Perang Belanda di Aceh merupakan perang terpanjang dalam sejarah kolonial Hindia Belanda. Dalam perang tersebut, Belanda paling tidak telah menghabiskan waktunya selama seperempat abab lamanya dalam perang melawan Aceh.
Selama masa itu, Belanda telah banyak mengalami kerugian, tidak kurang lebih dari 1. 280 serdadu militernya mati secara sia-sia di Aceh termasuk didalamnya perwira militer berpangkat tinggi, 5. 287 lainnya luka-luka. Serdadu-serdadu militer yang tertembak mati di Aceh kemudian dikuburkan di Kerkhoff. Jenderal Kohler, termasuk dalam barisan pertama yang ditanamkan di Aceh.
Selain kehilangan serdadu tangguhannya, sampai dengan tahun 1891, Belanda telah ikut pula kehilangan 200 Juta Florin untuk keperluan logistik selama perang di Aceh.
Kerugian yang dialami Belanda ini cukuplah beralasan, karena ambisi Belanda untuk menguasai Aceh.
Oleh karena itu, dapatlah dimegerti jika kemudian perang yang dilancarkan Hindia Belanda mendapat kecaman keras dari beberapa aktifis di Den Haag, karena negaranya mengalami kerugian ekonomi. Bahkan sebelum perang dimulai seorang Menteri Kolonial, J. C Baud (1839-1848) sudah mengigatkan pemerintahnya agar tidak lagi memperluas wilayahnya sampai ke Aceh karena khawatir tidak mampu diurus oleh sistem kolonialnya yang buruk dan korup.
Selain kritikan diatas, kecaman pedas lainya datang dari pedagang-pedagang Inggris yang tergabung dalam Straits Settlements. Pedagang-pedagang Inggris inipun sangat berkepentingan dengan arus perdagangan Asia Tenggara, karena dapat mendatangkan keuntungan perekonomian bagi mereka, terutama Selat Malaka.
Oleh karena itu, merekapun kemudian mendorong pemerintahannya di Asia Tenggara untuk menangkal seluruh ekspansi Belanda ke Aceh. Salah satunya adalah dengan menghidupkan kembali perjanjian Raffles, 1819 dan Traktat London, 1924.
Namun, upaya-upaya untuk menekan Belanda tetap saja tidak berhasil meskipun Gubernur Raffles turun tangan, karena masalahnya adalah pada tahun 1871, Belanda berhasil membawa Inggris ke meja runding untuk menekan Aceh.
Upaya Belanda untuk menguasai Aceh dikarenakan oleh ambisi Ratu Belanda untuk menguasai Sumatera secara keseluruhan, Belanda merasa terhina bila kemudian Aceh dibiarkan merdeka begitu saja tanpa diganggu gugat.
Wilayah Aceh seperti Deli, Serdang, Asahan, Langkat dan Batubara akhirnya mengakui kedudukan Belanda akibat adanya tekanan politik melalui Kesultanan Siak, bahkan jauh sebelum perjanjian itu ditandatangani. Belandapun semakin hari semakin menunjukkan sikap permusuhannya dengan menangkap kapal-kapal Aceh. Semisalnya pada tahun 1834 dan 1835, Belanda menangkap beberapa perahu Aceh di Pula Poncang, sebagian awak kapalnya ditahan dan sebagiannya lagi dibunuh. Penangkapan ini sebagai balasan atas serangan pasukan Aceh yang membakar Benteng Belanda di Pulau Poncang, Tapanuli.
Karenanya, pada tahun 1840, Belanda mengirimkan A.V Mischiels untuk mengusir pasukan Aceh di Barus, Tamiang dan Singkil. Tidak hanya disitu, upaya Belanda untuk menekan Aceh terus dilakukan, sampai dengan tahun 1872, daerah-daerah yang ditekan Belanda sampai ke Hulu Tamiang, Aceh Timur, Aceh Barat dan Pulau Nias, keadaan ini tentunya sangat merugikan kerajaan Aceh secara politik dan ekonomi. Belanda memang segaja melakukan ini untuk mengertak pasukan Aceh disamping menekan gerak laju kekuatan kolonial lainya, terutama Inggris. Disini Belanda pertama tama menunjukkan kekuatannya.
Kampaye militer Belanda ini telah memperuncing keadaan menjadi darurat. Aceh kemudian membalas tindakan ini dengan menghancurkan kapal-kapal Belanda yang masuk dalam wilayah teritorialnya. Tindakan tangkap-menangkap inipun dilakukan kedua belah pihak karena kedua-duanya saling menunjukkan sikap permusuhan.
Melihat keadaan seperti ini, kesultanan Aceh akhirnya menjajaki hubungan sederajat dengan Konsulat Amerika, dan Italia yang ada di Singapura, termasuk meminta bantuan Kesultanan Turki Usmaniyah. pengiriman utusan ini sebagai kelanjutan diplomasi Kesulatanan Aceh untuk mempertegas hubungannya dengan Inggris yang telah mengijinkan Belanda untuk menguasai Aceh melalui perjanjian barunya itu, Traktat Sumatera, 1871. Perjanjian tersebut telah mengabaikan perjanjian sebelumnya, Traktat London, 1824, dimana kedaulatan Aceh diakui Inggris dan Belanda.
Namun dalam kenyataannya, perjanjian tersebut dikhianati sendiri oleh Inggris di London dalam paruh usia lima puluh tahun kemudian karena kedua-dua negara kolonial tersebut sama-sama sedang mencari keuntungan di Aceh.
Hubungan sederajarat yang dibagunkan Aceh ini akhirnya diketahui Belanda melalui konsulatnya di Singapura. Belanda cukup khawatir jika kemudian Amerika bersama-sama dengan Italia ikut memainkan peranannya di Aceh. Bocornya hubungan ini akhirnya dijadikan alasan oleh Belanda untuk mengultimatum Aceh pada Maret 1873.
Untuk mengenang ambisi politik ini, penting rasanya bagi generasi Aceh satu abad lebih untuk menetapkan tanggal ini sebagai tanggal kebesaran sejarah orang Aceh dalam mempertahankan identitasnya.
Luar biasa sejarawan muda, Sukses
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit