Perempuan: Beban Mental Setelah Bercerai

in hive-103393 •  4 years ago 

rose-165819_1920.jpg

pembatas postingan.png

Ada yang hilang dalam narasi kita sehari-hari ketika membahas zona waktu yang termanifestasi dalam umur dan mempengaruhi cara berpikir kita terhadap pembangunan masa depan. Kita dominan mempersiapkan generasi muda untuk masa depan, tetapi mengalienasi orang tua. Apapun rencana kita, kebijakan yang kita ambil, lebih besar perhatiannya pada persiapan akan masa depan, dengan tidak memperhatikan orang yang sudah berada pada "masa depan" itu sendiri.

Saya memusatkan perhatian dalam tulisan ini kepada perempuan-perempuan yang ditinggalkan suami, dengan sebab meninggal atau cerai hidup. Tentunya ada banyak hal yang terjadi yang mengakibatkan terjadi perceraian, tapi saya tidak akan fokus pada hal tersebut. Saya akan coba menulis apa saja yang pernah saya ketahui dari cerita-cerita teman dan perempuan yang mengalami, semoga bisa menjadi refleksi bagi lelaki, terutama pengambil kebijakan atau bahkan masyarakat umum yang hidup berdampingan dengan perempuan-perempuan yang saya sebutkan tadi.

Tidak mudah melupakan perceraian. Dari cerita N (inisial), suaminya bukanlah orang yang dinikahinya karena cinta, tetapi karena lelaki tersebut tertarik kepadanya dan melamarnya. Saat itu N masih bersekolah di Sekolah Menengah Atas. Usia dimana seorang remaja (perempuan) sedang bahagianya belajar sesuatu hal yang baru. Setelah tamat dari SMA, N secara resmi menikah dengan lelaki yang menyukainya itu. N kemudian melanjutkan pendidikan ke universitas di kotanya. Itu pun bukan karena dukungan secara moril dari suaminya tersebut. Itu karena ambisi N untuk meneruskan pendidikannya karena ia cinta belajar. Walaupun suaminya tetap memberi dukungan secara materi, tetapi itu tidak cukup bagi seorang perempuan, apalagi saat itu N juga sedang hamil.

Disini saya ingin mengajak kita untuk berefleksi, terutama bagi laki-laki. Bagaimana kita akan memperlakukan N, jika kita berada pada posisi suaminya? Perempuan juga punya hak untuk memperoleh pendidikan, dan tidak akan hilang hak tersebut hanya dengan menikah. Terkait mengasuh anak, suami dan istri bisa membagai peran untuk itu.
Sebagaimana suami bisa dengan mudah pergi kemana-mana, seharusnya istri juga punya kesempatan untuk itu. Oh, itu berbentur dengan ajaran agama Islam? Suami wajib mendampingi kepergian istrinya. Tidak berarti dengan demikian dia tidak bisa kemana-mana (dalam hal ini saya ingin khususkan memperoleh pendidikan dan rekreasi).

Karena suatu hal (terkait salah paham; Suami N menuduh N berselingkuh, dalih agar dia bisa menikah lagi) akhirnya N bercerai dengan suaminya. Beban N bertambah. Kita tidak akan membicarakan beban fisik karena dia harus membesarkan dan mendidik anaknya sendiri. N harus berdamai dengan beban mental yang akan dia alami. Tidak mudah mengubah aktifitas yang sudah terjadi bertahun-tahun. Maksudnya, aktifitas N tentu saja melibatkan suaminya (dalam konteks kehidupan dan pola berpikirnya), nyaman atau tidak ia sudah terbiasa dengan hal itu. Begitu ia cerai, kehidupannya tentu saja harus ikut berubah, dan itu menyisakan beban atau boleh dibilang trauma mendalam. Belum lagi beban-beban lain yang harus dia tanggung.

Dari sana, apakah kita mempelajari suatu hal? atau lebih tepatnya memposisikan diri sebagai suami N, dan mempertimbangkan keputusan kita secara matang untuk menceraikan wanita? Dengan alasan apapun, cerai mengakibatkan kerugian besar, bagi istri dan anak-anak. Sekalipun agama membolehkan, tetapi itu dilarang Rasulullah. Beliau menceritakan bahwa setiap ada orang bercerai di dalam dunia, itu terjadi goncangan di 'arasy sehingga malaikat bertanya-tanya.

Narasi ini seharusnya menjadi pertimbangan dalam keseharian kita, bagaimana pola kehidupan kita seharusnya lebih ramah terhadap perempuan dan kesempatan mereka untuk "mengangkat-bicara" (saya terjemahkan secara bebas dari speak up. Mereka bisa mandiri dan berani mengeluarkan pendapat terhadap apa yang mereka inginkan. Disini saya tidak memposisikan diri sebagai orang yang ingin mengangkat/membantu mereka (sehingga timbul bias mereka orang yang lemah), tetapi lebih kepada refleksi terhadap lelaki pada keputusan yang mereka ambil, apalagi pada posisi sebagai pengambil kebijakan.

story - Copy.jpg

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Luar biasa! Saya sangat terkesan dengan narasi anda @akbarrafs. Sukses sdlalu buat anda...

Terima kasih @firyfaiz, ini bagian dari kontemplasi saya sehari-hari hehe