Wajahnya pucat. Seakan seribu semut akan dilemparkan ke dalam kaos yang dikenakannya.
Di depannya guru-guru asrama meminta password hp. Sementara chat WA dengan pacarnya. Ah, ia ingin berlari saja dari situ.
"Ustad. Janganlah Ustad minta pin BB-nya." Untuk sekian Juli memohon. Dan ia tak berani seperti Juli. Ia menatap wajah-wajah orang yang dikenalnya dengan sikap benci yang sengaja ia buat seolah-olah sama sekali tak membenci mereka.
"Sini. Tulis pin kamu," kata Ustad menyodorkan selembar kertas di atas meja yang dipakai Bang El berjualan di depan rumahnya. Di atas kertas itu pin BB Juli sudah tertera: 2404. Dia lahir tanggal 24 April.
Dia pun menulis: Syukri. Jam menunjuk angka 23.47 WIB. Ia terharu menatap jam pemberian Syukri. Maafkan aku Syukrin, batinnya. Aku tak ingin membocorkan rahasia kita. Tapi aku tak bisa lagi mengelak.
Dan dirasakannya pandangan mata orang-orang di depannya membulat. Syukri, pacarnya, dalang kerusuhan. Baru siang tadi pihak sekolah tahu. Dan pihak sekolah tidak menyangka. Selama ini Syukri anak yang rajin dan shaleh. Dan malam ini, akhirnya ketahuan juga, Syukri yang shaleh itu punya pacar yang tidak shalehah.
Setengah jam kemudian, saat ia dan Juli sudah kembali ke asrama, kepala asrama membaca chat mereka sambil cekikikan.
"Istriku, aku merindukanmu."
"Omak oi, udah istri pula panggilannya," sergah wali kamar kelas X. Wali kamar putri kelas X putri ini memang paling tak suka melihat warna pemerah bibirnya. Itu ia tahu persis saat sekolah merayakan hari guru. Teman bilang; aku dengan tadi ibu itu ngomong tentang bibirmu yang selalu pakai lipstik. Ih, kalau dia mau pakai lipstik, beli dong, rutuknya.
"Aku juga kamu suamiku. Bagaimana kabarmu? Kamu baru habis main game, ya?" Kembali terdengar kepala asrama membaca chat mereka.
"Tidak. Ini baru habis dari Kak Maya." Kak Maya yang punya warung kelontong depan sekolah, tempat biasanya mereka melepas kangen.
"Oya, tadi kami diganggu sama adik kelas XI. Kata mereka, mana suami-suami kalian? tanya Defa.
"Kalian kalau sedang tanpa suami, mirip janda, timpal Sultan. Kurang ajar banget 'kan suamiku."
"Awas. Kalau jumpa, aku tabok mereka."
@ @ @ @ @
Semenjak mengundurkan diri, mereka tidak lagi memanggilnya Ustad M, tetapi Bang M. Kadang-kadang mereka memanggilnya si M atau juga si Man atau gohnyan. Dan mereka akan menyebut Ustad Murad atau Teungku Murad jika di depan orang lain atau di depan guru-guru di sekolah tersebut yang ditenggarai dekat dengannya.
"Ada berita baru, Pak Emil," tiba-tiba Bang Musli berbicara. Bang Musli penduduk setempat dan paling tua di antara yang tinggal di perumahan guru tersebut. Sebelum menyampaikan keterangan lebih lanjut, untuk mengesankan berita yang akan disampaikannya penting, ia melihat kiri-kanan. Hari menjelang sore. Ada dua gazebo di depan perumahan puncak. Hari di bulan Syawal yang panas tak terasa gerah di sana karena jejeran pohon asan melindungi gazebo.
Dan tidak hanya Emil serta Mirza, tetapi juga para istri, semua menatap Bang Musli dengan pandangan ingin tahu.
"Teungku Amar juga tambah jengkel," buka Bang Musli masih sambil memperhatikan mata orang-orang di depannya. "Malam kemarin, di pos satpam, Bang M dipanggil untuk tanda tangan. Tapi tidak menggubris. Malah menjauh dari pos satpam."
"Itu berita baru, Pak Emil. Jangan berita itu-itu saja," ujar Bang Musli, mengakhiri cerita.
Berita lama yang dimaksud, jatah makan di dapur. Gara-gara Emil mengutarakan kepada yang masak, kuah pliek kurang enak dan itu katanya kata salah satu murid tercerdas dan Emil ingin mengubahnya dengan mengatakan uang makan cukup sama istrinya sebagai bendahara komite sekolah. Tukang masak yang mertua Bang M rupanya tak terima dan Bang M yang kala itu kepala asrama langsung memutuskan Pak Emil tidak boleh mengambil makan lagi di dapur sekolah. Kalau sedang ramai-ramai di gazebo, apakah masak kuah pliek keluarga puncak, istilah untuk yang tinggal di perumahan guru tersebut, ngerujak, dan lainnya, Pak Emil hampir pasti mengutarakan perihal makan di dapur. Dan semua pasti menertawakan Pak Emil sehingga Pak Emil pun ikut tertawa.