Hallo Steemian...
Tanpa terasa hari Sabtu kembali menyapa, seperti biasa aktivitas pagi saya tetap dengan menyiapkan anak-anak untuk berangkat ke sekolah sampai di akhir cerita pagi saya pun berangkat ke sekolah untuk berganti peran menjadi ibu bagi siswa-siswi di madrasah tempat saya mengamalkan ilmu yang saya punya.
Di tempat saya, hari Sabtu menjadi hari yang ditunggu oleh sebagian para penjual baik penjual baju, mainan, buah, makanan, kelontong dan sebagainya. Penjual ini tentunya menjual barang-barang yang terjangkau oleh kalangan menengah kebawah. Hari pekan yang ditetapkan di hari Sabtu ini akan menjadi sangat ramai di pagi hingga siang hari dengan tingkat kemacetan yang cukup menguras kesabaran pengguna jalan. Namun demikian, hari Sabtu menjadi hari bahagia bagi orang-orang di desa seperti kami karena tidak harus ke kota untuk berbelanja berbagai macam jenis barang.
Sebagian penjual di Pekan Sabtu
Begitu banyak tawaran barang dan makanan yang dijajakan di hari Sabtu ini. Namun yang menjadi fokus saya adalah, penjual yang sebagian besar adalah ibu-ibu. Terutama penjaja makanan dan bahan-bahan dapur. Mereka mulai menyiapkan dagangan mulai dari pagi. Hingga matahari yang masih setia dengan sengatannya, para ibu-ibu perkasa ini pun masih setia dengan dagangannya. Tiap ada pembeli yang datang, setiap itu pula senyum terbit dari bibir mereka. Rasa puas sekaligus syukur karena dagangan mereka terjual.
Penjual Mie Caluk
Ibu Pedagang di Pekan Sabtu
Perasaan haru bercampur bangga saya rasakan saat melihat banyaknya ibu-ibu yang tanpa lelah apalagi malu menjajakan dagangan mereka. Sungguh luar biasa wanita-wanita perkasa yang bekerja demi keluarga, itulah pandangan saya terhadap para ibu-ibu pedagang itu.
Hujan yang turun menyapa bumi membuat saya terbangun dari istirahat siang, saya lihat jam sudah menunjukkan pukul 16.02, sudah sore ternyata. Saya bangun dan langsung ke luar rumah membeli cemilan sore yang cocok dinikmati saat hujan seperti ini. Saat di luar, lagi-lagi saya dibuat takjub dengan pemandangan ibu dan anaknya yang sedang membereskan dagangan mereka dalam keadaan hujan-hujanan. Pemandangan ini sungguh menampar diri saya yang selama ini masih mengeluh dengan kondisi saya.
Membereskan barang dagangan
Saya yang bekerja dalam ruangan yang tidak perlu hujan-hujanan dan tidak perlu takut panas-panasan masih saja kurang bersyukur. Sementara mereka, yang bekerja dalam hujan bahkan panas dengan penghasilan yang selalu disyukuri walau hanya cukup hari ini tidak pernah mengeluh dan selalu tersenyum. Sungguh malu rasanya diri saya ini.
Akhirnya, jam pun sudah menunjukkan pukul 16.55, saya mengajak anak-anak untuk jalan sore ke kota Lhokseumawe walau hanya berkeliling saja. Tiba di jembatan Cunda, saya berhenti di salah satu penjual buah Jomblang yang lagi-lagi adalah seorang anak perempuan. Saya melihat senyum dari wajahnya kala mobil saya parkir di depan gerobaknya. Saya memesan buah Jomblang lima ribu rupiah, dengan semangat dia pun menyiapkan pesanan saya. Saat saya menyerahkan uang dia berucap alhamdulilah. Ya Allah, sungguh luar biasa makhluk Engkau yang ini, walau hanya lima ribu rupiah dia tetap bersyukur.
Gadis Penjual Buah Jomblang
Kejadian ini menjadi pelajaran buat saya dan anak saya. Pembelajaran secara langsung yang dapat kita ajarkan kepada anak kita tentang rasa syukur apapun keadaan kita. Dalam hati saya berdoa, Ya Allah limpahkan rejeki secukupnya dengan berkah kepada seluruh wanita-wanita perkasa di dunia yang bekerja demi keluarga.
Saya pun tiba di rumah waktu Maghrib. Saya langsung bergegas melaksanakan shalat Maghrib bersama anak-anak dan melanjutkan mengaji bersama. Pelajaran yang saya dapat hari ini sungguh sangat berharga. Rasa penasaran dengan penjual mie caluk tadi siang membuat saya berkeinginan untuk berkunjung ke rumahnya. Saya pun akhirnya bertamu ke rumah Wak Milah si ibu penjual mie di pekan sabtu.
Saat tiba di rumahnya, saya langsung disuguhkan dengan kondisi ibu dan anaknya yang ternyata masih juga bekerja menyiapkan barang dan bahan untuk dijual kembali esok hari. Mereka dengan semangatnya memotong sayuran yang menjadi bahan makanan esok hari.
Bekerja Tanpa Kenal Waktu
Saya sedikit berbincang dengan ibu ini tentang kondisinya. Beliau berkata bahwa uang yang didapat hari ini untuk makan esok hari, esok hari mereka harus bekerja lagi untuk makan esoknya lagi, begitu setiap hari. Terkadang uang modal pun habis terpakai untuk makan, kadang mereka harus berhutang Rp.100.000 untuk modal jualan. Harapan dari si ibu adanya bantuan modal usaha berapapun jumlahnya. Saya hanya mampu berucap sabar kepada si ibu. Akhirnya saya pun mohon izin untuk pulang karena sudah pukul 21.25. Di pertengahan jalan saya singgah di tempat penjual buah jeruk yang juga seorang wanita. Dengan beralaskan terpal dia menaruh buah jeruk untuk dijajakan di pinggir jalan.
Penjual Jeruk di Pinggiran Jalan Keude Blang Ara
Sampai di rumah saya langsung beristirahat karena badan saya yang sudah terasa lelah. Saya berfikir bahwa inikah yang disebut dengan zaman emansipasi wanita dimana wanita tidak hanya dibebaskan untuk bersuara tapi juga dituntut untuk bekerja. Tetap semangat wahai ibu-ibu pekerja. Keringat yang menjadi saksi bahwa akan ada senyuman di akhir cerita para pejuang wanita-wanita yang perkasa.
Demikian cerita saya hari ini. Semoga dapat bermanfaat bagi semua. Terima kasih untuk semua teman-teman yang sudah mendukung dan menyemangati saya dalam menulis.
Congratulations ! You Got Upvote by Youth Club Community.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
This post has been rewarded by @steemcurator08 with support from the Steem Community Curation Project.
Follow @steemitblog to get info about Steemit and the contest.
Anroja
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit