Tanpa terasa empat puluh satu tahun silam, tepatnya 4 Desember 1976, ternyata sosok keturunan Tiro Teungku Hasan Muhammad atau Hasan Tiro memproklamirkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Gunung Halimon, Pidie. Untuk mengenang hari bersejarah itu dan perjuangan yang dirintis Hasan Muhammad di Tiro, hari ini diperingati Milad ke-41 GAM.
Lahirnya sebuah gerakan yang sempat menggemparkan dunia di bawah titisan Tiroisme itu telah melakukan perdamaian dengan pemerintah pada tahun 2005. Simbol mereka kini berada di bawah komando Komite Peralihan Aceh dan Partai Aceh (KPA/PA). Mereka tetap mengenang jasa gerakan tersebut meski sang proklamatornya telah tiada. Namun, hiruk pikuk dan ruh milad gerakan itu seakan hambar, kurang terasa di kalangan masyarakat, tidak seperti di era pra-perdamaian dan tahun awal perdamaian.
Mengenang Milad GAM tidak terlepas merefleksi kembali sejarah perjuangan sosok proklamator dan para pejuang yang ikhlas dalam memperjuangkan “kemerdekaan” Aceh dalam jejak dan sepak terjangnya. Namun nilai perjuangan itu bukan lagi dengan mengangkat senjata sehingga korban berjatuhan baik?dari kalang sang pejuang, lawan maupun masyarakat sipil yang tidak terlibat dalam perlawanan. Namun senjata yang di gunakan dalam abad modern ini adalah bentuk perjuangan dalam membebaskan diri dari kejahilan dan kebodohan tentunya dengan "bazoka" ta'limul ilmi (menuntut ilmu).
Ini tidak berlebihab dengan melihat dari perspektif kepandaian dan kejeniusan sang Hasan Muhammad di Tiro tidak pernah diragukan. Ia sempat melalang buana ke belahan dunia sebelum memproklamirkan GAM di Gunung Halimon. Lewat Pasi Lhok Kembang Tanjong, ia menjajaki langkah perdana sebelum menerobos ke puncak bersejarah itu.
Pertama kali Hasan Tiro pulang ke Aceh pada Sabtu, 30 Oktober 1976, sekitar pukul 08.30 WIB. Hari itu beliau tiba di Kuala Tari, Pasi Lhok, sebuah desa nelayan di Kabupaten Pidie, setelah 25 tahun menetap di Amerika. Dari tempat itu ia melanjutkan perjalanan ke arah timur. Sekitar pukul 18.00 WIB, Hasan Tiro tiba di Kuala Tari. Sekelompok laki-laki dipimpin M. Daud Husin—masyarakat sering memanggilnya Daud Paneuk—telah menunggu kehadirannya. Malam itu juga mereka berangkat menuju Gunung Halimon. Hasan Tiro menyebutkan, itu malam pertama di tanah airnya, “setelah selama 25 tahun aku tinggal di pengasingan di Amerika Serikat" (Hasan Tiro, The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan Di Tiro, 1984).
Namun perjuangan secara fisik pra-damai sepertinya "mustahil" terulang kembali. Bukan berarti tidak mungkin terulang sejarah kembali apabila benih dan embrio "luka lama" ditoreh dan dilakoni kembali. Potensi ke arah itu kita sangat mengharapkan janganlah tersungkur langkah ke dalam lubang yang sama. RAkyat Aceh tidak ingin hidup dihabisi dalam hiruk pikuk dentuman dan luapan senapan, serta sang loreng yang masih membekas dalam trauma, belum hilang dalam memori. (bersambung)