Hakim Uzur dan Peralihan Dosa Uleebalang

in hive-103393 •  3 years ago  (edited)

Menjadi kambing hitam itu tidak enak, ada beban memikul kesalahan orang lain. Dan inilah kisah “kameng bhok” Uleebalang yang harus menanggung kesalahan sang tuan.

Suatu ketika di wilayah Keuleebalangan di Aceh terjadi kasus korupsi besar. Lembaga anti rasuah semisal Komisi Pemberantasan Korupsi alias KaPeKa sekarang, berhasil mengendus aliran dana besar kepada Uleebalang selaku pemimpin negeri. Lembaga siasah pun bertindak, Uleebalang dibawa ke hadapan mahkamah untuk disidangkan.

Karena jauhnya daerah Uleebalang itu dengan pusat kerajaan, maka sidang dilakukan oleh hakim tunggal. Oleh satu-satunya hakim di wilayah tersebut. untuk menghadirkan hakim datasering atau hakim dari luar daerah sangat tidak mungkin.

Masalahnya, hakim ini sudah uzur, sudah tua renta, sifat hakkam alis kebijaksanaannya sudah berkurang. Tapi meski demikian, tak ada cara lain, Uleebalang harus tetap disidangkan oleh hakim tunggal yang lanjut usia tersebut.

Setelah beberapa kali persidangan, Uleebalang dinyatakan terbukti sudah menggelapkan upeti dan pajak dari rakyat. Ia menimbun harta untuk diri sendiri, tidak dikirim kepada raja di pusat kerajaan. Atas kesalahannya itu, maka Uleebalang divonis hukuman mati. Ia akan dipancung di alun-alun kota.

Vonis itu dianggap terlalu berat oleh sebagian orang. Namun sebagian lainnya yang ingin menggantikan Uleebalang mendukung penuh eksekusi hukuman mati tersebut. Lalu sampai pada waktu eksekusi, Uleebalang di bawa ke alun-alun kota, sebuah panggung sudah disiapkan, di depannya algojo dengan golok tajam sudah menanti.

penarik cilik aceh tempo dulu.jpg
Penari cilik Aceh tempo dulu [Sumber: Collectie Tropenmuseum]

Rakyat berbondong-bondong datang, termasuk Nyak Kaoey yang tak terima dengan vonis tersebut. Bagi Nyak Kaoey, Uleebalang sebagai pemimpin negeri tidak layak dihukum mati, Tuhan saja maha pengampun.

Nyak Kaoey mendatangi panggung dan berkata kepada hakim yang satu-satunya itu, sudah tua pula. “Yang mulia, tuan telah memvonis hukuman mati untuk satu-satunya pemimpin tertinggi di negeri kami. Lalu siapa yang akan memimpin kami ini kalau ia dipancung?” tanyanya.

Lalu warga lainnya pun bertanya-tanya, “Siapa..siapa..siapa yang akan menggantikan pemimpin tertinggi kami?” Tak ada yang mampu menjawab. Tuan hakim lalu mengangguk sambil tersenyum. “Ini perkara pelik,” kata Hakim, “Ribuan kasus sudah aku sidangkan dan aku satu-satunya hakim di negeri yang meudelat ini yang tahu hukum segala hukum,” lanjutnya dengan sedikit mengangkat bahu dan kedua telapak tangannya.

Setelah membetulkan jubah dan letak kaca matanya, ia menarik nafas panjang dan menghembusnya. “Baiklah….berdasarkan pasal sekian ayat sekian, undang-undang hana meuoh saoh, jounto kitab undang undang resep hukum segala hukum. Maka menimbang kepentingan masyarakat banyak, saya atas nama dalil Tuhan dan hukum negara memutuskan, karena negeri ini hanya memiliki satu Uleebalang dengan dua asistennya, dengan ini saya putuskan menghukum mati salah satu asistennya sebagai pengganti, tok..tok..tok…” katanya sambil mengetuk palu tiga kali mengubah putusannya. Padahal hari itu hari eksekusi tak ada lagi sidang, hakim telah pikun.

Warga bersorak-sorai, Uleebalang tak jadi dihukum. Dalam riuhnya tepuk tangan, tiba-tiba Nyak Kaoey berkata lagi. “Tuan hakim, salah satu asisten Ulebalang sedang sakit keras. Hukum agama kita tidak membolehkan menganianya apalagi menghukum mati orang yang sedang sakit.”

bivakmeureudu6.jpg
Bivak Belanda di Meureudu hanya sebagai pelengkap postingan [Sumber: Collectie Tropenmuseum]

Hakim melotot sambil membetulkan kacamatanya. Ia tak mau otoritasnya sebagai pemimpin sidang digugat, apalagi kalau harus mencabut putusannya. Tapi tiba-tiba pernyataan Nyak Kaoey itu diiyakan oleh warga lainnya. Hakim berkata. “Bukankah masih ada satu asisten yang sehat,” katanya sambil menggaruk kepala yang tak gatal. “Kalau satu asisten sehat itu dihukum pancung, lalu siapa yang akan melayani warga kalau Uleebalang dinas ke luar daerah?” tanya Nyak Kaoey lagi.

Tuan hakim kehabisan kata-kata. Di satu sisi tak mau mencabut vonisnya, di sisi lain ia tak mau dihajar warga akibat putusannya itu. “Baiklah…’” katanya setelah kembali menghela nafas panjang. “Putusan tadi kan belum inkrak alias belum tetap, warga bisa mengajukan banding kepada pengadilan tinggi,” saran hakim. “Pengadilan tinggi jauh di pusat kota, kami tak mampu kesana,” kata Nyak Kaoey lagi. Hakim uzur itu tambah bingung.

Ia tak tahu harus berkata apa, salah bicara bisa-bisa jabatannya sebagai hakim satu-satunya itu bisa dicopot. Setelah lima menit berlalu, hakim yang sudah layak masuk panti jompo itu berdehem berkali-kali seolah menahan batuk. Sementara warga dengan setia menunggu putusan apa yang akan diberikan kepada Uleebalang yang melakukan korupsi besar itu.

“Mbeeekk…mbeeekkk,” suara seekor kambing (kameng bhok) milik Uleebalang melintas di hadapan warga, tuan Hakim tersenyum. “Baiklah….tolong tangkap kabing itu,” perintanya. Kambing berwarna hitam itu pun ditangkap dan dinaikkan ke pentas. Hewan itu didudukkan di tengah diantara hakim dan pejabat negeri.

Hakim mengelus ekor dan bulu kambing itu, lalu berkata. “Rasa bersalah dan dosa Uleebalang ini bersama rasa bersalah dan dosa warga negeri ini, saya pindahkan ke kepala kambing ini. Giringlah ia ke belantara sebagai hukuman baginya,” kata hakim.

Warga saling memandang dengan keputusan hakim yang janggal itu, tapi Nyak Kaoey tersenyum. Ia telah berhasil mempermaikan logika hukum sang hakim. Rakyat senang kesalahan Uleebalang sudah ditanggung kambing itu. Kambing berbulu hitam itu pun digiring ke belantara ujung negeri, ia dilepaskan nun jauh di tengah belantara sebagai hukuman karena telah menanggung dosa Uleebalang. Setelah peristiwa itu, warga ramai-ramai memelihara kambing hitam, berharap seandainya berurusan dengan hukum, ada kambing hitam yang disalahkan.[]

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!