Saya dan seorang kawan berpose di depan Museum Bronbeek, Belanda [foto: koleksi pribadi]
Tahun 2009, saya menerbitkan buku Aceh Pungo. Meskipun berjudul Aceh Pungo, buku ini sama sekali tidak berisi penjelasan tentang aceh pungo secara spesifik atau sebab-sebab istilah tersebut muncul dan menjadi akrab dalam kehidupan sehari-hari orang Aceh. Satu-satunya penjelasan tentang Aceh Pungo hanya terdapat dalam kata pengantar penerbit. Selebihnya hanya tulisan mengenai tingkah-polah orang Aceh.
Bagi yang belum membaca buku Aceh Pungo, saya ingin sampaikan bahwa buku ini berisi kumpulan tulisan saya yang pernah saya tulis di Harian Aceh dan Tabloid SUWA, tabloid yang saya kelola sebagai media pemenangan Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar dalam Pilkada tahun 2006. Aceh Pungo adalah gabungan dari dua judul tulisan yang ada di dalamnya. Jadi, pemberian judul Aceh Pungo lebih dimaksudkan sebagai trik marketing semata [dalam hal ini boleh dibilang saya berhasil].
Lalu, mengapa saya kembali membahas masalah ini? Begini, beberapa waktu lalu, saya menerima pesan di Instagram, yang isinya membuat saya geli. Si pengirim menuding buku Aceh yang gila melainkan saya, dan dia mengatai orang tua saya dengan sebutan hewan yang dalam agama kita haram untuk dimakan [tahu kan nama hewan itu?]. Saya memilih tidak merespons pesan tersebut, dan mendiamkan saja sebagai arsip di kotak pesan.
Pesan dengan nada seperti itu bukan sekali dua kali saya terima sejak tahun 2009, saat buku Aceh Pungo terbit. Saya sudah terbiasa dengan cacian, makian dan hinaan. Umumnya makian dan cacian itu datang dari orang yang tidak pernah membaca buku tersebut, atau tulisan-tulisan saya lainnya. Mereka hanya membaca judul di cover buku dan kemudian merasa sudah tahu isinya dan kemudian mencaci maki saya sejadi-jadinya. Untuk mereka-mereka itu, saya sama sekali tidak berutang penjelasan [termasuk penjelasan yang saya tulis ini]
Sekadar diketahui, lakab Aceh Pungo atau dalam bahasa Belanda disebut Aceh Moorden, itu tidak dimaksudkan sebagai sebutan untuk merendahkan. Malah, sebutan Aceh Pungo adalah bentuk kekaguman dan penghormatan untuk para pejuang Aceh. Soalnya, keberanian yang dipertontonkan oleh para pejuang Aceh tidak pernah mereka temukan dari tempat lain. Keberanian orang Aceh tidak ada bandingannya dalam memori mereka. Bahkan, model keberanian orang Aceh tidak mereka temukan istilahnya dalam bahasa mereka.
Belanda pernah berperang dengan Spanyol, digasak oleh Nazi Jerman atau mendapatkan perlawanan dari penduduk di nusantara. Tapi orang Belanda tidak pernah memberi lakab untuk mereka Spanyol Moorden, Nazi Moorden atau Jawa Moorden. Kenapa? Keberanian mereka masih di bawah standar dan biasa-biasa saja. Orang Aceh berbeda. Setelah pembunuhan perwira-perwira Belanda oleh pejuang Aceh, termasuk cara orang Aceh berperang atau menyerang patroli Belanda, istilah Aceh Moorden ini pun muncul.
Ketika saya berkunjung ke Museum Bronbeek di kota Arhem, Belanda, saya mendapatkan penjelasan bagaimana orang Belanda memandang Aceh. Hal ini sudah pernah saya tulis dalam tulisan saya 26 Maret dan Cerita Perang Aceh dari Museum Bronbeek yang dimuat di acehkini.id:
Salah seorang veteran menemani kami melihat-lihat benda bersejarah di dalam museum. Ia mengaku bernama Koller. Meski rambutnya dipenuhi uban, dia tampak masih cukup energik di usia yang sudah senja. Koller begitu bersemangat menceritakan pengalamannya di masa lalu. Ia bahkan sempat membuat kami kaget dengan komentarnya, “orang Aceh gemar sekali berperang, ya?” Kalimat itu ia sampaikan saat kami memeriksa beberapa meriam.
“Ini oleh-oleh dari berperang melawan orang Aceh,” katanya. Lalu, dia pun tertawa. Tak lupa, ia pun memuji keberanian dan semangat juang orang Aceh. Hanya saja, dia tidak mampu memahami taktik berperang orang Aceh. Ini, misalnya, ia saksikan dari aksi nekat orang Aceh menyerang kawanan patroli tentara Belanda. Katanya, orang Aceh sering beraksi sendiri-sendiri, bersembunyi di semak-semak. “Ketika tentara Belanda lewat, mereka melompat dan mengayunkan pedangnya sembari berseru Allahu Akbar, Lailahaillah!” (selengkapnya baca di 26 Maret dan Cerita Perang Aceh dari Museum Bronbeek)
Ya, cara berperang orang Aceh membuat serdadu Belanda heran, dan mereka tidak pernah melihat orang yang tergila-gila perang seperti orang Aceh. Inilah mungkin alasannya mengapa orang Aceh disebut pungo oleh Belanda. []
Inong agam sama saja... Sendiri bisa bersama pun boleh juga, tapi belakangan... Orang Aceh sendiri pun banyak yang tak Tahu "kegilaan" seperti apa yang Kita punya di jaman perang.
Na chit awak ilhap lagee nyan Yaa? Baca han tanyoung tan...ka Jak ternak ureung chik gob, bit bit gila sang 😂
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Ini sempat saya abadikan, yang lain sudah terhapus :)
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Hahahaha..brat ilhap
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Orang jaman sekarang, kadang lebih senang membaca judulnya saja tanpa mau tahu isi tulisan di dalamnya, udah itu langsung mengambil kesimpulan dan langsung memberikan komentar...
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Iya, banyak yang begitu. Padahal ada pepatah yang mengatakan "don't judge a book by its cover". Entah begitu tulisannya.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Kembalinya Rakan Taufik Almubarak @acehpungo. Salam sambut pak @radjasalman
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit