[CERPEN MINGGU]: Rumah di Kebun Bunga

in fiction •  7 years ago 

IMG_9210.jpg

Alp memasukkan kunci ke lubang gembok bertuliskan CISA warna emas. Tak butuh lama untuk membuka pintu pagar besi yang tingginya tak lebih sebahu Alp. Ia melangkah masuk, lalu menutup kembali pagar berwarna hitam doff itu. Derit suara pagar mampir ke telinganya.

Sejenak Alp tertegun. Memandangi rumah berdesain minimalis modern yang dibangun dengan tangan dan keringatnya sendiri sepuluh tahun silam. Butuh waktu setahun untuk menyelesaikan rumah itu, hingga semuanya benar-benar berwujud sebagai rumah impian. Alp mengaplikasikan warna abu-abu dengan kombinasi merah pada rumah itu. Hasil kesepakatan antara dirinya dengan Seruni.

Sepuluh tahun berlalu, tak ada yang berubah dari rumah itu. Setiap kali catnya mulai tampak kusam, Alp segera memanggil tukang langganan untuk mengecat ulang. Dengan warna yang tak pernah berubah. Pernah sekali waktu ia terpikir untuk mengganti kombinasi merah dengan warna oranye, warna kesukannya, tapi begitu terbayang wajah Seruni, niat itu dengan sendirinya menguap.

Alp mengeluarkan kunci yang satunya lagi dari saku celana, segera ia masukkan ke lubang pintu. Tangan kirinya memegang gagang pintu, dengan tangan kanan ia memutar kunci dan sedetik kemudian pintu utama itu terbuka lebar. Wangi tubuh Seruni menyerbu indera penciumannya. Alp melangkah masuk dengan perasaan membuncah.

“Alp, kau sudah datang?”

Seruni muncul dari ruangan di sebelah kamar tidur mereka. Ruang yang mereka desain sedemikian rupa agar bisa disebut sebagai pustaka sekaligus surga. Tempat menenggelamkan diri paling nikmat sambil melahap aneka buku koleksi favorit mereka. Seruni yang tergila-gila pada sastra, dan Alp yang tak pernah bosan menjejalkan dirinya pada bacaan-bacaan berbau teknik.

Tanpa menjawab sepatah kata pun, Alp malah membiarkan Seruni mematung di hadapannya. Ia menatapnya lama. Memandang biji matanya yang hitam pekat, hidungnya yang bangir, poninya yang acak-acakan menutupi setengah dahinya. Juga sepasang alis yang lebat dan rapi.

“Tak ada yang berubah dari dirimu, Seruni. Masih seperti lima tahun lalu,” bisik Alp pada dirinya sendiri.

Pandangannya kini beralih pada tangan kiri Seruni yang menggenggam sebuah buku hardcover kumpulan antologi puisi Hujan Bulan Juni. Buku favorit Seruni, tak sedetik pun ia melepaskannya. Bahkan hingga saat ini.

“Kau terlihat lelah, Alp. Mukamu letih sekali. Mandilah, aku akan menyiapkan rebusan jahe untukmu.”

IMG_9212.jpg

Patuh. Alp beranjak. Seruni berdenyar-denyar dalam pandangannya. Ia meraih handuk putih yang bergantung di dalam lemari, melepas kemeja dan celana jeans yang ia kenakan seharian ini. Lalu merebahkan tubuhnya di kasur empuk berwarna abu-abu putih motif bunga seruni, juga hasil diskusi panjang dengan Seruni. Hari saat mereka membeli tempat tidur ini, adalah hari paling melelahkan bagi Alp. Lima toko perabot yang mereka datangi tak satu pun menyediakan tempat tidur seperti yang diharapkan Seruni.

Di dalam mobil menuju toko keenam, keduanya beradu mulut. “Apa bedanya motif seruni dengan motif angsa atau kerbau, toh nanti ditutupi seprai juga.” Alp bersungut-sungut sambil menyetir. Hampir saja ia menabrak kambing yang melintas tiba-tiba.

“Kamu pilih tidur dengan seruni atau dengan kerbau?”

jawaban Seruni benar-benar di luar dugaannya. Memangnya siapa yang mau tidur dengan kerbau? Namun Alp tidak kehilangan akal.

“Dengan kerbau. Zodiakmu kan kerbau. Itu artinya kamu juga kerbau.”

Kali ini ia puas terkekeh-kekeh mendapati gantian Seruni yang bersungut-sungut dengan mulut monyong.

Kenangan masa lalu itu harus segera ia sudahi manakala teringat pada rebusan air jahe. Usai mandi Alp segera beranjak ke dapur. Mengambil panci, memasukkan potongan serai, jahe, gula merah, dan air. Lalu merebusnya hingga mendidih dan berubah rasa serta aromanya.

+++

“Sudah selesai minum air jahenya?”

Seruni tiba-tiba muncul kembali. Alp mendongakkan kepala. “Aku ingin duduk di taman, menghabiskan senja bersamamu.”

Permintaan Seruni bagai menuntun Alp untuk meninggalkan dapur. Tubuhnya terasa lebih ringan dan segar sekarang. Ia melangkah santai menuju taman, duduk di kursi perunggu menghadap matahari terbenam. Dari sini ia bisa memandangi matahari bergulir di antara bayang-bayang pohon asam. “Matahari terbenam tak selalu harus ke laut, Alp.” Kata Seruni suatu ketika. “Tapi bisa juga ke balik bangunan dan pohon-pohon itu,” lanjut Seruni sambil menunjuk ke arah barat.

IMG_9955.jpg

“Kamu adalah ending yang indah bagi hidupku, Alp.”

Kata Seruni di suatu sore ketika mereka duduk di sebuah bangku di taman kota. “Aku selalu bermimpi, saat mataku terbuka di pagi hari, kamu adalah orang pertama yang kulihat.”

“So sweet.”

“Aku akan melakukan seperti apa yang dilakukan nenek kepada kakek. Memandangimu setiap hari dengan penuh cinta dan kerinduan. Aku, juga akan sering menggenggam tanganmu, untuk mengalirkan energi ke jantungku. Dengan itu aku hidup...”

“Ha ha ha.”

“Jangan tertawa.”

“Kenapa?”

“Aku akan malu kalau kau tertawa.”

“Kok malu?”

“Nanti kau kira aku terlalu banyak mengkhayal.”

“Enggak.”

“Boleh aku lanjutkan?”

“Pasti, aku ingin mendengar apa lagi khayalanmu.”

Seruni menyeringai. Ia mencubit lengan Alp hingga pria itu nyaris berteriak, kaget dan sakit.

“Kita menempati rumah yang tidak terlalu besar, tapi halamannya luas. Pagarnya bukan dari kayu atau tembok, melainkan bunga-bunga yang ditanam teratur. Rumah yang mirip seperti taman bunga, ada kursi tempat kita duduk menghabiskan senja, sambil minum teh atau kopi,” ujar Seruni penuh semangat. Sesekali matanya terpejam, berusaha memvisualisasikan apa yang ia ucapkan.

“Kebunlah,” potong Alp cepat.

“Kebun bunga, boleh juga, karena kita akan menjadi petaninya, merawat bunga-bunga itu bersama.”
Seruni. Ia selalu mengatakan Alp adalah sumber imajinasi dan kehidupannya. Tapi sebenarnya dialah matahari Alp. Dia yang menggerakkan kehidupan Alp. Dialah yang membawa Alp berjalan dan bertahan hingga ke detik saat ini. Duduk di taman, menyaksikan senja berlalu dengan rona jingga seperti yang diidamkannya. Berada di rumah di tengah kebun bunga. Dengan semua kenangan yang tak pernah selesai.

“Aku ingin duduk di taman belakang, Alp.”

Lagi-lagi Seruni memerintah. Dan lagi-lagi Alp tak kuasa membantah, bahkan untuk mengatakan sebentar lagi pun ia tak sanggup. Ia ingin menuruti semua yang diinginkan Seruni.

Sampai di taman belakang, Alp mengambil tikar berbahan sintetis dan menggelarnya di atas rumput. Di sini adalah tempat paling strategis untuk menyaksikan purnama setiap tanggal lima belas kalender Hijriyah. Ia dan Seruni banyak menghabiskan waktu berdua di atas tikar ini. Hal yang paling disukainya adalah saat Seruni merebahkan kepalanya di paha Alp. Lalu mereka bercengkerama membincangkan berbagai topik tanpa rencana. Ada kalanya mereka tak saling bertukar kata, melainkan saling diam dan mendengarkan irama jantung masing-masing. Itulah saat-saat paling sakral di antara keduanya. Saat-saat paling tak bisa dilupakan oleh Alp.

Di tengah-tenggah kekusyukannya menghadirkan ingatan, Alp merasa seperti ada yang menjawil bahunya. Ia tersentak. Refleks meraba tikar yang ia duduki. Tak ada Seruni. Bahkan bayangannya pun tidak ada. Ia menarik nafas panjang, menghalau kegundahan dan kegelisahannya. Ia meraba posisi jantungnya, merasakan degubnya yang tak beraturan. Rasa sepi dan rindu yang membelit membuatnya berhalusinasi.

Ingatannya kembali melayang pada masa lima tahun silam, hari di mana Seruni merasa cemas luar biasa. Setelah bertahun-tahun menyatukan jiwa dan raga, Seruni hamil di tahun keempat. Selanjutnya adalah hari-hari penuh debar dan terasa sangat lama. Waktu nyaris tidak bergerak. Senja yang mereka antar pulang saban sore seperti berdiri di tempat.

Alp tak sabar ingin melihat perut istrinya segera membesar, lalu bayi yang mereka tunggu-tunggu lahir. Mereka menyandang status baru sebagai ayah dan bunda. Di bulan ketujuh kehamilannya, tiba-tiba Seruni mengeluh sakit perut. Ia mengalami perdarahan hebat. Bayinya terpaksa dikeluarkan dengan cara operasi, namun tak bisa diselamatkan. Tiga jam kemudian Seruni menyusul bayinya. Itulah hari yang tak pernah dilupakan Alp.

Sepasang gundukan bertabur batu putih tak jauh dari tempatnya duduk menyadarkan Alp. Semua itu nyata. Semua itu bukan mimpi. Dan semua yang ia lakukan bersama Seruni lima tahun terakhir adalah halusinasi.[]

Catatan:
Cerpen ini saya tulis antara pukul 02:30-03:30 WIB dini hari, Minggu, 18 Februari 2018. Dan menyelesaikan dua paragraf terakhir sebagai ending sesaat sebelum cerpen ini diposting. Terinspirasi dari percakapan dengan seseorang dua jam sebelumnya tentang rumah idaman. Segelas cappuccino yang saya minum sore kemarin ternyata berefek cukup parah. Saya tak bisa tidur hingga menjelang subuh.

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Nyaris tak bisa menebak ending. Berhasil membuat Kak Aini membaca kata per kata. Merasakan lobang besar di hati Alp dan marah pada penulis. Tega sekali mencerabut kebahagiaan yang nyaris sudah mencapai langit ke tujuh. Tragis sekali kehilangan sosok semacam seruni dengan cara seperti itu, ya. Klimaks yang baik untuk cerita genre romance.

ide yang keluar gitu aja sebagai bentuk frustasi karena han item teungeut hahhahaha

Rumah ‘surga inspirasi’. Asiik....
Tulisannya keren kak @ihansunrise mengajak pembaca menerawang bentuk rumah dan jumlah bukunya. Hehe

Hmmmm kutahu kau pasti hadir, maka cerita ini khusus kutulis untukmu ;-)

Assiik....
Like surprise birthday...

Terima kasih kak @ihansunrise ;)

are you birthday today?

Wow. Keren.

Bagaimana kisah selanjutnya? Apakah halusinasi Alp berubah menjadi realitas berkelanjutan? Mari kita tunggu waktu sang penulis minun kopi agar tidak tidur demi memberikan cerpen terbaik setiap hari. Saya suka cerpennya.

wuahhhhh nggak lagi kayaknya.....capek nggak bisa tidur

Awalnya romantis ujungnya sedih. Aku ingin bertanya ketika bau tubuh seruni menguar dia pakai baju apa? Untung tak jadi, maaf ya Han, cerpenmu membuatku menjadi kodok...

Maafkeun..... jangan lupa minum kopi biar kembali ke bentuk semula

Bgus ceritanya, good

Terimakasih Pak @muh.... semoga menginspirasi

Pagi-pagi dapat cerpen Han Sun, alangkah senang! Hmmm....dan aku tahu satu "kerbau" ajaib yang bisa menggunakan laptop n piawai mengolah kata. Haha!
PS: espresso, dikawani kukis kecil-kecil sekali suap...nah itu bentuk lain dari surga

Aduhhhhhh nggak lama lagi kita ketemu ya, Kak. Nanti kita ngespresso bareng di Banda....

Yayaya! Dengan segala insomnia dan indomienya juga! Jiahahahah!

Mantap!

Kak Ihan. Mantap 2

thnaks thanks.....masih belajar bejalar

Sering sering saja baca cerpen kafka, Gabo, hemingway, @hermanrn @marabunta.

Nanti kamu pasti menemukan jalanmu.

Cerpen yang mnyenangkan, tapi ego alp turunin dikit lah, behe

ego? :-D

Ala ala romantis ke dilan dilanan ya...
Kl alurnya datarrrrrr lalu masuk jurang.
Tanda ngantuk haha

Alhamdulillah....tujuan utama bikin cerpen ini memang untuk tidur bang hahahaha

Ini yang dimaksud insomnia membawa berkah. Insomnia melahirkan karya. Menye lon insomnia abeh kunonton film

Hana le stok pilem hahahahaha.....

Salam buat seruni, suruh lyoain aja masa yg telah berlalu itu, jahahaja

akan disampaikan hahahhaha.....

Aduh, asli keren. Gak nyangka sama endingnya. Ternyata Alp adalah pengkhayal sesungguhnya.

Hehhehehe thanks Mas, sudah mampir.

Congratulations @ihansunrise! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :

Award for the number of upvotes received

Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.
For more information about SteemitBoard, click here

If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word STOP

By upvoting this notification, you can help all Steemit users. Learn how here!

Beuh! Romantis bangeet!!Tapi endingnya huhuhu...

hiks hiks hiks......

Cerita yang menarik, tapi endingnya menyedihkan. Ku tak mau seperti itu 😥

hehhhehehee......

Hahahahhaha, tetap aja "Semua itu bukan mimpi. Dan semua yang ia lakukan bersama Seruni lima tahun terakhir adalah halusinasi" ini jadi ambigu. Tapi lumanyanlah. Semangat.

Thanks sudah menikmati karya yang lumayan ini :-D

Dan kutebak setting tempatnya... adalah Aceh tahun dibawah 2013.
Karena, sepertinya disanalah kita punya kesempatan tertabrak kambing atau lembu ketika menyetir. hihihihi....

Kakak punya pengalaman, berada di tengah-tengah kerumunan lembu... laju mobil pun persis kura-kura.

Saya malah penasaran minum cappuccino dimana kok keren effeknya

Endingnya sungguh diluar dugaan. Akan berlanjut kah? *nyodorin kopi lagi untuk Ihan.

hai, bang Han, apa kabar?