Lonceng Cakra Donya, The Symbol of Friendship Between Two Nations (Aceh-Tiongkok) [Bilingual]

in history •  7 years ago  (edited)

Warm Regards to All Steemian Friends.
(Salam Hangat Untuk Seluruh Sahabat Steemian.)


image


Banda Aceh is one of the most important historical cities in the spread of Islam in Indonesia. In the past, the city was named Bandar Aceh Darussalam (Koetaradja) which is the center of the kingdom of Aceh Darussalam (1496-1903 AD). Many of the remaining royal heritage sites in the city, some of which are housed at a place what is now a famous historical site in Banda Aceh, that place is Museum Aceh.

Banda Aceh merupakan salah satu kota yang memiliki jejak sejarah paling penting dalam penyebaran agama Islam di nusantara. Dahulu, kota ini bernama Bandar Aceh Darussalam (Koetaradja) yang merupakan pusat dari kerajaan Aceh Darussalam (1496-1903 M). Banyak situs peninggalan kerajaan yang masih tersisa di kota ini, beberapa diantaranya disimpan di sebuah lokasi yang sekarang menjadi tempat wisata sejarah yang cukup terkenal di Banda Aceh, yaitu Museum Aceh.

image


One of the most historic royal heritage objects in this location is a large bell that symbolizes the friendship relations between the Acehnese and the Chinese that have existed since the fifteenth century. The bell is called Lonceng Cakra Donya.

Salah satu benda peninggalan kerajaan yang paling bersejarah di lokasi ini adalah sebuah lonceng besar yang melambangkan hubungan persahabatan antara bangsa Aceh dan bangsa Tiongkok yang telah terjalin sejak abad ke-15. Lonceng tersebut bernama Lonceng Cakra Donya.

image


Lonceng Cakra Donya is a gift from the dynasty emperor Ming given to the kingdom of Pasai in the 15th century through the hands of admiral Cheng Ho. This bell is a stupa-shaped iron crown made in 1409 AD, with a height of 125 cm and a width of 75 cm.

Lonceng Cakra Donya merupakan hadiah dari kaisar dinasti _Ming_ yang diberikan kepada kerajaan _Pasai_ pada abad ke-15 melalui tangan laksamana Cheng Ho. Lonceng ini berupa mahkota besi berbentuk stupa yang dibuat pada tahun 1409 M, dengan tinggi 125 cm dan lebar 75 cm.

On the outside of this bell there is a Chinese carved engraving that reads "Sing Fang Intent of Tong Juut Kat Yat Tjo" which shows the time of making the bell (Sultan Sing Fa which has been cast in the 12th month of the fifth year). In addition, there are also Arabic script carvings on this bell, but can not be read again because of wear and crack by the time.

Di bagian luar lonceng ini terdapat ukiran yang berbentuk aksara China yang bertuliskan _"Sing Fang Niat Tong Juut Kat Yat Tjo"_ yang menunjukkan waktu pembuatan lonceng tersebut (Sultan Sing Fa yang telah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke-5). Selain itu, terdapat juga ukiran aksara Arab pada lonceng ini, namun tidak dapat dibaca lagi karena aus dan termakan usia.

image

image


Cakra Donya is the name of a ship belonging to Sultan Iskandar Muda used to carry out raids on the Portuguese colony in the Malacca region. Cakra means the axis of the wagon, the horizon or the sun, whereas Donya means the world. At first, this bell was given to the king of Pasai. But in the year 1524 AD, Pasai kingdom conquered by the kingdom of Aceh Darussalam, so this bell switch in the power of the kingdom of Aceh Darussalam and hung on the ship Cakra Donya.

Cakra Donya merupakan nama sebuah kapal milik Sultan Iskandar Muda yang digunakan untuk melakukan penyerbuan terhadap koloni Portugis di kawasan Malaka. _Cakra_ bermakna poros kereta, cakrawala atau matahari, sedangkan _Donya_ bermakna dunia. Pada awalnya, lonceng ini diberikan kepada sultan kerajaan Pasai. Namun pada tahun 1524 M, kerajaan Pasai ditaklukkan oleh kerajaan Aceh Darussalam, sehingga lonceng ini beralih dalam kekuasaan kerajaan Aceh Darussalam dan digantung di atas kapal Cakra Donya.

After returning from the battle, Lonceng Cakra Donya bells are hung on a tree near the Baiturrahman mosque within the royal palace area of ​​Aceh Darussalam to be sounded when the Sultan wants to gather the palace residents. But during the reign of Dutch Indies, this bell was moved to the Museum of Aceh built in 1915. The bell is placed in a dome. After the independence of Indonesia, Aceh Museum and all the relics of the kingdom of Aceh and Dutch Indies belong to the people of Aceh, including the Cakra Donya bell's.

Setelah kembali dari peperangan, Lonceng Cakra Donya digantung di sebuah pohon dekat masjid Baiturrahman dalam area istana kerajaan Aceh Darussalam untuk dibunyikan apabila Sultan ingin mengumpulkan para penghuni istana. Namun pada masa pemerintahan Hindia Belanda, lonceng ini dipindahkan ke Museum Aceh yang dibangun pada tahun 1915. Lonceng tersebut ditempatkan dalam sebuah kubah. Setelah Indonesia merdeka, Museum Aceh beserta seluruh peninggalan kerajaan Aceh dan Hindia Belanda menjadi milik rakyat Aceh, termasuk Lonceng Cakra Donya ini.

image

image


image

Salam Hangat - Komunitas Steemit Indonesia

image

image

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

sejarah yang menarik...

ulasan yang bagus bg @alvaro017. sangat menarik untuk dipelajari sejarah kerajaan aceh.