Photo credit to: Thula Na on Unsplash
Riuh rendah suara orang-orang di pinggir jalan, gemercik air dari emperan toko akibat anak lanang yang menari-nari bahagia setelah hujan selesai membasuh bumi. Meniadakan ketiadaan cara terbaik pikiran untuk bersenang-senang mengusir kegundahan hati, “cukup untuk hari ini, besok coba lagi”.
Seharian mengitari kota, menulusuri setiap jalan menuju gedung-gedung perkantoran yang megah dan mewah. Setiap pintu yang diketuk memberikan jawaban yang sama, tidak ada lowongan pekerjaan! Berdiri di emperan toko Rhino menghela nafas, pikirannya menerawang jauh ke sebuah ruang yang bernama rumah. Ditelusurinya setiap seluk beluk kenangan untuk menemukan kehangatan, hal yang sudah sangat lama tidak dirasakannya.
Setahun sudah Rhino melangkah pergi meninggalkan rumah, membulatkan tekat untuk meraih mimpi di ibu kota. Berbekal semangat yang dititipkan oleh Nai dan ribuan doa yang dilafalkan oleh sang ibu dalam setiap tarikan nafasnya. Rhino bertahan meski puluhan kali sudah ibu kota mencoba membunuhnya dengan segala intrik dan siasat buruk yang diperankan oleh ibu kota dengan segala gemerlap lampu-lampu harapan yang sengaja dipasang sebagai perangkap untuk menjebak anak-anak lugu dan polos yang datang jauh dari kampung. Dan Rhino salah satu wajah-wajah polos anak kampung itu.
Nai berdiam diri di dalam rumah, sementara ayahnya pamit ke utara, ibu katanya menyusul ayah ke selatan.[1] Perjalanan yang jauh tidak dilakukan oleh Nai, walau pedih di tinggalkan oleh kedua orang tuanya, Nai tetap memilih berdiam diri di dalam rumah, menjaga semuanya seperti sedia kala. Merawat rumah dengan kasih sayang, berteman dengan dinding, meja, kursi, potret-potret diruang tamu, Kamar, Rak buku, dan kasur yang selalu memberikannya rasa hangat. Nai tidak menunggu ayah dan ibunya kembali, karena Ia tahu ayah pamit ke utara dengan hati bahagia bukan melarikan diri sedangkan ibu menyusul ayah ke selatan melangkah dengan cinta. Siapa yang dapat mengalahkan cinta? Nai tak tega meninggalkan rumah, Ia bahagia dan sangat mencintai rumah. Bagaimana mungkin bisa melangkah tanpa cinta?
Buku bersampul abu-abu diberikan Nai kepada Rhino sesaat sebelum bus yang di tumpangi oleh Rhino berangkat melaju menuju ibu kota. Nai mengantar Rhino hanya sampai di terminal, menyerahkan buku bersampul abu-abu lalu pamit kembali kerumah. Tidak ada ciuman perpisahan maupun pelukan hangat kepergian, sebab Nai yakin Rhino pasti akan kembali pulang. Mau sejauh atau selama apapun Rhino pergi, Nai jua lah tempat Rhino pulang. Malam itu didalam selimut hangat Nai merapalkan doa-doa yang membuat seisi rumah terdiam. Cicak pun tak berani mengusik bahkan detak jam dinding pun ikut berhenti, begitu sunyinya begitu sepinya. Doa-doa yang dilafalkan Nai didengar oleh seisi rumah, kuping dinding, telinga meja, kuping kasur, telinga kursi, bahkan potret-potret diruang tamu mendekatkan telinganya ke dalam selimut. Dengan seksama mereka semua mendengar kata-kata “sejauh manapun dan selama apapun Rhino pergi, semoga Ia masih ingat jalan pulang”.
Bus melaju memecah kebisuan malam. Dalam dingin yang penuh ingin Rhino memakai jaket Jersey club bola kebanggaannya. Buku yang diberikan oleh Nai masih di pegangnya dengan erat, diperhatikannya pelan-pelan judul buku bersampul abu-abu itu, tertera dengan jelas tulisan “Masih Ingatkah Kau Jalan Pulang?”, karya Sapardi Djoko Damono & Rintik Sedu. Mengembang guratan-guratan senyum di wajah Rhino di iringi oleh alunan suara musikalisasi puisi dari Dua Ibu dengan judul “Dalam Bis” ;
Langit di kaca jendela bergoyang
Terarah kemana
Wajah dikaca jendela yang dahulu juga
Mengecil dalam pesona
Sebermula adalah kata
Baru perjalanan dari kota ke kota
Demikian cepat
Kita pun terperanjat: waktu henti ia tiada[2]
Matahari menjatuhkan dirinya dibalik gedung-gedung bertingkat yang megah itu, senja perlahan hadir dengan cahaya jingga keemasan melukis langit menjadi remah-remah kemerahan memasuki setiap celah-celah kegelisahan di relung hati paling dalam lalu berubah menjadi siluet yang menghilang di lautan lepas. Laut Banda menyapu bersih segala bentuk kegelisahan, kekhawatiran, rasa putus asa akan patahnya sebuah harapan.
Rhino masih berdiri di emperan toko sembari menikmati senja yang tinggal setitik dalam ingatan paling jauh. Telah lama Ia simpan senja yang paling indah, senja yang diberikan ayah puluhan tahun silam. Ayah pamit lalu berubah menjadi siluet yang menghilang dilautan Banda.
Setiap melihat senja, Rhino selalu ingat kepada ayah dan Nai. Dimanapun Ia berada, pada sore hari di waktu senja menyentuh laut Banda, Nai selalu hadir untuk menyapa Rhino “Bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan”.[3]
Wajah ibu kota mulai berganti, temaran lampu-lampu jalan mulai menghiasi setiap sudut-sudut kota, pertanda malam sudah tiba. Ketika malam tiba, ibu kota akan membuka semua topeng-topeng kehidupan, memperlihatkan wajah ibu kota yang sesungguhnya. Lakon dari rupa-rupa yang datang silih berganti mempertontonkan parodi kehidupan tanpa tertawa maupun menangis, tanpa rasa lebih tepatnya! Kemarahan tak merasuki sedikitpun rupa-rupa itu, kegembiraan tak senadipun menempel diguratan rupa-rupa itu, kosong lebih tepatnya! Wajah-wajah ibu kota tak pernah bersahabat dengan Rhino, mereka selalu ingin menerkamnya! Rupa-rupa itu bergelantungan di tiang-tiang lampu penerang masa depan, menempel di jembatan-jembatan harapan.
Rhino melangkah pergi menelusuri jalan yang tak pernah adil. Pernah suatu waktu Ia menyiasati untuk tak mengambil jalan itu, memilih jalan yang lain tetapi dengan misterius jalan itu kembali kepada langkah-langkah yang diambil oleh Rhino, seperti takdir yang tak bisa di elakkan atau dibelok-belokkan. Siapakah kita ini yang bisa melawan takdir dari Sang Dalang? Rhino bergumam “dari pada memaki keadaan lebih baik menghadapinya secara jantan, peran yang diberikan Sang Dalang harus dimainkan secara maksimal, itulah hakekat kehidupan”.
Photo credit to: Javardh on Unsplash
Rembulan tak mau kalah dari lampu-lampu yang menghiasi gemerlap ibu kota, malam ini Ia menunjukkan cahayanya yang paling terang. Cahaya-cahaya putih itu memasuki setiap seluk beluk kehidupan, menyapu semua kegelapan yang sudah mengakar di ibu kota. Rhino pergi meninggalkan emperan toko menelusuri jalan-jalan tikus, keluar masuk gang-gang kecil menuju pulang kesebuah kontrakan kamar didekat rel kereta api. Hampir 2 bulan Ia tinggal disana, setelah beberapa kali pindah kontrakan menyesuaikan dengan sisa tabungan yang dimilikinya.
Sembari melangkahkan kaki melewati satu persatu gang yang dihiasi oleh rayuan mesra para penggoda, dengan was-was Rhino menghitung peluangnya untuk tetap bertahan di ibu kota. Pikirannya mulai bertikai; pertarungan antara ekspektasi dan realitas tak dapat dielakkan lagi. Sejauh yang Ia mampu, ekspektasi selalu menang namun sepertinya kali ini realitaslah yang lebih unggul. Semua tabungan dan segala bekal yang Ia bawa sudah dilucuti oleh ibu kota, yang tersisa hanya sedikit harapan. Biasanya setiap malam Rhino mengisi ulang harapan-harapan itu dengan memeluk buku pemberian Nai, namun malam ini Rhino mulai ragu bisa mengisi ulang harapan yang tinggal sedikit lagi itu. Ditengah-tengah pertikaian pikiran itu Rhino mencium aroma yang tak asing baginya, aroma Ibu.
Setiap pagi ibu menyeduh kopi sebelum pergi,
membangunkan aku dengan lembut.
Meletakkan secangkir kopi hangat,
Sembari membisikkan kata yang sama setiap pagi
Sebelum diminum; hirup dulu aroma kopinya
Setiap pagi, selalu ada cinta disana
sebelum ibu pergi
Rhino berhenti didepan sebuah kedai kopi, setelah aroma Ibu meniadakan pertikaian yang sedari tadi mengusik setiap langkah Rhino. Tepat didepan Rhino tertera sebuah tulisan “Oregon Coffee Shop”. Rhino melangkah masuk dan memesan segelas kopi hitam tubruk. Memilih duduk dipojok paling kanan kedai kopi tersebut, meletakkan ransel lusuh diatas meja serta mengeluarkan bungkusan rokok dari saku celananya. Sembari menunggu pesanan kopi hitam tubruk nya sampai, Rhino melirik kursi dan meja yang diatur saling berdampingan. Pandangannya beralih dari satu dinding ke dinding lainnya, diamatinya dengan perlahan potret-potret serta tulisan-tulisan yang tertempel didinding kedai kopi itu. Tepat di dinding tempat barista meracik kopi, Rhino tertegun membaca sebait puisi yang menjelma kondisinya saat ini, sambil menghembuskan asap rokok Ia membaca dengan perlahan bait puisi itu “Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi”.[4]
Segelas kopi hitam tubruk telah berada di atas meja, sebelum meminumnya Rhino menghirup aroma kopi terlebih dahulu seperti pesan Ibu sebelum pergi. Melalui segelas kopi hitam tubruk hangat Rhino kembali bercengkrama dengan sang Ibu, mencurahkan segala sesuatu hal yang dirasakannya. Tentang harapan yang tinggal setitik, tentang liciknya ibu kota melucuti semua tabungan, bekal dan mimpi-mimpi yang ingin di capainya. Tentang angan-angannya bersama Nai. Semuanya luruh satu persatu dipecundangi Ibu Kota. Ibu mengusap pipi Rhino, menghapus setetes air yang keluar dari pelupuk mata Rhino, lalu tersenyum. Ibu masih saja memancarkan cahaya keteduhan, aura kedamaian dan kesederhanaan. Wajah yang penuh cinta dan kasih sayang. Ibu bangun lalu memeluk Rhino dengan erat serta membisikkan kata-kata “menangislah, tidak ada larangan bagi laki-laki untuk menangis, sebab air mata diciptakan bukan berdasarkan jenis kelamin. Setelah selesai menangis, kembali menjadi kuat dan tabah bukan pasrah dan mengalah, Ibu kota bukan musuhmu melainkan dirimu sendiri, menangkan pertarungan itu. Jadilah pemandu jalanmu sendiri.” Seketika Rhino merasa hidup kembali, semangat mengaliri tubuhnya. Seperti cahaya rembulan malam ini yang menyapu semua rasa putus asa dan kegelisahan di relung hati anak manusia.
Di bawah cahaya rembulan, ibu pergi lalu kembali putih menjadi bintang-bintang yang menerangi lautan Banda. Semoga ibu menemukan ayah disana. Setelah Ibu pergi, Rhino kembali meneguk kopi hitam tubruk di atas meja dan menyisakan ampas-ampas yang mengendap didasar gelas.
Detak jam dinding mengisyaratkan untuk pulang meski rembulan terus memberikan cahayanya yang paling terang. “Aku ingin pulang kerumahku, Nai. Ke sebuah tempat yang paham bau, bangun tubuh, dan jiwaku”[5], ucapnya lirih sambil mendekap buku pemberian Nai di atas kasur yang tak lagi empuk. Hampir 12 Purnama sudah Rhino berada di Ibu Kota. Jauh dari Nai, jauh dari keluarga dan orang-orang yang dikenalnya. Entah berapa Purnama lagi Rhino akan bertahan atau ini menjadi Purnama terakhirnya berada di Ibu kota. Rhino tak tahu jawabannya bahkan untuk sekedar menerka-nerka saja Ia sudah tak berani. Begitu rumit skenario yang diciptakan oleh sang Dalang untuk peran yang harus dimainkan oleh Rhino.
Diluar Purnama
Cahayanya penuh
Menyapu setiap kegelisahan di hati anak manusia
Didalam rumit
Perannya jauh dari kata baik
Setiap pagi melangkah lagi
Meski selalu pelik
Putus asa tak pernah jadi harapan
Diluar Purnama
Dibawah cahaya
Ia mengistirahatkan segala lelah
Semoga esok lebih baik
Tulisan ini didedikasikan untuk Almarhum eyang Sapardi Djoko Damono. “Terima kasih untuk setiap karya yang indah dan penuh makna itu.”
Photo credit to: Sapardi Djoko Damono on Instagram
Catatan kaki :
1. Novel segitiga, hal: 38, karya Sapardi Djoko Damono
2. Dalam bis, puisi karya Sapardi Djoko Damono
3. Cerpen Sepotong senja untuk pacarku, Karya Seno gumira ajidarma, 1991.
4. Surat kopi, puisi karya Joko pinurbo
5. Novel Pulang, hal: 280, Karya Leila S. Chudori
Maniiis
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Niiiis
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Ganaaasss.... 😎😎😎
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Biar jangan apa kali pak 😂😎
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Meugiwang barang..
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Leumak mabok barang 😂
Padeh kawen 🤣
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Gulai kambiang padeh tu bg, 😂😂
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Asam sunti
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit