantunya mengangguk-ngangguk seperti itik lapar. Saat aku jenuh mendengar ocehannya, seketika itulah aku menemukan sosok yang kuceritakan di atas, seorang makluk tercantik berkelebat. Kemolekan tubuhnya membuat nafsuku memberontak sekaligus mencibir ketidakberanianku. Keriuhan bandara tiba-tiba raib, tak kudengar lagi repetan cina tua itu, sosok tadi memenuhi tiap ruang pikiranku. Tertegun, takjub beriringan membuat otakku lumpuh. Tak kutahu berapa lama aku mematung, dan aku terperanjat ketika petugas imigrasi memanggilku. Kulihat ke belakang, orang-orang menunjukkan wajah marah karena telah membuat mereka harus menunggu sampai lamunanku buyar. Sambil memohon maaf aku perlahan maju ke meja berbentuk bundar, petugas perempuan itu menunjukkan wajah sedikit kesal.

Boarding pass sudah di tangan, tapi aku harus menunggu selama satu jam untuk naik ke pesawat. Mulut kering, kepala pening. Aku melangkah ke sebuah court kecil, dimana tempat satu-satunya yang menyenangkan makhluk perokok. Kopi hitam berkelabat dalam buih nan berorama, kuseruput perlahan sembari menikmati rokok. Disitu pikiranku kembali terfokus ke sosok itu. Melamun, hingga tak sadar bara rokok membakar ujung jemari, aku pun terperanjat.

Pelayan itu datang, tersenyum, “Dik, apa kau percaya cinta pertama?” Terkejut pelayan muda itu. Entah kenapa aku berani bertanya hal semacam itu pada orang yang belum kukenal, barangkali aku terlalu larut memikirkan gadis misterius itu. Kulihat matanya melirik sana sini, tertegun, manyun, diam, dan kembali beranjak ke meja kasir. Aku tak henti-hentinya berterima kasih kepada kopi, karena efeknya bisa membuatku terjaga, di dalam pesawat aku bebas melukis wajah cantiknya dengan pikiranku. Melukis baju tipisnya, rambutnya, tumit putihnya, dan seluruh tubuhnya ingin sisipkan ke tiap garis sketsa lamunanku.

“Penumpang gate 42.”

Aku berlari menuju pintu berangka itu, tas meloncat-loncat di punggungku, berat, kutahan, dan sampailah aku disana dengan nafas tersengal-sengal. Bagaimana jadinya kalau miss, akan menjadi malapetaka seumur hidup. Terutama, aku tidak sempat lagi melihat sosok itu. Di dalam kerumunan manusia yang berdesak, mataku mencari-cari rambut lembutnya, tak kutemukan, nun jauh disana kulihat sebagian penumpang siap-siap naik ke pesawat. Aku naik bus ke dua, yang akan membawaku ke pesawat itu. “Hmmm...dia telah naik bus pertama, pastinya.” Gumamku.

“Seat 46?” tanyaku pada pramugari cantik

Dia tersenyum, dan mengarahkan ke posisi tengah. Kupikir, dia tersenyum acak pada tingkahku layaknya orang yang baru pertamakali menginjak kaki di lantai pesawat. Aku melihat lembar petak putih tipis terjepit di dua jemari, dan sesekali kulirik ke tiap deret, berharap bisa menemukan sosok itu. “Dapat!” Aku duduk di samping jendela, dibawahnya tertulis “Hanya lelaki yang kuat bisa duduk di sini, gunakan ototmu untuk membuka pintu darurat,” Aku tersenyum. Seketika itu pula, mataku menyasar ke lorong kabin pesawat. Hatiku kembali berdegub, sosok itu lewat. Alamak! Cantiknya bukan main, aku memaksa diri tersenyum sambil menimbang wajahku. Dia tenang, rambutnya dikipas dengan jemari lentiknya, cincin bermata putih mengkilat terikat kuat di jari manisnya. Kuku cantik, penuh perawatan, menandakan gadis ini sangat peduli dengan tubuhnya.

Malapetaka sesungguhnya adalah ketika kamu sedang menikmati sesuatu yang membuat hatimu senang dan berbunga-bunga, misalnya di final pertandingan bola dunia, di saat penendang siap-siap menjebol gawang lawan dan tiba-tiba saja listrik mati. Begitulah perasaanku tatkala seorang penumpang bertubuh besar berdiri menyamping, dengan tubuhnya itu seluruh pandanganku tertutup serupa layar hitam membentang, gelap! Hatiku merepet tak karuan, dengan tingkahnya tak bersalah ia langsung duduk bersebelahan denganku, dan bisa kucium bau tak sedap keluar dari lekuk tubuhnya yang jarang terlihat. Hatiku bertambah geram ketika kulihat senyumnya itu. Dialah biang kerok penyebab si Cantik itu raib. Aku tak membalas, geram betul sama lelaki ini. Perjuanganku tidak sampai disitu, aku berdiri, melemparkan pandangan ke barisan belakang. Entah kenapa mataku begitu terang saat itu hingga mampu menangkap beberapa helai rambut lembut yang merengsek masung ke celah batas kursi. Rambutnya itu membuat perasaanku kian panik. Aku duduk lagi, bangun lagi, tak peduli suara pramugari mulai mencetar di dalam pesawat. Pesan yang sama, cara yang sama, peringatan yang sama, ya aku tahu, pasang sabuk pengaman, pelampung di bawah kursi anda.

“Silakan duduk di tempat Anda, Tuan,” perintah salah seorang Pramugari dengan lembut.

Sebagai penumpang yang baik, aku harus menuruti puan pesawat ini. Aku kembali ke tempat duduk. Si Gendut tersenyum, expresiku hambar!

Pesawat kelas ekonomi itu melesat, bisa kudengar suara gemeretuk saat mesin hydrolik mengangkat ban, pertanda semua penumpang sudah tenang. Kulihat lewat kaca bundar berukuran kecil, hamparan warna hijau di bawah sana perlahan raib disusul dengan partikel kecil berserak menemani tubuh burung besi ini. Matahari sedikit redup, awan mulai menggumpal, keseimbangan masih terjaga. Mendesah, mencoba menutup mata, tak bisa. Helai rambut itu laksana kipas bidadari menari-nari di hadapanku. Aku mengambil majalah, mencoba melupakan apa yang kulihat di bandara tadi, masih tidak bisa. Malah pikiranku kian tak tenang, dan langsung terlempar bandara.

Terpikir olehku, semestinya tempat yang pas untuk si Cantik itu, adalah sebuah kafe, minum secangkir lemon tea, duduk bersilang di atas kursi sofa atau duduk di warung kecil, minum kopi atau cokelat sembari mencarik-carik rambutnya dan sesekali bermain dengan kuku-kuku cantiknya, dan aku bisa dengan mudah menemukannya. Ah! Mungkin dia tidak suka kopi, tak mengapa, asal aku bisa melihatnya dengan leluasa. Lalu ia tersenyum kepadaku, dengan itu aku berani duduk berhadapan dengannya. Berbicara ringan, atau apalah.

“Darimana?” bruk...lamunanku buyar. Kenapa dia sering menggangguku. Oh Tuhan, kenapa Engkau pertemukan aku dengan manusia seperti badut.

“Aceh!!” jawabku singkat, berharap dia diam untuk selamanya.

“Oh...Aceh?” Aku mendesah! Sesekali kututup hidungku, tak tahan aku bau nafasnya.
Aku melihat ke arah awan yang kian hitam, berkelabat seperti gumpalan asap misteri terbang bebas membalut cakrawala.

“Apa kau takut naik pesawat?” Ya ampun! Kali ini aku benar-benar ingin mencekiknya.
“Tidak! Terserah Tuhan!” jawabku kesal.

Dia terkekeh, bau mulutnya menohok otakku, manusia ini tak sadar akan giginya yang membusuk itu.

“Kudengar di Aceh banyak pemberontak, ya?”

Aku bergeming, tak ingin aku terlibat pembicaraan dengan si empunya gigi busuk ini. Menghindar lebih baik daripada terlibat percekcokan dengan orang yang belum kukenal batang hidupnya. Berkat efek kopi, mataku kian terlalak, melihat kondisi langit yang kian menakutkan. Jujur, ini kedua kalinya aku berada dalam kondisi semacam ini. Aku berusaha menghilangkan rasa gugup dengan kembali membayangkan gadis cantik itu yang kini berada satu pesawat denganku.

“Pesawat berada di atas 1000 kaki, tetap di tempat anda, pastikan sabuk pengaman tetap terpasang dengan baik.”

Suaranya lembut sekali, kumasukkan tiap ritme suaranya ke dalam sosok Cantik itu. Barangkali suaranya selembut ini, barangkali gaya bicaranya juga selembut ini. Senangnya aku bukan main bila sangkaku benar.

Aku melirik, si Gendut tertidur pulas. Kini aku bisa bebas berimajinasi tentang sosok itu, walau sesekali suara dengkurnya mengusikku.

“Geruduk” Suara itu muncul dari luar pesawat. Lamunanku terganti dengan perasaan risau, juta tanya berkecamuk dalam pikiranku. Akankah aku sampai di Bandung? Akankah aku bisa bertemu dengan Gadis Cantik itu? Oh Tuhan, selamatkan jiwa raga ini!

Setengah jam kemudian pesawat kembali mulus. Aku mengangkat tubuhku lagi, mataku berpatroli ke arah baris belakang. Tepatnya, dimana gadis itu duduk. Kali ini aku bisa melihat wajahnya dengan sempurna, kedua matanya tertutup, lembut selembut wajahnya. Berdiri melihat gerak intai bulu matanya yang sesekali terbuka. Aku tahu, tidurnya tidak nyenyak.

“Tolong Tuan duduk, kita hendak mendarat!” Perintah pramugari yang sedang lewat.

Aku duduk, dan mengatur strategi untuk bertemu dengannya di saat landing nanti. Aku berpura-pura dengan cara berlama-lama berlagak seperti orang kehilangan dompet atau mencari-cari benda yang tak akan pernah ketemu itu di bawah kursi, ya karena benda itu tidak hilang. Mengulur waktu selama mungkin sampai dia tiba di hadapanku. Lalu, kami bersama-sama turun, membantu membawa tas kecilnya. Setelah sampai di bawah, kami berjalan menuju pintu masuk bandara. splendid!

Pesawat berwarna putih yang kutumpangi itu mendarat mulus disambut dengan gerimis. Berhenti, aman, satu persatu penumpang mulai dipersilakan turun. Nun di sana, si Cantik itu bangun, meregangkan otot tangannya, dan mengucek mata sambil merapikan baju tipisnya. Penumpang di baris depan kosong. Si Gendut bergeser, badannya yang bongsor itu nyaris memenuhi lorong dalam pesawat. Tersenyum, aku tetap tergeming.

Dengan langkah kecil si Cantik itu mendekat ke barisanku. Oh Tuhan! CiptaanMu ini begitu sempurna. Aku mulai bertingkah layaknya orang yang pertama mengenal gadis cantik. Senyum, dia diam, senyum lagi, masih diam. Tinggallah aku bersama penumpang barisan belakang. Tepat di belakang, si Cantik dengan sikap tenang mengibas rambutnya hingga beberapa helai menyambar ujung cuping telingaku. Lembutnya, macam kipas bidadari, kawan.

Aku turun. Dalam rinai hujan, aku masih mengamati tubuhnya, diangkatnya bagian bawah celana sampai bawah lutut. Tak tahan aku melihat kulit putih berdecak di pikiranku.

“Hai...!” Kataku. Dia mengangguk, expresinya begitu hambar.

Beberapa petugas berlari menyambut penumpang dengan payung. Payung berwarna hijau bergagang atom plastik itu kupegang erat melawan angin utara yang berhembus bersama hujan. Aku berlari, dia menyusul. Rincak air yang tergenang pecah kena kaki mulusnya. Kesempatan berkenalan dengannya tinggal beberapa menit lagi. Tak peduli hujan, aku berlari kecil menunggunya hingga tiba tepat di sampingku.

Sampailah kami di tempat teduh, beberapa meter lagi kami sampai di pintu bandara Husein Sastranegara.

“Oh ya, Salim...!” ucapku sambil menyulurkan tangan.

Dia tersenyum, tak menjawab. Aku pun terlibat pembicaraan solo dengannya sembari berharap, dia membalas tanyaku dengan suara lembut serupa suara pramugari itu. Kutemani dia dengan penuh percaya diri, kebanggaan tersendiri bagi seorang lelaki bisa berjalan dengan gadis cantik.

“Yang mana?” tanyaku sembari menunjuk ke arah deretan bagasi.

Masih diam, senyumnya yang lembut itu kini benar-benar menyiksaku. Keluarkanlah beberapa kata wahai purnama, atau bisiklah sesuatu. Dia menunjuk, aku langsung memungut koper berukuran besar. Kutarik gagang, lalu kuserahkan padanya.

Kami langsung beranjak melewati pintu keluar. Disana terlihat seorang gadis bertubuh gempal sedang melambaikan tangan kepadanya. Kami mendekat, terlihatlah olehku, tangan gadis itu bergerak-gerak penuh isyarat, kami bergegas berjalan ke tempatnya. Sesampai disitu, aku mengamati tingkah perempuan gempal itu yang sedang menaruh telunjuk pendeknya memenuhi lapak kumis kaum lelaki. Si Cantik menggeleng, tegang dan tersenyum sembari kedua matanya yang lembut itu melihatku penuh kasihan. Aku menganga, lemas lalu terserang dilema akut, Kawan!

U5dtbQKKmfKuqu7QB1uxntFotPFr9Dq_1680x8400.jpg

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

semoga tidak terkecoh dengan lekukan tubuhnya bang @abduhawab, ini bisa bahaya dan benar-benar sangat bahaya wwkwkwk.

Phon lon kalon judul. Ada apa dengan si cantik dan pesawat terbang. ??
Ternyata kisah cinta yang puitis namun ending yang bikin meringis. Hehehe..
Inikah yang kesekian kalinya gagal dalam menemukan si cantik bg @abduhawab... hehehe

What a nice photography! Thanks for upload this nice photography....

Thanks for sharing this photography is very nice art
I like this amazing writing art

Klimaks nya sungguh tidak enak bg @abduhawab. Turut berduka. Hmmm..

Oh pramugari... Asalkan jangan sama engkau dengan gari (sitangen)

Menceritakan membuat pbaca seolah-olah berada di dalam pesawat dan melihat jelas apa yang terjadi.. Keren pak @ abduhwahab..

Penggalan kalimat ini apik dan filmis sekaligus Bang @abduhawab.. 😂😂

"Gaya jalannya yang seperti singa betina itu serta merta menyeret pikiranku ke gaya jalan seorang model papan atas di FTV" 😂😂

Hmm, tak ada lagi yang bisa keluar dari mulut saya, saat ini betapa sebuah perang sedang terjadi dan berkecamuk dalam dada, saya benar - benar terbawa ke kedalaman hati yang paling dalam, sangat sempurna, tak perduli anak lagi nangis, yang penting saya tidak kehilangan dan ketinggalan sebarispun dalam membacanya, saya juga pernah di posisi bapak, tapi saya kok eggak pernah seberuntung bapak ya,, mohon ijin resteem

Sebuah kisah menyentuh yang berbicara tentang kepekaan dan bagaimana Anda mentransfernya ke menggambar, tanpa ragu banyak perasaan telah membuatnya menulis kata-kata ini dan membuat pembaca terlibat, saya suka, bahwa Anda sangat baik

Menarik sekali kisahnya, saya membayangkan, kalau difilm kan, pasti masuk nominasi daftar film terbaik, dan ada humorisnya juga, saat puan yang bau karena gak gosok gigi tadi hehe
Mantap kali postingannya bng @abduhawab

Cerita yang sangat menarik...

Cerita fiksi yang sangat luar biasa bg @abduhawab, mulai dari gagasan hingga gaya bahasa.

Semoga dapat bertemu di alam mimpi bang @abduhawab

Cerita tentang naik pesawat saja bisa mengasikkan. Apalagi kisah sehari-hari.

Sangat indah pembahasan bang @abduhawab, kalau tidak baca sampai habis pasti kita kira ini tentang perempuan yang bernama pramugari itu, sangat inspiratif postingannya dan penuh jebakan. Sukses selalu bang.

cerita yang bagus, apakah ini pengalaman atau hanya fiksi seperti pak roky garung utarakan di ILC,? hahahahah

Andai si gadis cantik jelita itu seorang Steemianwati dan membaca postingan ini. Pasti iya akan berkata; Mas, minta donk no WA nya.haha

Woooww benar2 mempesona pak @abduhawab...terkesan dengan lukisan kalimat yang detail tentang sosok perempuan cantik itu.....begitu terkesima sehingga tak satupun yang terlewatkan ttg gambaran perempuan yang telah mencuri hati @abduhawab.....begitulah laki2 bila terkena pesona wanita...gehehe rangkaian kalimat2 memuja begitu indah terdengar...hehehe...tulisan cantik