Halaqah Ilmu Agama
💜 Berbagi Semangat Edisi 3 💜
💞Pengalaman Sulok 10 hari di dayah MUDI.
Dibalik harapan dan kekhawatiran, tersimpan keindahan cinta
Kita sering menyebut hal-hal yang kita takuti, sebagaimana juga sering menyebut hal-hal yang kita cintai. Kedua hal tersebut memang berbeda, tapi bisa berada di hati dalam waktu yang sama. Seperti ibadah puasa yang kita cemaskan tidak diterima, namun juga diharapkan untuk diterima. Ini adalah baik, daripada menduga 100% diterimanya ibadah, atau menyangka tidak diterima sama sekali.
Kemarin, Abiya Muhammad Baidhawi, saat memimpin tawajjuh, banyak berkata indah, yang menyentuh hati-hati mereka yang sedang sulok. Beliau bertafakkur lama, tapi terasa nyaman di dalamnya. Tumpahlah air-air mata semua santri. Menangislah suara-suaranya. Abiya mengingatkan tentang apa saja kesalahan yang telah benar-benar dilupakan, tentang nikmat yang hampir tidak pernah disyukuri, tentang senyum, dan tawa, yang seharusnya lebih baik diganti dengan tangisan. Entah bagaimana ibarat kata itu keluar dari hati Abiya, tapi benar, semua yang mendengarnya ikut menangis.
Itu adalah rasa takut, rasa menyesal, rasa bersalah, rasa berharap, rasa kecewa, yang kemudian memunculkan tangisan.
dosa yang kita sadari, melahirkan rasa takutnya siksa. menghadirkan penyesalan kala itu. Kita mengakui salah, dan berharap untuk kembali. Dan merasa teramat sedih dan kecewa, bila waktu telah berakhir, dan terlambat.
itu semua adalah rasa takut.
Kemudian, Abiya mengatakan di akhir tafakkurnya, bahwa, Allah Maha Rahman, Allah Maha Penyayang, Allah Maha pengampun. Bersangka baiklah kepada Allah, bahwa kita telah diampunkan. Kita telah disayangi. Kita telah berhasil menangis. Kita telah berada disini, dikala malam gelap gulita, orang-orang mempunyai mimpi.
itu adalah rasa cinta. Sebuah harapan.
Abiya, di dalam tafakkurnya, menghadirkan dua rasa yang berlawanan. Seperti itulah cinta. Ia akan menjadi sangat indah ketika berada dalam keraguan, yaitu ketika berada di antara harapan dan kekhawatiran.
Kita mengakui diri, bahwa masih lemah dalam bertafakkur. Tidak terlintas bahkan rasa sedih dikala mentari mulai menghilang. Tidak menyayangi bahkan orang-orang yang meminta di jalanan. Tidak tersentuh oleh apa saja yang seharusnya menjadi sebuah hikmah yang menegur segala kekurangan diri sendiri.
Kita menanti pagi, untuk kemudian membuat rencana, lalu, bagaimana bila pagi itu adalah yang terakhir, adakah nanti, akan ada lagi rencana lainnya?
Kita menunggu malam, agar selanjutnya menyimpan lelah, lantas, bila benar-benar terpejam mata, apakah kemudiannya akan benar-benar beristirahat di akhirat sana?
Di akhir sulok hari ke-sepuluh, Tgk Sayed Fadhil selaku panitia sulok menceritakan sepatah kata dari Abuya Muhibbudin Waly, bahwa Abuya mengatakan, "Siapa yang istiqamah mengamalkan tariqat naqsyabandiyah ini, maka hidupnya akan bahagia".
Muhammad Fajar Isnaini
Lhokseumawe, 4 Juni 2018
🌹 Follow & Share akun kami👇🏻👇🏻
YouTube: 📥HALAQAH ILMU AGAMA
🍃 HALAQAH ILMU AGAMA🍃