“Peace does not mean an absence of conflict; it is the ability to handle conflict by peaceful means.” - R. Reagan
Diriku lima tahun silam mungkin tak akan menyadari apa-apa yang akan termakbul padanya hari ini, termasuk sesiapa saja yang ia temui di masa mendatang.
Bertenggong di bangku kelas 11. Meraba-raba seting dunia dengan mata yang dipenuhi kritisisme —yang sayangnya—belum dicekoki asam garam.
Dalam kurun tersebut, diskusi tentang isu-isu kesetaraan gender dan perdamaian hanya menjadi latar samar yang muncul di berita atau buku yang kubaca. Tidak lebih dari catatan pinggir di buku teks yang tak sepenuhnya kupahami.
Tidak pernah kubayangkan bahwa kelak, aku akan menatap langsung wajah-wajah perempuan yang mencuplik diksi “feminisme” sebagai sebuah gerakan nyata. Lebih-lebih lagi memandankan pikiran dengan mereka.
Tidak ada yang lebih menggairahkan daripada menyaksikan diriku sendiri berbincang dengan orang-orang yang dulunya hanya hidup dalam artikel-artikel opini yang sering kusalin-tempel di PowerPoint.
Namun, Tuhan, dengan segala teka-teki-Nya, menuntunku ke perjumpaan yang tidak pernah kusangka. 6 Desember 2024 menjadi hari ketika takdir mengait benang-benang kehidupanku dengan milik dua nama besar.
Suraiya Kamaruzzaman dan Riswati. Dua nama yang kerap dinaungkan di kancah isu kesetaraan gender dan advokasi perempuan di Aceh. Mereka bukan sekadar nama hebat yang terpatri di Curriculum Vitae (CV) nan panjang penuh prestasi. Kedua sosok ini telah mengguncang status quo dengan keberanian, intelektualitas, dan kebijaksanaan yang mereka punya.
Suraiya Kamaruzzaman sendiri adalah personifikasi dari keperkasaan perempuan Aceh. Sebagai pendiri Flower Aceh, organisasi yang fokus pada pemberdayaan perempuan sejak 1989, ia telah membawa diskursus kesetaraan gender ke panggung internasional.
Namanya tertatah sebagai pemenang N-Peace Award 2012, penghargaan dari UNDP yang mendaulatnya sebagai role model perdamaian di Asia Pasifik. Tidak berlebihan jika aku menyebutnya sebagai Florence Nightingale dari Aceh.
Sementara itu, Riswati, atau kerap disapa Bu Riris, adalah seorang aktivis dengan spesialisasi kajian perempuan dan gender. Ia memiliki khitah yang lebih strategis dalam memetakan isu gender di Aceh. Sebagai Direktur Eksekutif Flower Aceh, Bu Riris telah memandu pelbagai program pemberdayaan perempuan guna menjadi agen perubahan di tingkat akar rumput.
Salah satu kontribusinya yang paling menonjol yaitu melalui penelitian partisipatoris. Salah satunya Feminist Participatory Action Research (FPAR). Sebuah penelitian yang—entah, aku pun tidak terlalu menyelami—tujuannya memberdayakan perempuan untuk lebih dekat, lebih kenal dengan perannya dalam membangun masyarakat yang resilien.
Jika Bu Suraiya adalah bunga krisan liar yang mekar dengan keteguhan, maka Bu Riswati adalah akar yang menopangnya dalam kekukuhan. Momen berdialog dengan keduanya di atas arena Taman Sari serasa seperti menonton dua maestro bermain simfoni di panggung yang sama.
Sebagai moderator diskusi, aku tahu bahwa menjalin hubungan dengan narasumber sebelum acara adalah hal krusial. Ritus sederhana seperti ini kupercayai semacam seni mencairkan suasana. Suasana yang menentukan keberhasilan di atas panggung. Dengan langkah penuh kehati-hatian, aku mendekati Bu Riswati dan Bu Suraiya.
But Riswati menyambut dengan senyum hangat yang bikinku merasa seperti berbicara dengan seorang kakak. Sementara Bu Suraiya terlihat sebagai sosok kalem nan bersahaja. Mengejawantahkan kesan seorang guru yang mengajari muridnya tentang makna hidup.
Dalam hitungan menit, sebelum naik ke panggung, kami melakukan “briefing” tentang apa-apa saja yang akan didiskusikan nantinya. Yang jelas mengenai peran perempuan Aceh dalam menjaga resiliensi pasca perdamaian. Sesuai dengan tema acara.
Aku tidak memvalidasi apapun untuk terlihat istimewa di depan kedua sosok ini. Sebaliknya, aku hanya menjadi diriku sendiri. Kejujuran itu justru menjadi jembatan yang menghubungkan kami dalam percakapan yang hangat, entah itu di bawah atau di atas panggung.
Diskusi berlanjut dengan pembahasan intim, tentang bagaimana perempuan Aceh juga menjadi pemrakarsa dalam menjaga perdamaian, terutama pasca-MoU Helsinki pada 2005. Bu Suraiya menjelaskan bahwa perempuan tidak hanya menjadi korban dengan penuh kerentanan di dalam konflik, tetapi juga agen organik pembawa perubahan nyata.
Bu Riswati menambuh dimensi yang lebih teknis dengan membahas pentingnya rekognisi kesetaraan gender di tingkat masyarakat. Menurutnya, perdamaian tidak akan bertahan tanpa adanya kesetaraan gender yang menghormati hak-hak perempuan.
“Merekalah penjaga nilai-nilai perdamaian di setiap rumah tangga,” begitu kiranya ujar Bu Riris.
Diskusi yang digelar hari itu mengalir sebagaimana yang kubayangkan. Tentu, aku tidak punya petunjuk atas apa yang akan terjadi lima tahun dari sekarang.
Jika saja ada hal yang kupelajari sebagai moderator diskusi publik kemarin, itu adalah pentingnya membuka diri terhadap kemungkinan-kemungkinan baru, kalau-kalau suatu hari nanti aku akan menjadi salah satu tokoh yang muncul dalam cerita orang lain.
Kak aya dan riris itu punya satu gaya yang sama, kalau soal hak dan perempuan, mata mereka jadi menyala terang. Kalau moderatornya perempuan juga, mereka akan sangat bersedia membimbing.
Kamu harus lebih banyak bertemu orang2 baik dan ahli. Kebanyakan mereka berkumpul di Banda Aceh dan Unsyiah. Jadi kangen boncengin kak aya pulang kampung 🤭
Kalau kamu ketemu Raihal Fajri, Tasmiati Emsa, Nursiti, Khairani, Asiah, Leila Juari, Azriana Manalu, Samsidar, Norma Manalu, atau Raihan Lubis, Nani, Cut Farah Meutia, atau paling kecil Azharul Husna, Rubama Nusa, Farwiza Hamid... Berarti kamu akan berada di garis depan dalam 5 tahun.
Kamu tidak ditakdirkan berenang dalam kolam kecil
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Bu Cici, sudah beberapa kali kita berbalas komentar dan saya melihat interaksi ini seumpama angin sepoi-sepoi di siang panas. Bu Aya dan Bu Riris mungkin kalau membaca ini akan tersenyum puas. Mereka semangat sekali ketika berhadapan dengan kami yang muda-muda ini.
Bu Riris menawarkan kami untuk magang di Flower. Kalau benar saya bisa magang di sana, mungkin saja akan jadi gerbang untuk memperluas jaringan. Bertemu nama-nama besar yang Ibu sebutkan dan belajar dari mereka.
Saya bersyukur, hari demi hari selalu ada orang yang muncul dan membuka cakrawala berpikir saya. Termasuk Bu Aya dan Riris, dan orang-orang hebat lain yang Ibu sebut itu.
Kalau benar dalam 5 tahun saya bisa berada di garis depan seperti prediksi Ibu, saya harus rajin-rajin berlatih lari dari sekarang, biar gak ngos-ngosan mengejar cahaya mereka.
Mungkin sekarang saya masih liliput di tengah raksasa. Semoga liliput ini bisa belajar memanjat bahu raksasa, melihat lebih jauh, dan ikut menyalakan obor bersama mereka.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
tidak, kamu tidak perlu latihan sampai ngos-ngosan untuk mengejar cahaya orang lain, karena setiap orang membawa cahayanya sendiri dan mereka bisa belajar dari jejak cahaya sebelumnya tanpa harus melebur menjadi warna cahaya yang sama. Ambil lah kesempatan magang bila bisa, jangan batasi diri. masuk dulu, lalu lihat apakah itu sesuai dengan yang kamu cari.
bila belum, maka masih ada banyak tempat lain yang bisa mereka rekomendasikan. jangan berpikir untuk riding other's coattails. Kamu unik, kamu cerdas dan kesempatan yang hadir di depanmu lebih terbuka dibandingkan dengan orang lain, mungkin. Kalau masih berteman baik dengan Ados, maka Ados punya jaringan lain yang juga asyik untuk dibersamai.
semangat boleh, jaga kesehatan wajib!!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Sepertinya kesempatan magang harus mulai dijajaki secara serius mulai sekarang, bu. Di awal semester kemarin, saya sudah lolos magang MSIB di salah satu lembaga amil zakat di Surabaya. Namun sengaja tidak saya ambil karena beberapa alasan:
(1) lokasinya terlalu jauh dan dalam kondisi sakit seperti saat ini, sangat riskan untuk ke sby sendiri
(2) saya memang tidak minat saja dengan lembaga tersebut 😆
Pak Ados kerap kali membanggakan saya di depan orang-orang seperti Bu Aya dan Riris. Dia bilang, “ini anaknya kak Cicik.” Hal tersebut selalu ia ulang-ulang. Dengan rasa bangga.
Pun, beliau (Pak Ados) menjadi dosen pengampu matkul Seminar Penyusunan Usulan Penelitian (SPUP). Beliau juga sempat jadi penguji seminar proposal saya kemarin.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
apalagi kerjaan si Ados ini, baaahh... hati-hati ya, jangan sampai orang-orang mencari sosok cicik dalam dirimu. Kamu Unik, Kamu lebih baik dan jangan asal terima kalau dibilangin gitu.
Jangan perrgi jauh-jauh dulu kalau belum benar yakin itu yang dicari, jadi sudah dapat tempat magang? sambilan magang, lirik-lirik juga salah satu kesempatan ke Belanda yaa.
BTW, sudah dibawa kenalan sama Pak Otto Syamsuddin Ishak? atau sudah kenalan dengan Pak Bakti Siahaan, Pak Saifuddin Banta Syam?
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Saya senang diasosiasikan dengan Bu Cici. Cerdas, cadas dan—tidak lupa—enerjetik pula. Pak Saifuddin Bantasyam sendiri adalah dosen pengampu mk “Sosiologi Hukum.” Kapok saya diampu oleh beliau. Ahaha.
Pak Otto belum pernah bertemu secara langsung, sih. Paling lihat dari jauh. Nanti saya akan bilang ke Pak Ados, “Pak, mau dong kenalan dengan Pak Otto. Bu Cici yang suruh bawa.” Hahaha.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Ados adalah salah satu murid langsung pak otto. jadi sebelum ketemu mahaguru, carilah alasan yg tepat. Pak otto unik sikit...
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Siapp bu☝️
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Saya kenal dari beberapa nama perempuan hebat yang kamu tulis Ci. :)
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
👍 yg jurnalis 😁 setengah hari mikirin siapa namanya Nani😆 begitu lihat komentar abang, baru ingat.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Nani Afrida, Ketua AJI Indonesia kan?
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Iyaaa...
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
terima kasih bg wali
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
sama-sama adinda Firyfaiz, anda sosok penulis yang handal
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Ah… terlalu berlebihan itu bang
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Justru karena kelebihan itu yang membuat dirimu patut di puji wkwkw. Intinya tetap semangat, terus kejar cita-citanya 💪☺🤗
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Saya punya pengalaman lucu dengan perempuan hebat bernama Suraiya Kamaruzzaman. Siang itu, telepon di ruang kerja saya berdering. Saya sosok yang paling dekat dengan perangkat komunikasi tersebut. Maka segera saya memegang gagang telepon dan mendekatkan ke telinga.
Di sana terdengar suara perempuan yang renyah dan terkesan masih sangat segar secara usia. Entah karena saya sedang sibuk dengan deadline buletin atau sensor pendengaran saya yang kurang pas. Singkat cerita, saya memberanikan diri menjawab sang penelepon dengan 'dik'.
Iya, panggilan untuk seseorang yang sebaya atau di bawahnya. Di sana beliau terdengar terkekeh.
Meski menelepon melalui sambungan internasional dari dari Amerika, tapi suaranya sangat jernih. Jadi untuk suara terkekeh itu, membran timpani dalam pusat telinga saya pasti tidak salah. Hehehehe.
Saya jadi malu dan langsung meralat, iya kakak. Kak Aya, begitu orang lain menyapa beliau, lebih tua 4 tahun dari saya. Makanya saya selalu tersenyum jika ingat kejadian itu. Male hatee lon.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Apa mungkin yang senior sebut itu Suraiya IT, soalnya belum trep that di Amerika dan konsen dengan isu-isu kemanusiaan dan lainnya...
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Eeeh. Ada dua Suraiya ya yang top di Aceh. Benar saya jadi ragu yang mana ya. Yang pasti saat itu salah satunya sedang ambil PhD di negeri Paman Sam. Saat itu beliau telepon untuk bicara dengan PR Section Head PT Arun. Cerita ini sekitaran tahun 1999.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Berarti sudah pasti Suraiya IT itu, kalau tak salah Suraiya satu lagi belum apa² kala itu. Profilnya pernah tayang di media pertama saya kerja, Tabloid KARiSMA,
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Hmmm gitu ya. Berarti benar. Karena kalau Suraiya IT lulus PhD dari Amrik 2005 kan @munaa
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit