Siang seberang jalan utama, salah satu jalan yang panjang tidak jauh dari kota. Dermaga tua yang kosong kini hanya di jadikan sebagai tempat hunian binatang-binatang jalang, selalu kenyang dengan keadaan, tidak sedikit-pun lapar menyerang, bahkan sudah lupa bagaimana rasa lapar itu. Tidak ada sedikitpun hasrat dalam dada mereka untuk keluar menjadi binatang se-utuh nya. Hanya sekedar menciptakan angan yang akan terus menjadi angan. Binatang yang bahagia akan kesengsaraan hidup.
Dermaga itu ramai pada masa yang lalu, kini menjadi hunian para binatang. tidak ada lagi para saudagar yang saling bercerita tentang barang-barang mereka, perjanjian-perjanjian yang membuahkan suatu hubungan kekeluargaan, para pekerja yang basah dengan keringat dan aroma tubuh yang kental dengan kerasnya sebuah kehidupan, tumpukan rempah-rempah di sudut kios kecil milik kakek tua yang hanya menghabiskan waktunya sembari menunggu para anak-anak pengusaha yang sekedar melihat-lihat kapal-kapal negeri orang untuk mampir di kios yang hampir seperti gubuk tua itu. Semua aroma bercampur dalam satu suasana, asin lautan, wangi bunga lawang, keringat pekerja, dan parfum anak gadis saudagar kaya. Semua menjadi satu aroma yang berpadu seperti air yang berpadu dengan sinar matahari, menjadi sekumpulan awan. Suatu momen yang kini hanya menjadi bayang-bayang dari pantulan hujan gerimis atau suatu fatamorgana di kala terik mentari yang mengerutkan mata.
Sebuah bangkai kapal masih berlabuh. Terdiam dengan kerongsokan-nya. Kapal itu mengalami penyakit sepi yang akut dan perih tak terkatakan kata. Sepi yang membuat dirinya hilang dalam keberadaannya sekarang. Dingin yang menusuk setiap sisi dek. Kegelapan yang menguasai seluruh ruangan ketika malam tiba. Seperti inikah nasib kapal yang telah melewati badai di tengah selat malaka, mengapa tidak karam saja seperti seharusnya sebuah kapal dalam pengakhiran masa pelayaran-nya. Nasib sial sang kapal yang telah mengarungi ribuan kilometer lautan. Berjumpa paus yang migrasi. Berusaha menerjang ombak musim barat. Melahirkan kapten yang hebat. Mendukung perdamaian dengan perdagangan. Begitulah bila sial menyapamu.
Terkadang kesepian yang merajai suasana membuatnya mengenang masa-masa musim semi di dermaga Largs Bay, kota Adelaide. keceriaan para anak gadis yang memakai setelan baju putih dengan topi kecil yang manis singgah miring di atas kepala mereka masing layaknya putri-putri Britania Raya yang sedang menghadiri jamuan makan malam di rumah ratu Elizabeth. Senandung melodi harmonika "adelaide sky" mengiringi para pecinta yang singgah untuk melihat hiruk pikuk aktivitas perdagangan. Tong-tong wine yang tersusun rapi, siap di antarkan kepada raja-raja. Angur yang tidak kalah dari Wine Saxony . Pelabuhan yang indah dengan jalan-jalan kecil dan gedung-gedung batu yang megah.
Namun, masa lalu adalah masa lalu. Suatu yang pasti tidak mungkin terjadi untuk terulang, *deja vu* hanya keinginan. Kapal itu kini menjadi barang ronsokan yang tidak berguna. Dia selalu bertanya pada dirinya sendiri sembari menghabiskan hari-harinya, dan menunggu kayu-kayunya habis menjadi santapan para rayap.
"mengapa mereka tidak menenggelamkan saja aku".
perahu terus memaki-maki sang kapten yang mengatakan
"biarkan saja kapal tersebut, aku tidak tega melihat dia tenggelam".
Rasa yang dimiliki oleh perahu dan manusia berbeda.
Hari terus berlanjut, hujan panas adalah kondisi penstabilan diri sang bumi. Kapal tetap merana dalam kesepian diri.
**From Aceh with Love** salam manis cucoe raja