Api Unggun, Kuda Putih, dan Perdagangan Terlarang

in fiction •  6 years ago 

“FUUIIIIIIITTTT…Kruk…kruk…kruk…” Suara itu tiba-tiba memecahkan keheningan malam di lereng Lemur. Brahim Naga yang mendengar suara tersebut langsung bangkit.

“Kruukk…krukkk… fuiiiiiitttt…” Cage membalas suara tersebut dengan meniup kerang seukuran kepalan tangan manusia dewasa. Dari balik rimbunnya ilalang, muncul beberapa orang berpakaian hitam. Bunyi tersebut merupakan kode bagi pasukan Brahim Naga. Namun, sang pang kebingungan siapa gerangan kelompok yang muncul dari semak belukar itu.

Brahim meminta Seuman Badeuk mencari tahu sekelompok manusia yang mendatangi mereka. Pria yang mendapat perintah langsung menelusuri lereng Lemur dan mendekat ke kelompok lelaki berkostum hitam. Seuman kemudian melambai-lambaikan tangan pertanda kelompok tersebut merupakan teman-teman mereka. Mat Guci memerhatikan dari puncak lereng. Seuman terlihat berpelukan dengan beberapa pria itu.

“Siapa itu?” Tanya Mat Guci kepada diri sendiri. Dia kemudian menyusuri lereng dan bergabung dengan Brahim Naga.

“Kenapa kamu kembali?”

“Ibu menitipkan salam kepada ayah. Dia rindu ayah tetapi takut mendatangi ayah. Benar apa yang ayah katakan, rumah kita telah lama diintai oleh para lhoh,” kata Mat Guci.

Ilustrasi by Pixabay

“Ya, ayah maklum. Tidak apa-apa, ayah juga rindu kepada ibumu. Namun apa boleh buat,” kata Brahim.

“Siapa itu ayah?” Tanya Mat Guci.

“Entahlah, yang pasti mereka teman. Mungkin sisa pasukan yang tercerai berai usai pertempuran lalu,” kata Brahim Naga.

Beberapa detik kemudian, Brahim Naga langsung tersenyum lebar ketika mengetahui yang datang adalah Ben Puteh dan sisa pasukannya.

“Pang, apa kabar?”

“Hahaha….kamu Ben. Aku pikir siapa tadi? Bagaimana kamu tahu kalau kami di sini?”

Ben Puteh kemudian menceritakan kejadian pertemuannya dengan dua prajurit istana yang ternyata lepas dari sekapan Brahim Naga. Dia juga menceritakan salah satu di antara prajurit tersebut tewas diseruduk badak.

Brahim Naga hanya mengangguk-angguk. Dia kembali menceritakan kejadian yang mereka alami petang tadi di lereng Lemur. Termasuk bagaimana dua prajurit yang disekap lepas dan melarikan diri.

“Kami sudah mencari mereka, Syukur kalian berhasil menyergap di perjalanan, kalau tidak, pasti mereka akan memberitahukan keberadaan kita di sini,” kata Cage.

Ben Puteh tertawa kecil. Lalu meminta bawahannya untuk mengikat prajurit yang ditangkap tadi. (Baca: Amuk Badak).

Mereka kemudian menyalakan api unggun di balik pepohonan ketapang dan diapit bebatuan besar. Beberapa bawahan Brahim Naga tampak siaga di balik batu-batu tersebut. Mereka bertugas jaga malam itu.

Sementara Brahim Naga, Ben Puteh, Cage, Rungkhom, dan Seuman Badeuk mengelilingi api unggun. Mat Guci bersama beberapa prajurit lainnya menyibukkan diri membersihkan daging rusa untuk disantap malam itu.

“Besar sekali rusa itu,” kata Ben Puteh.

“Ya, lumayan untuk makan malam kita. Sisanya sudah kuberikan pada Mat Guci dan penduduk sekitar. Supaya mereka juga dapat menikmati daging segar mala mini,” kata Seuman Badeuk.

Ben kemudian memberikan sinyal kepada bawahannya yang selanjutnya membuka setumpuk jagung dan beberapa ekor ikan segar. “Tadi kami berpas-pasan dengan seorang nelayan. Dia memberikan ikan hasil tangkapannya setelah mengetahui siapa kita. Dia bersyukur kita masih selamat,” kata Ben Puteh.

“Kalau jagung ini kami petik dari ladang milik kerajaan,” timpal seorang prajurit bawahan Ben Puteh.

Semua orang yang berada di sekitar api unggun tertawa. Mereka melepaskan kegembiraan karena dapat berkumpul kembali. Hingga seorang prajurit memberikan kode siulan.

“Ada apa?”

“Bunyi kuda,” kata penjaga.

Semuanya hening. Mereka memadamkan api unggun menggunakan tanah liat.

Benar saja. Dari arah timur terlihat seekor kuda putih merumput di padang Lemur. Kuda itu sesekali berlari kecil seperti ketakutan.

“Ayah, itu kuda prajurit tadi,” kata Mat Guci.

“Iya benar. Itu kuda yang kupenggal pemiliknya. Tadi terlepas dan larinya kencang sekali. Aku tidak mungkin mengejarnya dengan kepala si pemilik di tanganku,” kata Rungkhom.

Rungkhom mencoba mendekati kuda tersebut. Namun, hewan itu malah menjauh dari padang. Beberapa saat kemudian, kuda putih itu kembali. Meringkik tak karuan seraya mengangguk-anggukkan kepala. Bawahan Brahim Naga cemas jika suara kuda di tengah padang malah mengundang tamu yang tak diharapkan.

Mat Guci membersihkan tangan setelah selesai memanggang daging rusa. Dia mengambil jagung dan mendekati kuda putih itu. Awalnya kuda tersebut terlihat liar. Dia menunjukkan gigi putihnya seakan-akan hendak menggigit Mat Guci. Kuda ini juga melompat ketika ancamannya tak digubris bocah keriting itu. Mat tak hilang akal. Dia kembali menjulurkan jagung mencoba menyuap kuda yang kehilangan tuannya tersebut. Kali ini, kuda putih hanya mengeluarkan nafas berat dan akhirnya mendekat sembari mengangguk-anggukkan kepala.

Mat tak bergeming. Dia masih saja menjulurkan jagung ke arah kuda yang mulai mengangkat kedua kaki depannya. Akhirnya kuda itu pasrah. Dia menerima suap tongkol jagung dan menerima ajakan Mat Guci untuk mendekat ke kawanan kuda lainnya serta mengikat tali kendali ke batang ketapang.

Brahim Naga tersenyum lebar setelah melihat anaknya berhasil menjinakkan kuda putih itu. Dia kemudian mengajak Mat Guci untuk bergabung di dekat api unggun. Ben Puteh yang sedari tadi membolak-balikkan ikan di panggangan membuka percakapan. Dia masih heran dengan sikap badak yang ditemui di jalur setapak.

“Kenapa badak itu menyerang si gempal dan berlalu begitu saja setelah prajurit sial itu mati?”

Beberapa anak buah Ben Puteh ikut keheranan dengan sikap badak tersebut. Teman si gempal yang sedari tadi diikat jauh dari api unggun, kini diboyong untuk ikut bergabung dengan Brahim Naga. Teman si gempal turut mendapat jatah sepotong ikan panggang.

“Dia pemburu badak,” celoteh prajurit yang ditawan tersebut.

“Bicara apa kamu?” Tanya Seuman Badeuk.

“Si gempal pemburu badak. Badak yang menubruknya hingga tewas itu pernah terkena jeratan dan bacokan pedang si gempal. Namun badak itu selamat. Aku baru mengingatnya setelah samar-samar melihat kuping badak yang hilang. Mungkin hewan itu dendam pada si gempal,” ungkap prajurit tawanan itu.

Si prajurit kemudian menceritakan mengenai perburuan badak di rawa-rawa Lamuri dan hutan Lemur. Perburuan ini dilakukan setelah mendapat perintah dari kerajaan untuk menyediakan cula badak. Bagian tubuh badak tersebut kemudian dijual kepada pedagang asing yang sering berlabuh di Teluk Lamuri.

Pihak kerajaan, menurut prajurit tawanan itu, juga menjual gading gajah, kayu damar dan beberapa hasil alam lainnya. Namun, kata dia, cula badak yang menjadi primadona para pedagang dari timur jauh.

Mat Guci yang mendengar hal tersebut berang. Dia meminta pihak kerajaan untuk menghentikan perburuan badak dan gajah di Lamuri. Namun, Mat Guci mengutarakan pendapatnya pada orang yang salah.

“Saya hanya prajurit rendahan. Mana mungkin menghentikan kebijakan pemerintah seperti itu,” kata prajurit tawanan tersebut yang mulai leluasa berbicara.

Brahim Naga mempertanyakan alasan Mat Guci melarang perburuan badak dan gading gajah. Sebagai seorang balang yang pernah ikut serta dalam sistem pemerintahan, Brahim menilai perdagangan satwa liar tersebut menambah pemasukan terhadap kerajaan.

“Lagipula badak sangat banyak di Lamuri. Begitu pula dengan gajah. Kita bahkan menggunakan mereka dalam peperangan,” kata Brahim Naga.

Mat Guci yang menyayangi hewan kemudian mengungkapkan alasannya. “Ayah ingat kan cerita bertemu dengan Si Rambut Merah. Anakmu ini tidak pernah melihat makhluk tersebut, lalu bagaimana nanti jika penerus Lamuri juga tidak lagi melihat badak dan gajah berkeliaran di padang dan rimba kita?”

Brahim terdiam. Begitu pula dengan para prajurit yang lain, termasuk si tawanan. Mereka tidak menyangka Mat Guci memiliki visi yang lebih jauh dalam melihat perburuan satwa liar tersebut. “Butuh proses. Jikapun perjuangan kita berhasil nanti, aku akan meyakinkan teman-teman untuk menghentikan perburuan badak dan gading gajah. Namun, semua itu butuh proses karena sudah lama orang-orang kita memperjualbelikan gading gajah dan cula badak,” kata Brahim menghela nafas panjang.[] (bersambung…)


Tulisan ini merupakan lanjutan fiksi dari serial bersambung yang saya garap di blog ini. Baca juga cerita sebelumnya:
* Pawang Harimau
* Petarung Cilik
* Pulau Volcano
* Lereng Lemur
* Kisah Kematian Si Tangan Kanan
* Bertemu Si Bulu Merah
* Siwah Mencuri Makanan Elang
* Amuk Badak


Posted from my blog with SteemPress : https://abigibran.000webhostapp.com/2018/09/api-unggun-kuda-putih-dan-perdagangan-terlarang

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Congratulations! This post has been upvoted from the communal account, @minnowsupport, by boynashruddin from the Minnow Support Project. It's a witness project run by aggroed, ausbitbank, teamsteem, someguy123, neoxian, followbtcnews, and netuoso. The goal is to help Steemit grow by supporting Minnows. Please find us at the Peace, Abundance, and Liberty Network (PALnet) Discord Channel. It's a completely public and open space to all members of the Steemit community who voluntarily choose to be there.

If you would like to delegate to the Minnow Support Project you can do so by clicking on the following links: 50SP, 100SP, 250SP, 500SP, 1000SP, 5000SP.
Be sure to leave at least 50SP undelegated on your account.