Sapi-sapi Wak Hamidah kerap mengusikku saat melewati lorong di samping rumahku, juga tak terhitung berapa kali mereka sudah menumpukkan kotorannya di depan pintu pagar. Mereka sudah keterlaluan, dan kali ini aku harus menegur tuannya. Namun, aku lagi-lagi tertahan manakala melihat kehidupan Wak Hamidah. Saban pagi, dia memandu gembalaannya, mengapit ranting kecil sembari memukul-mukul punggung lembunya itu. Kali ini, aku ke sekian kali berniat menegurnya, supaya lembu-lembunya diajarkan sedikit etika berjalan. Lagi-lagi aku tertunduk, tak sampai hati aku melakukannya. Lagi pula bukan dia yang menjatuhkan kotorannya, melainkan sapinya. Di antara tujuh ekor lembunya itu terdapatlah seekor yang ganas. Dia berlari, nyaris menabrak tembok pagar rumahku bahkan Wak Hamidah kewalahan dibuatnya. Aku mengelak, dan berlari masuk.
Tangan kecilnya menghentak tali leher sapi ganas itu, dia berlari kecil sementara yang lain takzim mengikuti di belakang.
“Hus…hus…”suara kecilnya memandu sapi-sapi itu.
Burhan, anak lelakinya yang merantau di seberang, belakangan tersiar kabar dia sudah lama mendekam di penjara. Dua kilogram ganja membuatnya harus meringkuk di jeruji besi. Dia kawan dekatku.
Setelah sapi-sapinya raib dari lorong. Aku pun pergi ke sungai buat mandi. Kerap aku temukan dia duduk dilapisi sarungnya yang penuh noda. Aku jarang berbincang dengannya karena melihat dia sering diam dan termenung sendiri. Penasaran terhadap nasib Burhan membuatku berani untuk berbincang dengannya.
“Bagaimana keadaan Burhan sekarang, Wak? tanyaku.
Mulutnya terkunci rapat dan bergeser dari tempat duduknya.
Beberapa saat dia tidak menjawab. Matanya berpaling ke arah sapi-sapi yang sedang menyurumput tenang. Aku turun ke bawah meletakkan pakaian di atas belukar dan terjun menilisik air-air tenang. Di saat kepalaku terangkat, aku melihat Wak Hamidah telah menghilang. Sapi-sapinya masih masyuk menyumpal rumput, di antara mereka aku tak melihat sapi ganas itu. Pakaianku terserak, kotor. Ini pasti ulah si Ganas.
Aku menyudahi dan mengumpulkan pakaianku sambil merepet karena pakaian yang hendak kukenakan itu sudah diinjak oleh si Ganas. Repetanku berhenti di saat kembali teringat kisah pilu Wak Hamidah.
Aku kembali melihatnya beberapa hari kemudian. Masih dengan lembu-lembunya yang kini bertambah satu lagi. Entah si ganas pandai memainkan perannya, karena kulihat dia yang paling berbirahi. Dia tersenyum menampakkan giginya yang menguning. Aku terkesima dengan ketegaran Wak Hamidah. Takjub akan kesabarannya.
Matahari menutup mata. Malam tiba. Dia mengambil mukena seadanya, berangkat ke mesjid buat terawih bersama adiknya Wak Saidah. Berjalan menyusuri jalan bebatuan. Aspal tak lagi nampak yang sisa hanya debu dan kerikil tajam.
Suara azan membahana, dia makin mempercepat langkah sementara Imam sedang khusuk membaca surat Alfathihah. Makmum penuh, karena masih 10 awal ramadhan, mesjid sesak di awal bulan, semua tergopoh ingin menjemput berkah. Terawihpun usai. Dia kembali ke rumah reotnya yang dibangun dari hasil jerih payah. Burhani, jarang berada di rumah. Dia lebih sering menghabiskan waktunya di dayah dan pulang waktu sahur.
Tugasnya belum selesai. Dia harus mempersiapkan bekal buat sahur, buat anak-anaknya , buat Wak Saidah, Wak Halimah. Wak Halimah adik sulungnya sudah sekian tahun mengidap penyakit saraf sehingga hampir tiap saat aku lihat dia keluyuran. Pagi, siang dan malam. Biaya menjadi masalah kenapa penyakit Wak Halimah tidak kunjung sembuh. Kesunyiaan menutup kampong Mideun. Tidak ada suara orang baca al-quran di kampong kami karena bisa mengganggu orang yang sedang istirahat. Pemuda kampong sangat pede memamerkan suara hasil produksi rokok dji sam soe atau sejenis kretek lain, yang jelas-jelas keras tak berirama, dan tajwidnya berantakan. Itu salah satu alasan kenapa Teungku melarangnya.
Di saat dia membaca al quran, suara insek sering meganggunya. Satu juz dihabiskan semalam. Kemudian tidur dijemput sahur. Makanan seadanya sudah tersedia di atas meja lapuk, taplaknya sudah bolong-bolog macam kena api rokok. Wak Halimah tidak lagi diwajibkan puasa, tapi senang berpartisipasi dalam bidang makan. Wak Hamidah, Wak Saidah, Wak Halimah, dan Burhani sudah mengambil tempat masing-masing, tinggal anak bungsunya seorang lagi.
“Abdullahh…..” dia memanggil sedikit keras.
Bergeming. Dia masuk, mengoyang-goyangkan tubuh anaknya yang masih terlelap. Bangun. Dia mengocek kedua matanya, dan sahur bersama.
Tiba-tiba saja airmatanya perlahan menetes mengingat Burhan yang tidak bersamanya.
“Kenapa Mak…?” tanya Burhani penuh santun.
Wak Hamidah menunduk.
“Sabar, Mak…semua ada hikmahnya,” sambung Burhani sambil memegang pundak ibunya.
“Mari kita makan.”
Sahur usai, subuh di ambang mata. Sembari menunggu azan subuh, dia membaca ayat-ayat pendek. Usai shalat subuh, masih gelap dia mengambil pacul, topi nipah bertengger di atas kepalanya dan pergi ke sawah. Fajar waktu yang tepat untuk menginjak-nginjak tanah berlumpur. Jam 9.00 Wak Hamidah sudah di rumah. Di saat sedang asik mengipas, seorang tamu berpakaian rapi muncul di hadapannya.
“Uang yang Wak kasih sudah saya serahkan ke ayah Burhan. Katanya dia akan mengurus segala sesuatu. Tiga puluh juta tidak cukup tapi dia akan berusaha,” kata Tamu tersebut.
Dia terkejut.
“Ayahnya bilang begitu?” dia konfirmasi.
Tamu itu mengangguk dan pulang.
Suka bercampur duka. Karena dia tahu betul mantan suaminya itu. Semoga tidak terjadi apa yang terhinggap dipikirannya selama ini. Katanya sambil mengelus dada. Berbilang hari berlalu. Ternyata apa yang dipikirkannya terjadi. Anaknya tidak bisa dibebaskan karena uangnya tidak cukup untuk menyewa seorang pengacara yang handal di sana. Berarti perkaranya masih berlarut. Kemungkinan dia akan dijerat hukuman gantung. Pantas dunia ini tidak adil. Uang sudah menjadi semacam tongkat nabi Musa.
Wak Hamidah tidak menyerah, dia menghapus airmatanya. Kemudian dia toleh ke kandang, lembu-lembunya masih segar bugar, bertambah banyak malah. Dia kembali menghitung lembunya, sudah berjumlah tujuh ekor.
Termanggut-manggut, sesekali mengaruk kepala. Berapa yang ingin dijualnya. Keputusan telah diambil. Dia akan menjual lima ekor dengan harga enam juta perekor. Dia mencari agen pembeli ternak. Dia dapat. Pembeli hanya mau membeli dengan harga lima juta perekor. Lima belas menit dia berpikir. Berpikir tentang keadaan anaknya yang begitu menyedihkan. Geram mengingat mantan suaminya yang tidak bertanggung jawab. Akhirnya kelima ekor lembu itu terjual. Dengan total uangnya dua puluh lima juta.
Dia kembali mengirim semua uang yang didapat dari hasil menjual lima ekor lembu, tanpa sepeserpun dia gunakan untuk membeli baju lebaran, kerudung, dan sarung-sarung baru buat anak-anaknya. Semua demi Burhan.
Abdullah anak bungsunya yang masih berumur 17 tahun mengetahui ibunya telah menjual lima ekor lembu. Dia begitu girang. Motor Jupiter yang selalu dimintanya akan terbeli. Dia pulang penuh senyum.
“Mak, motor itu harus dibeli sekarang. Karena Mak sudah dapat uang dari hasil menjual lembu,” pintanya lembut kalau ada maunya.
Wak Hamidah merasa tidak adil memperlakukan anak-anaknya. Tapi, Burhan lebih membutuhkan.
“Sabar dulu nak, abangmu lebih membutuhkan daripada kita,” balas Wak Hamidah dengan nada lembut.
“Jadi uangnya sudah Mak kirim semua kesana? Betul Mak?” balas Abdullah dengan nada sedikit keras.
Wak Hamidah mengangguk. Abdullah membanting kursi dan keluar rumah.
Dia terduduk, kedua tangannya memegang kepalanya. Airmata tumpah. Sesekali dia seka dengan ujung jelbabnya yang lusuh.
Dewasa tanggung ini kecontolan dengan kemewahan yang dimiliki oleh teman-temannya di kampong sehingga membuatnya harus bersaing walau dia anak seorang gembala, motor musti ada. Gengsinya bukan main. Malasnya minta ampun. Tak pernah kulihat dia mengembala. Tak sadar bahwa hidupnya telah menjadi beban orang tua. Tingkah remaja sekarang merisaukan. Jangankan membuat ibunya bahagia malah tanpa rasa bersalah dia membiarkan hati ibunya terluka. Dia telah menghilang dari pelupuk mata ibunya itu.
Wak Hamidah bangkit menuju kandang sapi dan menuntun ternak kesayangannya yang kini tinggal dua ekor menuju sungai. Disitulah sang pengembala perempuan paruh baya mengais sebagian rezeki Ilahi.
Setahun berlalu. Kabar tentang Burhan masih di awang-awang. Masih tak sanggup menebus kesalahan anaknya. Vonis belum resmi dijatuhkan, karena lawyer handal belum bisa bertindak. Uang 55 juta, tinggal 20. Sisanya dibopong oleh mantan suaminya yang sudah lama menikah dengan perempuan lain. Aku begitu geram di saat mendengar rumor itu, kenapa ini bisa terjadi. Selaku ibu, Wak Hamidah sudah berkorban begitu banyak sampai kulitnya melebam akibat sengatan matahari demi anaknya itu.
Malam tiba lagi. Lampu pijar dinyalakan, terlihatlah sepucuk surat tergelatak tenang di atas meja. Dia tak bisa membaca huruf latin. Kecewa! Burhani pulang dia pun menyerahkan surat itu untuk dibacakan. Isinya begini:
Ibunda…!
Jangan engkau berusaha lagi untukku.
Apa yang engkau lakukan sudah lebih dari cukup. Melahirkanku, mengasuhkanku. Aku saja yang durhaka kepadamu. Jangan engkau risaukan lagi. Segala sesuatu InsyaAllah siap aku jalani. Tabahkan hatimu. Doakan selalu, semoga hal terbaik menyertaiku. Hukuman gantung siap kuterima, semoga terlepas dari kesalahanku padamu, biar dosa lain saja yang kuterima.
Maafkan ananda yang durhaka ini!
Ttd,
Burhan.
Dia terjatuh. Hampir pingsan. Airmata seperti hujan di bulan Oktober. Tak berhenti. Hidupnya murung. Usaha yang dilakukan ternyata sia-sia. Begitulah nasib pengembala paruh baya itu dipermainkan. Sang pengembala masih dengan sapi-sapinya yang kurus berpenyakit mencret, kotoran sering keluar dari lubang anusnya dan ada juga yang montok, si ganas termasuk dalam katagori ini. Ia masih juga melompat-melompat keranjingan, tidak peduli kalau Wak Hamidah sedang diliputi lara. Kali ini aku hampir dilabraknya. Aku buru-buru masuk ke halaman rumah. Wak Hamidah mengambil alih, dia masih tersenyum. Aku hampir mati. Tapi masih hati ini memaafkan kekejaman si Ganas mengingat perjuangan Wak Hamidah yang tak lain adalah ibu kawanku. Wak Hamidah sudah menyerah di saat surat Burhan ia dengar. Doa saja yang kini dia panjatkan. Semoga Tuhan berkata lain!
Artikel yang sangat luar biasa,,saya sangat suka dengan ini
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Sebuah kisah yang sangat mengharukan, penuh makna dan kesedihan. Semua seakan baru saja terjadi, luar biasa bang @abduhawab banyak hikmah yang bisa diambil
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Kenapa ya kalau kisah seperti ini namanya sering sejenis atau mirip dgn nama-nama abdulah, burhan, hamidah, ?
He he he, sukses terus bang
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
haha...mungkin nama2 itu sangat akrab dengan telinga kita orang Aceh
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Kisah yang sangat menyentuh dan penuh makna bang salutt
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Kisah sedih dan bisa dijadikan motivasi untuk diri sendiri.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Wow! Tulisan yg keren 👏👏👏🙏
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Semoga wak Hamidah diberi kesabaran dalam menghadapi masalah yang sedang dialaminya. Inilah siklus kehidupan, kadang senang, kadang susah, semoga juga sapi-sapi itu bisa membuat wak Hamidah melupakan masalahnya sejenak.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
👍👍👍👍👍👍👍👍
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
wow fiksi yang bagus @abduhawab Salam KSI
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit