FANNY menatap Rido yang duduk persis di hadapannya. Cowok itu masih terlihat ragu untuk meraih gelas berisi sirup dingin yang Fanny suguhkan. Biasalah, cowok memang sering malu-malu menenggak minuman di depan cewek yang baru dikenalnya. Tapi setelah beberapa bulan, doi malah malu-maluin saat minum karena suara ‘glek, glek’ ketika air meluncur melalui tenggorokannya.
Barangkali Rido juga begitu.
“Air ini disuguhkan untuk diminum, lho,” ujar Fanny.
“Ya,aku tahu. Tapi aku nggak haus lagi.”
Nggak haus? Apa nggak salah dengar, nih. Baru beberapa menit lalu kamu mengeluhkan cuaca yang panas dan bikin gerah. Masa sekarang hausmu hilang padahal sirup itu belum kamu sentuh, batin Fanny dalam hati.
“Meski nggak haus lagi, kamu tetap harus meneguk sirup ini sedikit. Yaah, sekadar nyenengin nona rumah,” ujar Fanny setengah mendesak. Sebaris senyum terukir di bibirnya yang tipis dan ranum.
“Sebenarnya aku juga ingin menikmati sirup ini. Tapi....” Rido melirik jam yang melingkari pergelangannya. “Aku harus pergi sekarang juga. Aku baru ingat ada janji dengan seseorang.”
“Cuma untuk meneguk sirup ini nggak makan waktu sampai 10 detik.”
“Lain kali saja, Fan!” Rido bangkit dari duduknya dan melangkah tergesa. Sampai di depan pintu, dia berhenti sesaat dan berpaling ke arah Fanny yang mengekorinya dengan kening berkerut. “Trims ya, atas kebaikanmu.”
Cowok itu kembali melangkah tanpa menghiraukan reaksi Fanny yang kebingungan. Tak lama kemudian dia segera meluncur bersama mobilnya. Meninggalkan kepulan asap di depan rumah Fany yang sebentar kemudian lenyap diterpa angin.
Fanny menghela napas panjang. Tidak biasanya Rido bertingkah aneh begitu. Pasti ada sesuatu yang telah terjadi, tebaknya dalam hati. Gadis itu mendekati meja dan bermaksud mengambil sirup yang sedianya ia suguhkan untuk Rido. Tapi gerakan tangannya seketika terhenti di udara ketika melihat selembar plester bekas yang menempel di pinggir meja.
Dia terhenyak. Dimajukan kepalaya beberapa senti. Kini dia bisa melihat dengan jelas noda darah yang lengket di balik plester tersebut. Tak salah lagi. Plester dan noda darah inilah yang menyebabkan Rido kehilangan dahaganya!
Lantas, siapa yang menempelkan plester ini? Papa dan Mama jelas tidak mungkin. Kedua orang tuanya itu sarat dengan etika dan kebersihan. Makan siang dengan seragam sekolah saja sudah dimarahin.
Si Unti? mungkin. Adiknya itu malah sering mengeritik hobinya ngemil di atas tempat tidur.
Sesosok tubuh ringkih, berkulit hitam, dan rambut kemerahan berkelebat di benak Fanny. Pasti! Pasti anak itu yang telah menempelkan bekas plester di pinggir meja. Fanny baru ingat sekarang. Anak itu memiliki luka di sikunya akibat terjatuh saat belajar mengendarai sepeda motor dengan Bang Bidun.
Dengan penuh amarah, Fanny mendatangi kamar anak itu.
“Heh, kunyuk jelek! Kebiasaan jorok di kampung jangan kamu bawa kemari, ya!” sembur Fanny pada seorang cowok tanggung yang tengah asyik bermain game board.
“Eh, Kak Fanny. Kenapa nggak ngetuk pintu dulu? ‘Kan Kak Fanny sendiri yang bilang kita harus ketuk pintu dulu sebelum masuk ke kamar orang lain.”
Kuping Fanny terasa panas mendengar kalimat itu. “Suka-suka aku mau ngetuk pintu atau nggak. Ini ‘kan rumahku. Kamu nggak usah ajarin aku!”
Cowok ringkih itu langsung terdiam.
“Hah, sini kamu!” Fanny menarik tangan kurus itu dan menyeretnya ke ruang tamu. Tidak dihiraukan ringisan anak itu karena kulit sikunya yang lecet ikut tertarik.
“Siapa yang nempelin plester bekas di sini?!” tanya Fanny dengan suara keras da mata melotot.
“Dudu....,” sahut anak itu dengan suara gemetar.
“Dasar anak kampung! Tahu nggak, gara-gara plester itu Rido jadi kehilangan selera minum di sini!”
“Dudu minta maaf, Kak. Dudu kelupaan mengambilnya karena dipanggil Mama.”
“Alasan saja. Sekarang ambil plester itu!”
Tangan Dudu terulur. Tapi belum sempat jarinya menyentuk plester, Fanny kembali menjerit.
“Eee, jangan pakai tangan. Pakai mulut!”
“Pakai mulut?”
“Ya. Itulah hukuman yang pantas buat anak jorok seperti kamu.”
Dudu masih terlihat ragu.
“Ayoo, tunggu apalagi? Cepat lakukan!”
“Ada apa ini ribut-ribut?” Sesosok tubuh semi tambun tiba-tiba muncul dari belakang.
“Ini Ma, Dudu nempelin plester lukanya di meja. Gara-gara melihat plester itu, Rido jadi batal minum.”
“Cuma masalah itu kok harus menjerit-jerit. Malu ‘kan, kalau didengar tetangga.”
Selalu begitu. Mama selalu menolerir sikap-sikap Dudu yang melanggar. Kalau Fanny dan Nadia yang buat salah, macam-macam deh nasihatnya. Tapi kalau Dudu, huh, Mama malah minta pengertian Fanny dan Nadia.
“Dudu, ambil plester itu dan buang ke keranjang sampah. Jangan lakukan itu lagi, ya? Mama ‘kan sudah larang Dudu nempel plester sembarangan, nggak boleh buang ampas permen karet sembarangan dan perbuatan jorok lainnya. Masih ingat ‘kan, semua pesan Mama itu?”
Dudu hanya mengangguk kecil. Sementara Fanny memandanginya dengan perasaan jengkel.
Semenjak Dudu hadir di rumah ini, Fanny sadar bahwa dia, dan semua penghuni rumah ini, akan menghadapi banyak masalah. Terutama sekali selama masa adaptasi Dudu. Namun Fanny tidak menduga jika masalah tersebut akan menyeret Rido di dalamnya.
Dan inilah yang paling ditakukan Fanny. Soalnya dia sudah telanjur jatuh hati dengan cowok rapi itu. Menurut kabar yang didengar Fanny dari temannya, di sekolah Rido termasuk cowok top yang ditaksir banyak cewek. Jadi, Fanny merasa beruntung bisa berkenalan dengan Rido, bahkan kemudian cowok itu mendekatinya. Fanny benar-benar merasa beruntung.
Tapi kehadiran Dudu membuatnya was-was. Sikap ‘primitif’ sepupunya itu bisa saja mengacaukan kelanjutan hubungannya dengan Rido. Buktinya, ya kejadian sore tadi. Ingat peristiwa itu, duuh, Fanny tidak tahu harus bersikap bagaimana jika bertemu dengan Rido nanti. Apakah cowok itu bisa mengerti? Jangan-jangan doi tidak mau datang lagi. Ah, mudah-mudahan saja nggak, harap Fanny dalam hati.
Yang bikin Fanny tambah kesal, kesalahan seperti itu bukan sekali dua dilakukan Dudu. Tapi kerap kali. Sebelumnya, Dudu pernah menyimpan baju bekas dipakainya di atas sofa ruang tamu. Akibatnya Mama kebat-kebit menyingkirkan baju itu ketika teman sekantor Papa datang. Dia juga sering menegakkan air putih langsung dari botolnya sebelum diingatkan Papa dan Mama. Sering lupa sikat gigi, sering tidak pakai baju dan sandal kalau kebetulan disuruh beli apa-apa di warung depan. Yang paling parah, dia sering lupa nyiram setelah beol (iiih..!).
Fanny tentu saja malu. Ketika Dudu disuruh membeli karbol tanpa mengenakan baju dan sandal, dia sempat menguping percakapan teman-temannya yang waktu itu kebetulan datang ke rumahnya.
“Siapa dia?”
“Tarzan piaraan mamanya Fanny.”
“Tarzan begituan kok dipiara. Mendingan disumbangin ke Ragunan buat tontonan.”
“Hihihi...”
Fanny tidak bisa berbuat banyak mendengar pembicaraan yang nyelekit itu. Habis sikap dan penampilan Dudu memang mengundang minat dijadikan obyek olokan.
Padahal kalau mau jujur, Fanny sayang dengan adik sepupunya itu. Dudu hidup sebatang kara. Ayah-ibunya meninggal semenjak dia kecil. Kemudian di besarkan oleh Kakek hingga tamat SMP. Karena di kampungnya belum ada SMU, Kakek mengusulkan agar Dudu tinggal bersama Fanny. Sayangnya usul Kakek itu sudah agak kadaluarsa karena Dudu sudah menganggur selama empat bulan. Jadi, sekarang ini Dudu harus menunggu tahun ajaran baru sambil kursus ini-itu.
Fanny berharap, semua kelakuan Dudu yang malu-maluin itu bisa hilang saat bersekolah nanti.
KEKHAWATIRAN Fanny bahwa Rido tidak datang lagi ternyata tidak terbukti. Beberapa hari kemudian cowok itu muncul di rumahnya dengan senyum mengembang.
“Kudengar kamu gape bikin puding, ya?”
“Ah, biasa aja,” sahut Fanny puas. “Aku hanya ngerti sedikit karena sering bantuin Mama.”
“Tahukah kamu Fan, puding adalah makanan kesukaanku.”
“Oh ya, kapan-kapan aku akan membuatnya untukmu.”
“Kenapa harus nuggu kapan-kapan? Kamu bisa membuatnya sekarang kalau mau.”
“Tapi makan waktu lama. Mungkin setengah jam lebih,” sahut Fanny tanpa maksud menolak permintaan Rido.
“Akan kutunggu!”
Maka jadilah sore itu Fanny berkutat di dapur. Memeras santan, mengaduknya dengan hunkwe dan vanili, lalu memasak kedua campuran itu hingga mengental. Semuanya dilakukan sendiri. Mama dan Unti yang ingin membantu terpaksa harus jadi penonton karena Fanny ingin membuat puding seratus persen hasil karyanya. Setengah jam kemudian, puding lapis raja itu disantap.
“Coba Mama cicipi dulu,” Mama mengiris potongan puding dengan sendok dan memasukkan ke mulutnya.
“Bagaimana, Ma?” tanya Fanny cemas.
“Saus santannya terlalu kental. Kelebihan maizena, ya?” tebak Mama jitu.
“Perasaan Fanny tadi sudah cukup. Tapi nggak apa-apa ‘kan, Ma?”
“Tergantung seleranya Rido. Kalau dia penyicip makanan yang ulung, tentu saja jadi apa-apa. Tapi kamu nggak perlu cemas. Siapa tahu Rido malah senang.”
Fanny lalu membawa puding tersebut ke ruang makan. Butuh waktu beberapa menit baginya untuk menata meja makan. Setelah semuanya beres, Fanny memanggil Rido.
“Semua yang di meja ini, hasil olahanku, lho,” ujar Fanny bangga.
Rido tersenyum sambil menggeser piring berisi puding lebih dekat dengannya. Cowok itu siap menikmati makanan kesukaannya ketika tiba-tiba terdengar suara orang membuang ingus. Tak lama kemudian Dudu muncul sambil menutup hidungnya dengan tisu.
Jantung Fanny seperti berhenti berdenyut. Dia tahu Rido sudah kehilangan selera makan untuk menikmati puding buatannya. Dan malapetakka terbesar selama hidupnya sudah membayang di depan mata!
SEMENJAK itulah Rido tak pernah muncul lagi di rumah Fanny. Menurut cerita teman Fanny yang satu sekolahan dengan Rido, cowok itu memang sangat rewel bila menyangkut masalah makanan dan kebersihan. “Ketularan Papanya kali. Konon Papa Rido pernah memecat seorang pelayan hanya karena si pelayan menyuguhkan minuman yang ada sidik jarinya di gelas,” ujar teman Fanny itu.
Ekstrim memang. Tapi menurut Fanny hal itu wajar karena ortu Rido termasuk pengusaha kaya. Jadi beliau selalu mengharapkan pelayanan yang sempurna.
Dua minggu setelah peristiwa itu, Fanny melihat Rido menggandeng seorang cewek di mal. Bukan main marahnya Fanny. Bukan pada Rido, tapi pada Dudu yang dianggap menjadi penyebab perginya Rido.
Sampai di rumah, dia langsung mencari Dudu.
“Barusan aku melihat Rido bersama cewek barunya. Semua ini gara-gara kamu. Dasar anak jorok, kampungan, nggak punya etika, nggak punya otak!! Pekik Fanny keras. Dia merasa inilah saat yang tepat melampiaskan semua kekesalan hatinya karena Mama sedang tidak berada di rumah.
“Papa sudah berbaik hati membawamu kemari. Tapi kehadiranmu cuma buat malapetaka saja. Lebih baik kamu pergi saja dari rumah ini. Aku nggak butuh Tarzan jorok seperti kamu!!!”
Kepala Dudu tertunduk dalam. Tidak berani sedikit pun menatap mata Fanny yang garang. Dia hanya diam saja meskipun ucapan kakak sepupunya itu sangat melukai perasaannya.
Fanny terus saja memaki dan memarahi Dudu meskipun anak itu berkali-kali minta maaf sambil menangis. Dia tidak sadar, pada saat harga diri tertekan, seseorang bisa nekad melakukan apa saja. Meskipun orang itu ringkih seperti Dudu.
Seisi rumah heboh ketika esok paginya Dudu pergi dari rumah. Unti yang disuruh Mama membangunkan Dudu untuk shalat Subuh, hanya menemukan kamar kosong bersama secarik kertas dengan sepotong kalimat: ‘Dudu pergi!’
“Ini gara-gara kamu, Fan. Kamu yang mengusirnya,” kata Mama setelah tahu Fanny melampiaskan amarahnya pada Dudu.
“Fanny kesal, Ma. Habis...”
“Kamu kurang sabar menghadapinya. Buktinya dengan Nadia dia akur-akur saja. Sebagai kakaknya, harusnya kamu yang mengajari Dudu tentang etika dan kesopanan. Bukan malah mengusirnya. Kamu nggak berhak mengusir Dudu. Tapi Dudu berhak mengusirmu karena ini rumahnya sendiri.”
Fanny terkejut.
“Kamu kaget, ‘kan?” tatap Mama. “Tapi memang begitulah kenyataannya. Tanah dan rumah yang kita tempati ini, dulunya milik Papa Dudu. Tapi kemudian mereka pindah kampung setelah Papanya Dudu meninggal. Setelah itu Papa dan Mama diminta menempati rumah ini. Kamu memang nggak mengetahuinya, karena waktu itu kamu masih kecil.”
Fanny terdiam lama. Tiba-tiba ia telah bersikap kejam terhadap Dudu. Dia telah mengusir Dudu dari rumahnya sendiri. Dudu memang menjadi penyebab Rido berpaling darinya. Tapi itu bukan suatu alasan untuk mengusirnya pergi. Kehilangan Rido masih bisa dicari pengganti, tapi kehilangan Dudu?
Fanny akan mencari Dudu sekarang juga. Dia akan minta maaf dan ingin mendekap tubuh ringkih itu dalam pelukannya.[]
Pernah dimuat di majalah Anita Cemerlang nomor 14 tanggal 23 Juli - 5 Agustus 1999.
![Badge_@ayi.png](https://steemitimages.com/DQmbhnw9VrSmqrujGovvrkKV1GpLjxiaaa28hbZ1mgmBcMP/Badge_%40ayi.png)
![follow_ayijufridar.gif](https://steemitimages.com/0x0/https://steemitimages.com/DQmdt3U8TkLZrUD2JJTM77HUFGCNksMb8Botb6X1UHGhUQi/follow_ayijufridar.gif)
Capek bacanya bang @ayijufridar panyang that . bagi upvote nya ea bang😊
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Bagus sekali ceritanya,,, tapi capek x kita baca soal@ panjang kali ceritanya.. Good job
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Terima kasih @ilhamdhia dan @pijay. Saleum sukses...!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Dudu hadir sebagai bentuk ketimpangan, jorok tak etis dan semua gue, adalah tamsilan dari budaya kampungan, namun Dudu punya harga diri untuk kemudian menjadi apatis karena kerap di salahkan, karena mereka yang merasa berbudaya tak mau peduli. salem bang.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
bereh cerita
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Aaargh sadis gt ya Fanny nya ... kelanjutannya gimana bng? Fanny nyari Dudu kemana? Baca dari awal dan rasanya menarik trus untuk diikuti...ditunggu kelanjutannya ya bng Ayi 😎#segera
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Menarik ceritanya di sisa waktu mau tidur.
dan ternyata saya jadi tak bisa tidur ( serius baca dan panjang )
sukses ya bg @ayijufridar
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit