Judul pada blog adalah jawaban dari pertanyaan dari forum sebelah. Berikut ini adalah pandangan kami atas pertanyaan dimasud.
Sejarah filsafat tertua, sejauh yang kami ketahui, berangkat dari ide-ide Socrates, dan banyak pendahulu sebelum Socrates; hanya saja mungkin Socrates – melalui Plato – telah terlebih menyusun pemikiran-pemikirannya secara lebih terdokumentasi dari pendahulunya. Dan pendekatan yang sekarang kita kenal sebagai “filsafat” waktu itu belum dinamai demikian. Socrates hanya menyebutnya sebagai "pengetahuan sejati".
Jadi tentang apa pengetahuan sejati– atau filsafat ini? Sederhananya tentang mengidentifikasi obyek, yang mencakup dua hal :
Mengidentifikasi identitas obyek realitas.
Dan yang dimasud realitas – kalau kurang tepat mohon dikoreksi, tapi ini merujuk pada Plato Divided Line – adalah yang bisa disensor oleh indera atau visible object (bisa dilihat, diraba, dicium, diukur, dll - dengan kata lain bisa dieksperimen) dan selain itu juga yang bisa diketahui atau dikenali melalui pendekatan dialektis nalar, contoh Tuhan; Tuhan non visible, tapi tidak akan ada alam kalau tidak ada yang memulai atau menciptakannya, jadi eksistensi Tuhan – walaupun non visble , - meupakan sebuah realitas sejak secara dialektis bisa dibuktikan (apakah bisa di eksperimen? Jawabannya saya sarankan membaca The Brief History of Time dan Grand Design – Stephen Hawking). Yang non visible dan sekaligus juga yang tidak bisa diketahui, atau dikenali, dengan bernalar disebut non realitas, atau di luar pengetahuan alias khayalan. Sebuah obyek kemudian dianggap tidak ada – tidak dikenal - sampai ia bisa didefinisikan, pertama secara visible, dan yang kedua secara nalar untuk dijabarkan secara komprehensif dalam karakteristik yang menentu sebagai identitasnya, sehingga kita bisa menyebutnya sebagai obyek menentu ‘A’, ‘B’, ‘C’, dan seterusnya.Mengidentifikasi perwujudan dari realitas – atau refleksi dalam bahasa Socrates.
Contohnya begini : seklompok manusia ingin mewujudkan tatanan hidup tertib dan adil . Masalahnya lantas, bagaimana bisa mewujudkan tatanan hidup tertib dan adil kalau karakteristik identitas tertib dan adil kita tidak tahu? Bagaimana kita bisa mewujudkan sesuatu yang kita tidak kenal; bagaimana mungkin bisa mewujudkan hidup tertib dan adil kalau definisi adil tidak tahu? Tertib itu seperti apa, dan adil itu seperti apa, ini perlu dikenali, terukur, jelas karakteristiknya, sehingga bisa dicapai. Contoh lain, orang ingin bahagia, tapi tidak tahu perwujudan bahagia itu seperti apa, lantas bagaimana bisa mencapainya? Ibarat mau pergi ke suatu tempat, tapi tempatnya sendiri tidak tahu dan kearah mana juga tidak tahu.
Begitulah, apa yang hari ini kita kenal sebagai filsafat, dulunya disebut sebagai pengetahuan sejati. Dalam istilah sekarang dikenal sebagi materi untuk mengidentifikasi esensi dari realitas. Istilah metafisika baru hadir setelah Aristoteles menulis Organon, tools untuk mengidentifikasi obyek realitas agar obyek bisa dipahami secara univocal, bukan equivocal. Dan inti metafisika ini lebih kurang sama seperti filsafat.
Poin 2 itu merupakan alasan mengapa harus belajar filsafat. Tapi masih ada alasan lain. Contoh, kembali, masalah tertib dan adil. Masing-masing orang kemudian memahami tertib dan adil menurut defisnisinya masing-masing, sehingga ada banyak model tertib dan ada banyak model adil. Tertib dan adil menurut si A seperti ini, sementara menurut si B seperti ini. Perbedaan ini, kata Socrates, membuat orang saling baku hantam untuk masalah-masalah yang prinsip, alih-alih menjadi tertib dan adil. Pendekatan filsafat kemudian memberikan bantuan, bagaimana agar realitas apapun, dan perwujudan dari realitas apapun bisa dipahami secara seragam – atau univocal, agar terhindar dari perselisihan dan perpecahan. Dengan demikian pemahaman dan perwujudan tertib dan adil itu sama, tetap, tidak berubah, menurut siapapun dan kapanpun. Jadi demiikian, menjawab pertanyaan dimaksud, hal mendasar mengapa kita harus belajar filsafat: menjadi tahu – atau memiliki pengetahuan – sehingga tidak sekedar beropini atau berasumsi, yang dampaknya seperti seseorang yang mau menuju satu tujuan tapi tidak tahu tempatnya dan arah mana yang harus diambil, lalu mengira-ngira atau menduga-duga.
Semoga bermanfaat.