Cerpen @ayijufridar
SETELAH puluhan tahun melakukan kekacauan demi kekacauan dalam keluarga besar kami, akhirnya dia memutuskan pulang. Ironisnya, kepulangannya akan disambut sebagai pahlawan oleh sebagian besar anggota keluarga kami, dan beberapa orang kampung yang bersimpati padanya. Berbagai persiapan sudah dilakukan anggota keluarga dan beberapa orang yang mengaguminya. Mulai dari upacara adat menyambut kepulangannya, hingga serangkaian kegiatannya selama berada di kampung halaman. Tapi secara keseluruhan, tema kepulangannya adalah mudik dan silaturrahim. Begitulah yang aku dengar dari beberapa orang kampung.
Kami memanggilnya Apa Maun. Apa dalam bahasa Aceh artinya paman. Maun adalah nama kecilnya dari penggalan Syamaun. Tidak hanya bagi keluarga besar ia dipanggil Apa Maun, tetapi hampir semua orang memanggilnya dengan sebutan demikian. Bahkan pejabat di daerah kami, memanggilnya demikian. Begitu melekatnya sebutan itu, sehingga banyak yang tidak tahu nama sebenarnya. Sebutan itu sangat populer seperti halnya sebutan Paman Sam untuk Amerika Serikat. Anak-anak kecil yang seharusnya memanggilnya kakek, tetapi tetap memanggil Apa Maun. Yang menggelikan, ada anak kecil yang memanggil dengan sebutan Kakek Apa Maun. Aku mencoba menerjemahkannya, dan menjadi Kakek Paman Maun. Cukup menggelitik kedengarannya.
Apa Maun merupakan tokoh imajiner bagi sebagian besar anggota keluarga kami, termasuk bagi yang menganggapnya sebagai pahlawan. Banyak di antara kami yang tidak mengenalnya. Bahkan melihat fotonya saja jarang. Kami hanya mengenal cerita-cerita tentang Apa Maun dari orang tua kami, dari kakek dan nenek yang sudah almarhum, juga dari orang tua kampung.
Ada beberapa cerita yang sama kendati dari sumber berbeda. Apa Maun digambarkan sebagai tokoh yang keras, anak bandel dalam keluarga besar. Dari 13 anak kakek, putra dan putri, hanya dia yang dikenal pemberani, keras kepala, tetapi jenius. Karakternya sangat kuat. Omongannya didengar orang, karena itu dia bisa menjadi tokoh yang berpengaruh. Orang jahat yang berani lebih dipatuhi orang daripada orang baik-baik tetapi pengecut.
Di kabur dari rumah dalam usia muda dan menetap di New York, Amerika Serikat. Menikah dengan seorang keturunan Yahudi, dan kemudian bercerai setelah mempunyai satu orang anak. Bagi kami, Yahudi adalah sebuah kutukan.
Jangankan menikah, berbisnis dengan mereka saja dilarang. Namun Apa Maun bisa menikah dengan keturunan Yahudi tanpa ada yang mempersoalkannya. Setidaknya sampai sejauh ini.
Cerita berbeda akan terdengar dari segelintir anggota keluarga tentang sepak terjang Apa Maun. Sebagian kecil saudara kami menganggap dia sebagai penyakit keluarga. Ada yang mengibaratkan sebagai telur ayam yang gagal dierami. Dari 13 telur, biasanya ada satu dua yang busuk. Dan Apa Maun termasuk telur busuk dalam keluarga. Orang Aceh menyebutnya boh manok kom atau telur ayam busuk.
Dosa-dosa Apa Maun sudah dicatat. Pertama, semasa muda dia melarikan sebagian harta kakek yang hendak digunakan untuk membangun panti asuhan dan sekolah bagi korban konflik di kampung kami. Dia tidak setuju kakek melakukan itu karena khawatir warisan berkurang. Kepada saudara-saudara yang patuh kepadanya, Apa mengatakan harta tersebut dipakai untuk biaya sekolah di luar negeri dan untuk membangun usaha. Nanti kalau dia sudah sukses, dia berjanji akan kembali dan membangun sekolah serta panti asuhan bagi korban konflik. Tapi sampai sekarang janji itu belum dipenuhi. Padahal, sekolah dan panti asuhan bagi anak korban konflik sudah tidak terlalu dibutuhkan lagi. Keduanya sudah ditangani pemerintah dengan baik, dan anak-anak korban konflik sudah tumbuh dewasa karena konflik bersenjata sudah menjadi kenangan buruk yang tidak ingin kami ulangi kembali.
Kedua, Apa Maun telah merusak harmonisasi keluarga besar kami. Di antara anak kakek sudah saling bermusuhan, saling mencurigai. Apa Maun menjadikan isu harta dan kesejahteraan sebagai justifikasi atas sikap-sikapnya. Dua adik ayah meninggal karena saling berbunuhan berebut harta. Seorang adik ayah yang lain dipenjara atas kasus tersebut.
Dosa ketiga Apa Maun tidak terampunkan. Ia durhaka kepada kakek dan nenek. Ia melawan kedua orang tuanya bahkan sampai mereka meninggal. Sejak Apa lari dari rumah hingga kakek nenek meninggal, mereka tidak pernah berbicara. Setiap hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, kakek nenek menunggu telepon dari Apa. Tetapi, sampai kedua orang itu mengembuskan napas terakhir, Apa Maun tidak pernah menelepon untuk meminta maaf.
Dan sekarang, tiba-tiba dia akan pulang untuk menziarahi makam orang tuanya. Untuk bersilaturrahim dengan kerabat.
Anehnya, sikap-sikap Apa itu mendapat pembenaran dari sejumlah saudara yang lain. Keputusan Apa melarikan harta dibenarkan karena belum saatnya kakek membangun panti dan sekolah karena anak-anaknya masih butuh biaya. Bahkan, sikap Apa yang bermusuhan dengan kedua orang tuanya dinilai benar karena kakek nenek telah tidak adil kepada Apa Maun. “Setiap ketidakadilan harus dilawan,” begitu kalimat yang sering keluar dari mulut Saleh, salah satu adik ayah yang paling gigih membela Apa Maun.
Kami tidak habis pikir dengan pendirian seperti itu. Benar bahwa ketidakadilan harus dilawan. Tetapi kami tetap meyakini bahwa melawan orang tua termasuk dosa besar, bahkan berkata “uhh” saja tidak dibenarkan. Apalagi, kakek nenek menurut kami sangat adil dalam segala hal. Dalam segala hal.
KELUARGA besar kami menggelar rapat untuk menyambut kepulangan Apa Maun. Tentu ayah dan anak-anaknya, termasuk beberapa adik ayah dan sepupu yang berseberangan, tidak dilibatkan. Anehnya, ada beberapa orang yang ikut rapat kendati tidak memiliki hubungan saudara sama sekali. Mereka adalah orang-orang yang selama ini ikut mengobok-obok keluarga besar kami. Mereka bebas keluarga masuk dalam urusan keluarga kami karena memang diberi ruang. Ibarat masuk ke sebuah arena pertunjukan, adik-adik ayah telah memberi mereka karcis.
Kami hanya mendengar selentingan tentang kegiatan Apa Maun yang selama puluhan tahun bermukim di luar negeri bahkan sudah menjad warga negara asing. Ia akan mengunjungi makam kakek nenek yang saudara-saudara di makam keluarga. Kemudian, dia akan mengunjungi sejumlah tokoh di daerah kami. Bersalaman, saling memaafkan.
Bernostalgia. Hanya itu saja. Soal janji membangun sekolah dan panti asuhan anak korban konflik sama sekali tidak disinggung.
Namun, aku tak percaya bahwa agendanya hanya itu. Meskipun tidak pernah berjumpa dengan Apa Maun, tapi aku merasa sangat kenal dengan karakternya, dengan segala kelicikannya, dengan gaya tipu-tipunya yang sering kudengar selama ini.
“Dia akan merebut harta kakek yang sudah diwariskan,” mataku menatap ayah.
Beberapa saudara lain ikut mendengarkan. Kami duduk melingkar di ruang tamu seusai salat Tarawih. Tidak ada undangan khusus untuk menghadiri pertemuan ini. Tidak ada yang menggagas. Kondisilah yang mengumpulkan kami. Cangkir-cangkir kopi dan teh tergeletak di atas meja dan belum tersentuh. Lampu-lampu kristal membayang di atas permukaan kopi yang hitam berkilauan.
“Kita lihat saja apa yang dia lakukan.”
“Kita tidak bisa hanya menunggu. Kita harus melakukan sesuatu sebelum terlambat.”
Beberapa saudara memberi dukungan terhadap saranku. Mereka mengulang kembali sifat-sifat licik Apa. Sejak dulu, Apa hanya mengincar harta kakek saja karena ia tidak mendapat warisan sama sekali. Dia ingin menguasai seluruh usaha kakek di bawah kendalinya. Mungkin karena anak tertua, ia merasa paling berhak menguasai seluruh usaha kakek. Padahal, ayah selama puluhan tahun sudah menjadi orang kepercayaan kakek. Setelah meninggal, kakek sudah mewariskan beberapa usaha kepada anak-anaknya. Namun, beberapa di antaranya bangkrut. Dan kakek disalahkan. Dituduh memberikan tempat usaha yang hampir bangkrut. Padahal, merekalah yang membangkrutkannya. Mereka hanya ingin menikmati saja, tidak mau berkeringat memajukan bisnis.
Ayah tetap merasa tidak perlu melakukan apa pun selain mewaspadai apa yang akan dilakukan Apa Maun dan kelompoknya. Menurutnya, Apa Maun tidak mungkin merebut harta karena secara hukum bukan miliknya. “Kecuali kita tidak percaya pada hukum,” katanya.
“Memangnya siapa yang percaya….” sahutku.
Pada akhirnya kami memang sepakat untuk menunggu dengan tetap waspada. Kami bersiap menghadapi berbagai agenda tersembunyi yang dilakukan Apa Maun dan pendukungnya. Entah agenda apa itu. Hanya Allah yang tahu.
Tiga hari menjelang lebaran, kedatangan Apa Maun disambut dengan upacara adat. Aku seperti tidak percaya ketika mendapat laporan dari sepupu yang menyebutkan ada tarian tradisional dari anak-anak ketika Apa Maun memasuki kampung. Beberapa gadis belia berpakaian warna serba merah membawa tarian dengan cerana berisi sirih. Di akhir tarian, sirih tersebut diberikan kepada Apa Maun, lantas disusul beberapa saudara lainnya di samping Apa Maun.
Dengan dipapah seorang kerabat, Apa menerima sirih tersebut sambil tertawa. Biasanya, sirih yang diberikan sebagai lambang penghormatan itu langsung dikunyah. Tapi kali ini tidak. Mungkin karena Apa sedang puasa, atau karena giginya yang sudah keropos. Dia hanya memasukkan sirih itu ke dalam saku jasnya. “Dia memakai jas di tengah cuaca panas. Mungkin itu pakaian kebanggaannya,” lapor sepupuku.
Setelah tarian selesai, Apa Maun memberikan sambutan singkat. Dia mengatakan kepulangannya kali ini hanya ingin bersilaturrahim dengan saudara-saudaranya, berziarah ke makam keluarga setelah 30 tahun tidak pernah pulang. Itu saja. “Jadi tidak benar saya pulang karena ingin merebut harta warisan. Saya sudah cukup punya banyak harta….” Katanya dengan suara pelan, seperti disitir sepupuku.
Dalam usianya yang sepuh, tubuhnya memang terlihat rapuh. Tapi dia mempunyai tekad dan semangat yang luar biasa. Mungkin karena itu orang-orang mengaguminya, sesuatu yang belum bisa aku pahami hingga sekarang. Bagaimana mungkin segudang dosa dan kesalahan bisa melahirkan kekaguman.
Aku berusaha untuk tidak peduli apa kegiatan Apa Maun hari-hari berikutnya meskipun informasi tentang dia datang dari siapa pun yang kujumpai. Bahkan semua benda yang ada di depanku seperti bercerita tentang dia.
Aku tidak pernah merindukannya seperti saudara-saudara ayah yang lain. Tidak ada sepotong kenangan pun yang dapat mengingatkanku padanya. Dia kabur ketika ayah belum menikah. Bagiku dia adalah sejarah yang terputus.
Namanya tidak pernah muncul dalam pembicaraan aku dengan ayah. Namun, nama itu selalu hadir dalam pikiranku. Kehadiran tanpa rasa. Tiada rasa sayang, tapi kebencian pun senyap kendati aku kurang menyukai saudara-saudara memperlakukannya sebagai pahlawan.
Kehadirannya dalam pikiran ternyata sebuah pesan. Malam itu selepas Magrib, dia benar-benar datang ke rumahku yang merupakan rumah induk bagi keluarga besar kami. Karena ayah merupakan anak tertua setelah Apa Maun, dan menikah lebih cepat dibandingkan adik-adiknya, rumah ini kemudian menjadi warisan bagi ayah. Pada masa silam, rumah ini adalah satu-satunya kemewahan. Tapi sekarang rumah ini sudah ternggelam dengan kemajuan di sekelilingnya. Banyak rumah lain yang dibangun dengan berbagai gaya dan model.
Dia muncul dengan seorang pembantu khususnya di luar negeri. Sejak bercerai, dia memang dirawat seorang pembantu khusus. Anak laki-lakinya ikut istri, sehingga bisa kubayangkan betapa sepi hari-harinya di tengah geliat New York yang penuh hiruk pikuk.
Aku tidak mengenalnya sampai pembantunya menyebut namanya. Saat menyambut uluran tangannya yang keriput, di luar kesadaran aku mencium tangannya. Sebuah sikap yang benar-benar tidak aku inginkan. Aku menyesalinya kemudian.
Dia mengenakan jas warna gelap. Dasinya didominasi warga merah dengan list hitam dan putih. Kacamatanya bertengger di telinga. Rambutnya yang memutih, terlihat tipis dan disisir rapi. Aku bisa berkesimpulan bahwa Apa Maun orang yang gagah semasa mudanya.
“Kamu mirip ayahmu…” katanya setelah ia melepaskan genggam tangannya.
Aku tidak tahu apakah dia pernah mendengar cerita tentangku sehingga ia begitu yakin aku adalah keponakannya. Tapi mungkin saja ia menebak dari wajahku yang memang sangap mirip dengan wajah ayah.
“Ayah sedang tidak di rumah. Mengunjungi…”
“Aku tahu ayahmu orang sibuk. Kakekmu sudah mewariskan begitu banyak harta kepada kalian. Tapi tidak kepadaku….” ia menyela dengan kalimat menyengat.
Aku tersentak dan kurasakan jantungku memompa darah lebih cepat ke ubun-ubun. Setelah puluhan tahun, mungkin sekarang ia akan mempersoalkan warisan itu. Mungkin ia akan menagih bagian. Aku merasa dugaanku kali ini mendapat pembenaran. Aku ingin mencari kalimat yang bagus untuk menyerangnya. Sebaris kalimat menghentak yang akan membuatnya mati berdiri. Aku ingat dia yang sudah melarikan harta kakek. Aku akan mengingatkan dirinya kepada dosa-dosanya terhadap keluarga besar kami.
Namun, sebelum kalimat itu meluncur, dia sudah bersuara kembali.
“Tapi kalian tenang saja. Aku tidak akan minta bagian,” sambungnya lagi seperti mampu membaca pikiranku. “Aku pulang bukan untuk harta. Aku pulang karena memang ingin pulang. Ini kampungku. Di sini aku lahir, dan di sini pula aku ingin dikuburkan…”
Tak ada pembicaraan penting setelah itu. Tak banyak basa basi. Bahkan dia tidak bertanya di mana ibu. Mungkin dia sudah tahu ibu sudah meninggal tiga tahun silam. Atau mungkin dia menganggap masalah itu tidak penting untuk dibicarakan. Aku tidak tahu.
Apa langsung pamit setelah meneguk air putih yang disuguhi pembantu. Apa menolak kopi dan teh. Kedua jenis minuman itu menurutnya hanya menambah daftar penyakit yang dideritanya.
Aku mengantar Apa sampai teras. Sebelum lelaki tua itu masuk mobil, aku menyalaminya dan setengah sadar kembali mencium tangannya dengan hormat. Aku menyesalinya sedetik kemudian dan mengutuki diriku sendiri yang melakukan kesalahan untuk kedua kalinya.
Dua hari kemudian – seusai shalat Ied – aku menerima telepon dari adik ayah yang mengabari kematian Apa Maun. Dia mengembuskan napas terakhir dalam perjalanan ke rumah sakit karena stroke yang dideritanya. Dia menghadap Sang Khalik di hari yang baik, ketika semua umat Muslim bertakbir.
Akhirnya, Apa benar-benar pulang untuk selama-lamanya. Aku tidak tahu apakah kepulangannya sebagai pahlawan, atau malah pecundang.[]
Cerpen ini pernah dimuat di majalah KARTINI Nomor 2252 edisi 3 – 17 September 2009
Cerita yang sangat menarik, ini mengingatkan saya akan sebuah cerita melegenda di Aceh. Salah satu e-book yang beredar yaitu ''untold story''.
Ditengah cerita saat Apa Maun kabur ke luar negeri, dan menetap di Newyork, menikah dengan seorang gadis keturunan yahudi dengan 1 orang anak yang mengikuti ibunya setelah orang tuanya berpisah.
Gambaran sosok Hasan Tiro sang proklamator GAM membayangi pikiran saya saat membaca cerita ini.
Thanks for great shared bang @ayijufridar.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Memang banyak yang mengaitkan ke sana meski tidak terinspirasi dari kisah tersebut. Ini kisah keluarga yang beberapa bagian di antaranya adalah benar-benar terjadi. Bagian menikah dengan gadis keturunan Yahudi, itu dibuat agar lebih kuat konfliknya.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit