Jejak Aceh di Thailand (Bag. #3)steemCreated with Sketch.

in history •  7 years ago  (edited)

manuskrip4.jpg
JUJUR, saya merasa kurang puas mendengar cerita Ustaz Lutfee, pimpinan pondok Madrasah Ahmadiyah Ismaliah, tentang manuskrip kuno dari Aceh. Akhirnya, saya coba menelusuri beberapa naskah tua yang disimpan dalam almari kaca. Sejumlah naskah tampak sudah mulai usang. Di antara naskah-naskah itu ada dibalut dengan kain putih.

Saya perhatikan dengan saksama satu per satu naskah kuno tersebut. Beberapa kitab tertulis dalam aksara Jawi dengan ejaan Melayu lama. Namun, ada juga kitab-kitab yang saya tak kuasa membacanya, karena aksara “Arab-Jawi” yang belum dibubuhi baris dan mungkin saja bukan ejaan Melayu.

Di antara naskah-naskah kuno itu, terdapat kitab al-shirat al-mustaqim (shirathalmustaqim). Menurut sebagian ulama, ini adalah kitab fiqh berbahasa Melayu yang pertama sekali dikarang di Nusantara. Kitab ini merupakan hasil goresan tangan Nuruddin ar-Raniry, ulama asal India yang lama menetap di Aceh. Nama Ar-Raniriy sekarang ditabatkan sebagai nama salah satu perguruan tinggi negeri di Banda Aceh.

Selain shirath al-mustaqim, terdapat pula manuskrip tentang sejarah penulisan Alquran, yang juga karangan Nuruddin. Hal ini menunjukkan bahwa karangan Nuruddin sangat diminati oleh siswa-siswa di pondok pesantren ini.

Saya mulai berpikir tentang Hamzah Fansuri, rival Nuruddin pada masa lalu. Sebagaimana tercatat dalam fragmen sejarah Aceh, banyak kitab karangan Fansuri yang dibakar oleh kerajaan akibat hasutan Nuruddin.

“Selain kitab karangan Nuruddin ar-Raniry, apakah juga ada karangan Hamzah Fansuri, Ustaz?” tanya saja kepada Ustaz Lutfee.

manuskrip3.jpg

Lelaki itu menunjuk ke sebuah almari kaca ukuran sedang. Saya mendekati almari itu. Benar, di sana terpampang sebuah kitab karya Hamzah Fansuri, sastrawan Aceh yang menjadi ikon sastra tulis Melayu di Nusantara. Hal ini semakin menguatkan jejak Aceh di Selatan Thailand bukan sekadar dongeng, tetapi adalah sebuah fakta sejarah yang harus diketahui dunia.

Seperti saya jelaskan sebelumnya, kitab-kitab yang terdapat di sekolah ini sebagian besar dari Aceh. Namun, saya tidak mendapati satu kitab pun yang ditulis dalam bahasa Aceh. Sebagian besar kitab-kitab kuno di sini ditulis dalam bahasa Melayu akasara Jawi atau Jawoe. Beberapa tertulis dalam bahasa Arab dengan aksara yang belum dibubuhi baris.

Ejaan yang digunakan dalam kitab-kitab di sini masih ejaan lama. Terkait kertas dan alat tulis, kebanyakan kertas dari Eropa. Alat tulis yang digunakan untuk menulis Alquran dan manuskrip kuno, misalnya, masih memanfaatkan alam sekitar. Tintanya diambil dari campuran teras kayu leban, haram kayu, getah damar (tusam) dan getah terea, lalu dicampur sedikit dengan dawat India atau China. Adapun penanya diambil dari pohon kabung, buluh (bambu), bulu burung merak, dan lidi landak. Warna hiasan tintanya dari buah-buahan dan bunga-bunga, itu sebab beberapa isi dalam naskah kuno ini ada yang berwarna cerah.

Salam hangat,
Herman RN
Steemians Aceh, Indonesia, pernah tinggal di Selatan Thailand.

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

upvoted&followed :)

Oke. Thanks

Upvote;)

thanks

Izin rebloged

Silakan. Terima kasih

Keren...

Reken..

Luar biasa... lon han jeut2 neuk tuleh meunan...

Tinggal dimana waktu di Thailand?