Semangat melahirkan partai Islam di Indonesia terwujud, setelah Partai Masyumi lahir dalam sebuah kongres besar di Madrasah Mu’alimin, Yogyakarta, pada Desember 1945, empat bulan usai merdeka dari jajahan asing. Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Kongres tersebut merupakan hasil karya sejumlah pemimpin umat Islam di seluruh tanah air. Hal ini searah dengan tujuan mewujudkan cita-cita Islam sejak era perjuangan melawan penjajahan kolonial Hindia Belanda.
Secara idiologi dan struktural, Partsi Masyumi sangat konsisten dalam memperjuangkan Islam sebangai dasar-dasar negara. Sebangaimana termaktub dalam piagam Jakarta. Sejarah mencatat, bahwa Masyumi satu-satunya partai politik yang tidak pernah diragukan kejujurannya dalam membela dan mempertahankan prinsip-prinsip Islam. Dalam Anggaran Dasar (AD) Partai Masyumi disebutkan bahwa tujuan partai itu adalah untuk melaksanakan ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang perorangan, masyarakat, dan Negara Republik Indonesia.
Secara struktural, pendukung utama Partai Masyumi adalah Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU). Keduanya memiliki basis massa pendukung hingga ke masyarakat akar rumput perdesaan. Jadi bisa dikalkulasikan, bahwa Partai Masyumi sangat solid. Alasannya karena dilandasi oleh sebuah ideologi yang sudah mengakar di kalangan masyarakat.
Kehadiran Masyumi dalam dunia politik tanah air merupakan tindak lanjut dari perjuangan menegakkan sila-sila Islam dalam bingkai negara Indonesia yang merdeka. Oleh karenanya, Partai Masyumi tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menjadi partai besar dengan basis dukungan yang banyak.
Apalagi, ulama dan pemimpin politik dari kalangan NU, Muhammaddiyah dan organisasi-organisasi Islam lokal lainnya menyatakan bergabung dalam partai itu. Kemudian juga diikuti oleh PSI dan Perti, yang bersifat lokal di Sumatera. Dengan dukungan dari banyak kalangan, Partai Masyumi dianggap lawan berat dalam parlementer oleh partai lain. Misalnya, PNI, PKI dan lainnya yang mengusung Pancasila sebagai ideologi negara.
Nah, pertanyaan, bagaimanakah sikap politik Presiden Soekarno saat itu terhadap Partai Masyumi?
Watak politik Soekarno berubah-ubah sesuai kepentingan politiknya, dia tidak menunjukkan sikap anti-modernisasi dalam masa-masa perjuangan kemerdekaan. Sebangai pemimpin partai nasionalis kala itu, Soekarno malah melancarkan gerakan- gerakan kemerdekaan melalui kota-kota besar dengan menggalang kekuatan dari tokoh- tokoh Islam modernisasi. Belakangan, tokoh-tokoh seperti Muhammad Natsir, Hamengkubowono IX, A. Wahid Hasyim, Abikusno Tjokrosujono, Soekiman Wirjo Sendjojo, Wali Al Fatah, Sri Paku Alam VIII, Gaffar Ismail, terlibat aktif dalam Partai Masyumi.
Akan tetapi, setelah masa dekrit presiden diberlakukan pada 5 Juli 1959, bagi Soekarno sendiri, Masyumi sebagai partai politik Islam modernisasi “berkepala batu”. Sehingga sulit diatur karena merintangi penyelesaian revolusi Indonesia. Manifesto politik berpikir Soekarno adalah “revolusi belum selesai”. Maka siapapun yang kemudian dianggap sebagai lawan akan dikubur secara hidup- hidup. Di sini yang menjadi lawan utama Soekarno adalah tokoh- tokoh Masyumi. Termasuk Muhammad Natsir yang menolak pemberlakuan dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945 menggantikan UUDS 1950 serta pembubaran Dewan Konstituante hasil pemilihan umum tahun 1955 dengan membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, yang diwakili oleh orang- orang pilihan Soekarno. Dan membentuk lembaga MPRS dan DPAS yang diangkat, dipilih dan diketuai oleh Soekarno sendiri.
Bahkan lebih jauhnya lagi, Soekarno dengan segala kekuasaan membentuk Dewan Front Nasional yang bertujuan untuk menggalang kekuatan rakyat dalam menuntaskan revolusi. Kelak, Dewan Front Nasional menjadi tempat tumbuhnya benih-benih PKI.
Untuk itu, dalam melihat kenyataan ini, sikap politik Masyumi adalah memilih jalan martir. Hal ini dianggap lebih mulia ketimbang mengikuti arus politik demokrasi terpimpin. Luarnya demokrasi, tapi di dalamnya tipis dengan demokrasi.
Tampaknya Masyumi lebih memilih sikap untuk tidak tergoda dengan kekuasaan- kekuasaan politik ala-Soekarno. Baginya, kejelasan sikap politik dan konsistensi lebih penting dalam menolak pengaruh komunis di Indonesia. Oleh karenanya, keputusan- keputusan politik penting yang diambil oleh partai Islam Masyumi didorong oleh rasa idealisme keagamaan yang begitu kuat dan dalam, sesuai dengan sunnah rasul dan Alquran. Meskipun realita politik kala itu sedang menempuh jalan lain.
Idealisme politik yang tinggi inilah, akhirnya Masyumi dihadapkan pada batu karang sejarah yang sulit ditembus. Sehingga Masyumi bak karam di tengah lautan. Hingga akhirnya Soekarno membubarkan partai Islam itu.
Berbeda dengan NU, sebangai partai empat besar dalam pemilu 1955, mereka lebih bersikap lunak dan lentur dalam menghadapi realita politik yang sedang bergulir kala itu. NU dinilai lebih bersikap sabar ketimbang Masyumi yang memilih jalan martir. Kesabaran NU barangkali lebih disebabkan oleh sikapnya yang cenderung untuk mencari posisi aman, karena mengingat usia partainya yang relatif masih muda.
NU membentuk partainya sendiri dan menarik diri dari Partai Masyumi dalam kongresnya di Palembang pada tahun 1952. Bahkan Kedekatan NU dengan Partai Komunis Indonesia semakin hari semakin terasa. Meskipun secara ideologi, kedua partai politik ini berbeda, layaknya siang dan malam.
Untuk itu, pelajaran yang dapat dipetik adalah partai sebesar Masyumi pun bisa karam di tengah lautan disebabkan oleh adanya ikut campur tangan pemerintah secara otoriter kala itu. Jika dilihat hari ini, bagaimana perkembangan partai lokal di Aceh yang masih konsisten dengan perjuangan butir-butir MoU Helsinki jika ada campur tangan pemerintah? Seyogyanya, partai-partai kecil dan partai lokal tersebut segera melakukan tranformasi politik dengan caranya masing-masing. Semoga!
Sumber: Ahmad Syafii Maarif, di kutip dari Buku Islam dan Politik.