Songket Aceh, a Masterpiece of Cultural Crafts for Centuries [Bilingual]

in heritage •  7 years ago  (edited)

Songket Aceh atau tenun songket Aceh adalah warisan budaya Aceh selama berabad-abad. Tenun sutera berkembang di Pidie dan Aceh Besar sebelum menyebar ke bagian Barat dan Selatan Aceh. Saat ini, keberadaan penenun songket Aceh yang masih aktif kian sulit dijumpai dan karenanya tenun songket Aceh tidak lagi dapat diproduksi secara massal.

Aceh Songket or Aceh songket weaving is Aceh heritage for centuries. Silk woven has developed in Pidie and Great Aceh before it spread to west and south of Aceh region. Today, it is hard to find exist weavers and Aceh songket weaving has no longer mass-produced.

Dahlia, seorang penenun yang masih aktif di Desa Siem, Aceh Besar, menceritakan bahwa saat ini mereka membeli bahan sutera dan benang emas yang mereka pasok dari Bandung. Bahan baku terpaksa didatangkan dari lokasi yang jauh sehingga ongkos produksi meningkat.

Dahlia Zainun, an active weaver in Siem village, Great Aceh, recounted that currently they are buying the silk and gold threads they supply from Bandung. Raw materials have to be imported from distant locations so that the cost of production increases.

Ibu dari Dahlia, Maryamu Ali, merupakan seorang penenun yang sangat terampil dan banyak menghasilkan motif tenun songket Aceh. Maryamu yang dikenal dengan nama panggilannya, Nyakmu, tidak segan berbagi pengetahuan.

The mother of Dahlia, Maryamu Ali, is a highly skilled weaver and produces many Aceh songket weaving motifs. Maryamu, known by her nickname, Nyakmu, like to share her knowledge.

1508292323592_fx.jpg

Aceh Songket Weaving. Photo by: Vina Alhadath for I Love Songket Aceh

Di masa lalu, terdapat peternakan ulat sutra di desa Lamtamot, Aceh Besar. Saat itu, Maryamu Ali, terampil menjalankan proses pewarnaan secara alami. Para pekerja di perkebunan ulat sutera didatangkan dari pulau Jawa. Sayangnya saat konflik terjadi di tahun 1990-an para pekerja tersebut harus kembali ke daerah asalnya dan perkebunan itu pun terbengkalai.

In the past, there were silkworm farms in Lamtamot village, Great Aceh. At that time, Maryamu Ali, skillfully runs the process of coloring naturally. The workers in the silkworm plantation were bring it from Java. Unfortunately when the conflict occurred in the 1990s the workers had to go back to their origin and the plantation was unmanaged.

Selain Dahlia, ada pula penenun yang bernama Asmah yang tinggal di Lamno, Aceh Jaya serta Jasmani dan Rosmalizar yang tinggal di Miruek Taman, Aceh Besar. Mereka adalah beberapa murid Nyakmu yang masih aktif menenun hingga saat ini. Semasa hidupnya, Nyakmu dikunjungi oleh wisatawan dan orang-orang yang ingin belajar menenun dari berbagai daerah.

In addition to Dahlia, there are also a weaver named Asmah who lives in Lamno, Aceh Jaya and Jasmani and Rosmalizar who live in Miruek Taman village, Aceh Besar. They are some of Nyakmu disciples who are still actively weaving to this day. During her lifetime, she was visited by tourists and people who want to learn to weave from different regions.

Jasmani Daud, penenun lainnya yang saat ini masih aktif bersama sang suami Parliansyah, aktif mengembangkan berbagai motif songket kreasi. Ia mempekerjakan beberapa orang pekerja lepas apabila sedang banyak pesanan dari pelanggan. Para pekerja lepas ini juga berprofesi sebagai petani dan buruh pembuat batu bata di desa mereka.

Jasmani Daud, another weaver who is currently active with his husband, Parliansyah, actively develops a variety of songket creations. They employed a number of freelance workers when there are multiple orders from customers. These freelance workers also work as farmers and brick-making workers in their village.

Baik Dahlia maupun Jasmani, mengakui tidak mudah mengajak generasi muda untuk menenun. Mereka telah sering diminta untuk mengajar pada kursus singkat menenun yang diadakan pemerintah atau lembaga lainnya. Namun tidak ada yang kemudian benar-benar menjadikan penenun sebagai profesi utama mereka.

Both Dahlia and Jasmani, admitted it was not easy to invite young generation to weave. They have been frequently asked to teach short courses of weavings held by government or other institutions. But no one really makes the weavers as their main profession.

DSC_0604.JPG

I Love Songket Aceh Volunteering Photo Session at Gedung Juang 1945 Banda Aceh. Photo by: Vina Alhadath for I Love Songket Aceh

Menurut saya, tidaklah mudah untuk melahirkan generasi baru penenun. Proses menenun membutuhkan kesabaran dan kesungguhan, di mana untuk menghasilkan sehelai kain tenun membutuhkan waktu berminggu lamanya.

I think it is not easy to create new weaver generation. To weave need more patience and persistence, because we need a few weeks to produce a piece of Aceh songket weaving.

Sementara itu, di zaman modern orang-orang semakin enggan untuk sendirian. Ini dibuktikan dengan kondisi saat ini, di mana orang-orang terikat dengan beragam media sosial di gadget mereka. Sehingga dibutuhkan upaya khusus agar generasi muda mau belajar menenun, sehingga tradisi ini tidak hilang.

Unfortunately, people now are afraid of being alone. This is proven by fact that we spend a lot of time with social media and become to gadget freak. Therefore, in this modern era, we must prepare focused programme so that youth generation can continuing the custom.

Meskipun demikian, Barbara Leigh, penulis buku Hands of Time: Crafts of Aceh (Tangan-tangan Terampil: Kerajinan Aceh) optimis orang-orang akan kembali belajar menenun, apalagi saat ini Aceh sudah kembali damai. Leigh menceritakan bahwa di masa lalu, tenun songket Aceh berkembang pesat sebagai salah satu komoditi unggulan yang diekspor hingga ke mancanegara antara lain India dan Eropa.

However, Barbara Leigh, author of Hands of Time: Crafts of Aceh is optimistic that people will again learn to weave, especially when Aceh is now peaceful again. Leigh recounted that in the past, songket songket Aceh developed rapidly as one of the leading commodities exported to foreign countries such as India and Europe.

Upaya regenerasi penenun dapat dilakukan dengan mencontoh kebijakan Dedi Mulyadi, Bupati Purwakarta, yang mewajibkan murid perempuan untuk belajar menenun. Dedi menjelaskan, selain untuk melestarikan kearifan lokal, pelajaran menenun sebagai muatan lokal dianggap dapat memberikan pendidikan kesabaran bagi kaum wanita. Dengan menjadikan menenun sebagai muatan lokal, diharapkan tradisi ini dapat terus diwariskan kepada generasi muda.

The solution to regenerate the weaver can be done by copying the policies of Dedi Mulyadi, the Regent of Purwakarta, which requires female students to learn to weave. Dedi explained, in addition to preserving local wisdom, weaving lessons as a local content is considered to provide an education of patience for women. By making weaving as a local content, it is hoped that this tradition can continue to be passed on to the young generation.

Saya ingin berbagi mengenai I Love Songket Aceh, sebuah komunitas kaum muda yang kami dirikan bersama para pemuda-pemudi Aceh bergerak dalam pelestarian tenun songket Aceh sebagai mahakarya kerajinan budaya tradisional dan warisan budaya Aceh. Komunitas ini berupaya menjembatani penenun sebagai pelaku industri tenun songket Aceh dengan pemangku kepentingan terkait agar tenun songket Aceh dapat kembali berkembang.

I would like to share about I Love Songket Aceh, a community of young people we co-founded with Acehnese youngsters engaged in preserving Aceh songket weaving as a masterpiece of traditional cultural crafts and Acehnese cultural heritage. This community is trying to relate the weavers as the songket weaving industry in Aceh with relevant stakeholders so that songket Aceh weaving can be re-developed.

DSC05623.jpg

I Love Songket Aceh Volunteering Photo Session at Museum Aceh, Banda Aceh. Photo by: Mencenet Photographer for I Love Songket Aceh

Songket Aceh dapat menjadi pilihan cenderamata yang menarik dalam rangka mendukung industri pariwisata. Dengan fokus pemerintah untuk membangun kembali Aceh setelah tsunami dan perdamaian yang kembali bersemi, Aceh terus didorong untuk mengembangkan potensi wisata alam dan budaya mereka.

Songket Aceh can be an attractive souvenir choice in order to support the tourism industry. With the government's focus on rebuilding Aceh after the tsunami and recovering peace, Aceh continues to be encouraged to develop its natural and cultural tourism opportunities.

Kami berharap tenun songket Aceh dapat kembali diakui sebagai warisan budaya dunia dan juga digemari oleh pasar lokal maupun mancanegara. Apalagi, kearifan lokal dan budaya kita merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya. Mengenali kearifan lokal dan budaya kita akan membuat kita sadar sepenuhnya darimana kita berasal dan bagaimana kita merencanakan masa depan yang lebih bermakna. Semoga!

We hope that Aceh songket weaving can be recognized as a world cultural heritage and also favored by local and foreign markets. Moreover, our local wisdom and culture is an invaluable treasure. Recognizing our local wisdom and culture will make us fully aware of where we come from and how we plan for a more meaningful future. Hopefully!

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Selamat datang. Akhirnya, songket Aceh masuk ke dalam Steemit. Teruskan promosinya bang @azharpenulis.

Terima kasih sambutan hangatnya Bang @lontuanisme. Mudah-mudahan, Bang. Semangat terus berkarya. (-:

Insya Allah saling menyemangati. Siap!

Halo, apa kabar @azharpenulis? Diupvote yah..

Kabar baik, terima kasih @puncakbukit semoga artikel ini bermanfaat ya. Have a nice day! (-:

Salut sama bang Azhar yang mau berjuang melestarikan warisan budaya Aceh

Terima kasih @abahharuna. Senanglah kami dikunjungi blogger traveller, nanti bisa nih kita pikirkan produk songket yang bisa dibawa-bawa buat traveller Aceh ke lua nanggroe ya. (-: