Kamis pagi, 29 April 2021, saya kebagian tugas mencari ikan tuna ke Pelabuhan Samudera Lampulo. Biasanya saya hanya beli ikan tuna ukuran sedang untuk kebutuhan rumah, tapi kali ini harus mencari yang besar, karena akan digunakan untuk keperluan kenduri di rumah saudara sepupu istri.
Usai subuh saya sudah menuju ke sana. Pelabuhan itu dikenal sebagai Pelabuhan Perikanan Samudera Lampulo. Terletak di bibir pantai di muara sungai Krueng Aceh di desa Lampulo, Kota Banda Aceh. Pelabuhan ini lumayan luas, ratusan kapal (boat) nelayan tiap hari sandar dan bongkar muat di sana, kecuali hari Jumat, nelayan libur mengikuti kearifan lokal di Aceh.
Tuna ukuran besar baru diturunkan dari kapal di dermaga Pelabuhan Perikanan Samudera Lampulo, Banda Aceh [Foto: dok pribadi]
Setiap hari ratusan miliar uang beredar di sini dari transaksi jual beli ikan. Bahkan kadang-kadang ikan dari pelabuhan-pelabuhan lain di Aceh juga sering dipasok ke sini. Saya memilih datang pagi-pagi betul, karena waktu pagi ikannya masih segar-segar, serta harga lebih murah dibandingan siang dan sore hari.
Apa lagi jika kita merupakan pembeli pertama ikan dari pedagang di sana, mereka akan memberi diskon harga, dalam bahasa mereka disebut sebagai peulareh yakni sebagai pelaris, pembeli kedua dan seterusnya tak akan mendapat potongan harga ini, harga selanjutnya akan dijual berdasarkan harga pasar yang ditetapkan pemerintah, yang setiap hari bisa berubah-ubah.
Saya bergegas ke dermaga di belakang bangunan induk pasar. Beberapa kapal terihat masih membongkar muatan ikan tangkapan mereka. Puluhan agen berjubel melakukan transaski. Saya segera mencari tuna. Tapi kebanyakan yang saya lihat adalah tuna untuk ekspor, ukuranya hampir sama dengan badan anak remaja, ada yang 60 kilogram, 50 kilogram, 30 kilogram.
Tuna ukuran sedang dijejerkan di dermaga Pelabuhan Perikanan Samudera Lampulo, Banda Aceh [Foto: dok pribadi]
Tuna-tuna besar itu biasanya akan langsung diborong oleh pengusaha ekspor impor, mereka membangun gudang dan kantor di sisi timur pelabuhan. Setiap hari ratusan tuna ukuran besar masuk ke sana. Tuna dari pelabuhan Lampulo itu biasanya diekspor ke Jepang dan Amerika Serikat.
Akhirnya saya hanya dapat tuna yang ukuran enam kilogram saja, harganya pun relatif murah hanya Rp 180 ribu. Tuna seukuran itu cukup untuk kebutuhan kenduri 50 porsi nasi kotak. Setelah transaksi usai, saya langsung ke luar area pelabuhan, menuju ke jalan pulang, di sisi jalan saya berhenti di tempat pembersihan ikan. Puluhan bapak-bapak dengan pisau besar dan parang sudah berjejer, mereka menawarkan jasa membersihan ikan. Untuk tuna ukuran enam kilogram yang saya bawa mereka hanya minta upah Rp 20.000 saja.
Begitulan Pelabuhan Perikanan Lampulo selalu ramai, ribuan orang bergantung hidup di sana. Karena itu pelabuhan ini menjadi salah satu pelabuhan paling penting di Aceh. Pada Februari 2021 lalu Direktorat Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama Tim Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia berkunjung ke sana. Mereka menyepakati mengganggarkan lagi dana sebesar Rp 50 triliun untuk pengerukan pelabuhan tersebut hingga bisa dimasuki oleh kapal dengan kapasitas 30 Gross Ton (GT).
Tuna ukuran besar yang biasanya akan diborong oleh perusahaan ekspor impor di Pelabuhan Perikanan Samudera Lampulo, Banda Aceh [Foto: dok pribadi]
Pelabuhan Perikanan Samudera Lampulo memiliki kontribusi besar terhadap sektor perikanan di Aceh. Lokasinya yang berada di ujung barat pulau Sumatera memiliki daerah penangkapan ikan (fishing ground) yang luas di Selat Malaka dan Samudera Hindia, sehingga setiap hari ikan yang dilelang di pelabuhan ini melimpah.
Sangking sibuknya pelabuhan ini, antrian kapal untuk bongkar muat ikan hasil tangkapan ke dermaga bisa sampai empat jam. Karena itu, berbagai fasilitas pelabuhan kini mulai ditambah dan dibenahi. Pelabuhan tersibuk di Aceh ini pun tumbuh begitu pesat, Pemerintah Aceh juga terus melakukan berbagai strategi pengembangan mulai dari fasilitas, pelayanan, hingga kebijakan pengelolaan.
Dulu sebelum tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004, boat-boat di pelabuhan itu melakukan bongkar muat di dermaga Krueng Aceh yang juga di desa Lampulo. Bahkan beberapa tahun setelah tsunami pelelangan ikan masih dilakukan di sana, setelah pusat pelelangan ikan tersebut dibangun kembali pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh.
Tapi beberapa tahun kemudian semuanya dipindahkan ke tempat sekarang, sekitar satu kilometer dari lokasi awal. Bangunan tempat pelelangan ikan lebih luas, dermaga lebih panjang, serta kolam labuhan yang lebih besar dan dalam.
Laut terus memberi hasilnya untuk kebutuhan manusia, tangkapan nelayan Aceh di Selat Malaka dan Samudera Hindia tak pernah kurang, kecuali ketika musim angin barat yang membuat ombak laut membesar dan berbadai. Orang-orang tangguh di lautan akan selalu membawa hasil ke darat, dan Pelabuhan Perikana Samudera Lampulo akan terus ramai.
Suasana usai subuh di tempat pelelangan ikan Pelabuhan Perikanan Samudera Lampulo, Banda Aceh [Foto: dok pribadi]