Saat Non-Muslim yang berada dalam wilayah teritorial Aceh, dikenakan Hukum cambuk khususnya mengenai perkara Maisir (Minuman Keras).
Banyak kalangan mengecam tindakan ini, baik dari dunia internasional maupun nasional. Namun jangan hanya melihat sepihak pemberlakuan HAM, coba perhatikan hal ini.
Bila seseorang dituduh atau disangka menjual atau memperdagangkan minuman beralkohol kemudian ditangkap, tindakan apa yang akan dilakukan.
Pertama, berdasarkan Ketentuan UU yang berlaku umum, pada ketentuan Pasal-Pasal di dalam KUHP maka Penjara adalah hukumannya berapapun lamanya itu.
Kedua, bersasarkan ketentuan hukum yang berlaku di Aceh, bagi non muslim yang kedapatan menjual maupun menkonsumsi minuman beralkohol maka dapat menyatakan diri mengikuti Qanun dan ia akan dicambuk.
Pertanyaannya :
- Apabila seorang dipenjara dengan pemberlakuan hukum nasional, siapa yang kemudian bertanggung jawab atas nafkah, dan kepentingan keluarganya ?
- Apabila seorang itu dicambuk dan setelah dicambuk kemudian ia dikembalikan kepada keluarganya, dapatkan ia beraktifitas seperti biasa dan menghidupi keluarganya itu ?
Pertimbangan seperti itu adalah analogi sederhana yang dapat ditarik, apakah HAM atau tidak.
HAM itu tidak hanya terbatas pada diri seorang itu saja melainkan, Hak orang lainnya (Keluarga) juga harus dipertimbangkan. Semakin lama seorang yang ditahan itu dipenjata semakin lama pula orang lain (keluarga) yang menjadi tanggungannya dilanggar oleh karena pemberlakuan suatu aturan itu.
Maka pemberlakuan hukum islam di Aceh itu tidaklah melangar HAM, namun jeratan hukum tetap harus mempertimbangkan hal lainnya agar semua tindakan itu menjadi seimbang dan tidak melanggar Hak orang lainnya lagi.