Hari itu umurku sekitar satu tahun setengah. Ayah baru pulang dari perantaun yang jauh. Perjalanan dilakukan dengan motor selama satu malam melalui jalur darat. Ayah melakukan perjalanan malam hari, supaya tidak banyak orang di jalanan. Sudah menjadi kebiasaan di suku kami bahwa anak laki-laki yang dewasa merantau ke luar daerah dan pulang bila sudah berhasil. Meminang seorang perempuan, lalu satu tahun kemudian pulang dan kawin. Kemudian tinggal beberapa saat bersama isteri dan berangkat lagi sampai si bayi lahir. Begitu juga dengan ayah, dia sangat bangga dengan anak laki-lakinya yang sudah berumur satu tahun setengah saat itu.
Menurut cerita ibu, hari itu ayah membuatkan aku sebuah mobil dari empat kelapa yang telah dibolongi tengahnya oleh tupai. Di tengah bolongan kelapa dia pasang bambu untuk jadi sandaran tempat duduk. Kemudian dia mendudukkan aku dan sepupuku yang tambun di atasnya. Dia membawa kami keliling lapangan di samping rumah. Seakan dia ingin mengungkapkan kepada dunia bahwa anaknya kelak akan menjadi penggantinya mengelilingi kampung ini, dan mungkin memimpin suku kami. Dari pihak ayah, kakek pernah menjadi pemimpin suku yang sangat di hormati untuk beberapa generasi.
Seminggu kemudian ayah kembali merantau, dan baru akan pulang pada meugang tahun berikutnya. Saat pulang dia membawa kepala kerbau yang besar, kata ibu. Dia membaginya kepada para saudara dan tetangga rumah kami. Namun saat itu penyakit ayah kambuh kembali, lever dan batuk yang dideritanya membuat dia harus dirujuk ke rumah sakit. Takdir berkata lain, ayah pergi untuk selamanya dan meninggalkan aku dan ibu seperti selama ini dia lakukan.
Aku dibesarkan oleh seorang ibu dengan hati yang membaja. Dia selalu punya visi tentang masa depannya dan cara mengatasi masalah ekonomi keluarga yang morat marit. Toko yang ditinggalkan ayah hanya di bayar dua juta rupiah pertahun. Dan itu pun sangat susah untuk mendapatkannya, setelah melakukan beberapa negosiasi dengan saudara ayah yang ingin merebutnya.
Kini bayangan ayah hanya menjadi sesuatu yang akan menemaniku saat meugang. Biasanya seorang kepala keluarga laki-laki di suku kami akan membawa daging meugang yang besar untuk keluarganya. Sebagai tanda bahwa dia orang kaya, orang yang telah sukses di perantauan sana. Ayah kini menjadi dalam diriku yang akan menahan tangis saat meugang. Menahan air mata saat mama kembali harus membayar sendiri semua harga daging yang mahal setiap tahunnya. Dia seorang guru sekolah dasar yang tentunya gaji pas-pasan.
Saat lainnya adalah pesta maulid nabi. Kebiasaan suku kami orang-orang akan mengirimkan anak laki-lakinya membawa hidangan di atas kepala saat maulid. Dan ini tugas anak laki-laki menemani ayah untuk membawanya ke meunasah, tempat nantinya makanan akan di bagi bersama-sama. Aku berdiri serdiri di depan meuansah menunggu anak-anak di panggil oleh para orang tua. Bagi lelaki yang memiliki anak laki biasanya akan mengawasi proses pembagi makanan ini dengan baik. Jangan sampai anak mereka kebagian makanan yang tidak baik, atau bahkan kurang makannya. Ayah hadir dalam jiwaku, dan aku mulai menguatkan diri, kalau ayah menjaga ku saat aku makan makanan maulid tadi.
Aku duduk dalam barisan anak yatim, dengan teratur kami menunggu bagian yang diberikan dari makanan maulid. Seorang lelaki dengan kasar memotong kaki-kaki ayam yang akan dibagikan kepada kami. Dengan cepat dia menjadikan daging-daging itu menjadi bagian-bagian yang akan dibagikan secara serempak. Pesta maulid nabi berlangsung selama tiga bulan di suku kami, molod awai, molod teungoh, dan molod akhee. Saking cintanya kami pada sang nabi, biasanya para ibu akan memelihara ayam, itik atau kambing beberapa bulan sebelum maulid datang. Kami menyebut binatang-binang itu dengan tambahan saidina. Manok saidina, kameng saidina dan seterusnya, yang berarti binatang-binatang itu sengaja dipelihara untuk disembelih pada peringatan maulid nabi. Kami tak akan mengganggu binatang-bianatang tersebut, bahkan sangat khawatir bila dia sakit.
Pesta perkawinan kami menyebutnya dengan kereuja udep . Sekali lagi aku ingin menemani ayah pergi ke sana. Anak laki laki biasanya akan menemani ayah untuk pergi pesta kereuja udep di tempat saudara. Bahkan mereka akan bekerja sebelum hari pesta dilakukan. Dengan sangat hati-hati mereka akan mempersiapkan semuanya untuk kesuksesan acara pesta perkawinan saudaranya.
Akan sangat memalukan bagi pihak keluarga laki-laki bila pesta anak perempuan saudaranya mengalami kejanggalan atau kecatatan. Ini adalah menyangkut harga diri dan kehormatan sebuah keluarga dan tali keturunan suatu keluarga.
Aku memang anak lelaki satu-satunya dari pihak ayah. Namun aku telah terputus. Mereka menyebutku telah patah titi . Sehingga beberapa warisan yang mestinya jatah ayah dapatkan dari kakek tidak bisa kuambil. Entah setan apa yang membuat mereka begitu tega melakukannya padaku. Namun itu semua adalah amunisi yang kini telah kubangun dalam kehidupanku. Aku ingin menatap hidup sebagai anak yang betul-betul menjadi bayangan ayah yang mampu sukses memiliki kerja di usai muda. Memiliki anak lelaki yang bisa meneruskan masa depannya, walau dia telah tiada, karena sebuah takdir yang tidak bisa dihilangkan dalam kehidupan manusia.
Kereuja mate adalah sesuatu yang sangat tragis dalam kehidupan suku kami. Dia akan berlangsung cukup lama. Dan saat itu ayahku juga diperangati sampai empat puluh hari. Orang-orang kampung pertama selama tujuh hari akan datang berbondong-bondong selama tujuh hari ke rumah kami. Otomatis tetangga kami selama tujuh hari tidak akan memasak di rumahnya. Bukan karena mengharapkan makan di rumah kami. Akan sangat memalukan bila ada tamu yang datang sementara tetangga, tidak ada yang membantu untuk melayani tamu
Sekali lagi kami anak laki-laki menjadi ujung tombak untuk kenduri selama tujuh hari pertama Kereuja matee. Tak ada tetangga yang akan ke sawah atau ke ladang selama tujuh hari pertama. Kami akan sangat bangga bila ada selalu menemani selama tujuh hari ini di rumah, mulai memasak nasi, memyiapkan air untuk tamu dan menemani mereka sekedar ngobrol di sana. Biasanya akan dibangun sebuah tenda untuk tempat orang melakukan samadiah dan tahlilan. Akan datang dari kampung secara bergiliran memabaca samadiah dan tahlilan, dan ini dikaukan oleh kaum laki-laki. Sekali lagi aku ingin bisa menemani ayah untuk ikut menenami nya melakukan tahlilan dan samadiah ke meunasah.
--------------.
Kini aku telah menjadi seorang ayah dan melewati masa kerinduan untuk ditemani meugang, maulid, kereuja udep dan matee. Kini jaman sudah berubah. Anak-anakku tentu akan bertanya tentang itu semua. Adakah aku ingin menjadi seperti ayahku atau menjadi ayah yang lain yang berbeda. Namun aku rindu itu semua. Sebuah kebersamaaan yang patut dilakukan kembali. Di tengah gerusan individualisme yang hanya mengejar kesendirian kepuasan zaman modern.