Barangkali hari ini adalah salah satu hari yang kutunggu-tunggu. Setelah setelah sukses menggelar acara festival muharram di pondok pesantren, anggota PHBI dayah MUDI telah menetapkan beberapa hari setelahnyq untuk mengadakan acara tasyakuran ke tanah dingin; Takengon.
Bagi saya, acara apapun yang digelar di takengon bukanlah satu momen mewah. Pasalnya, takengon bukanlah tempat spesial lagi bagi saya. Terlepas dari mengakui bahwa Aceh tengah pemilik witasa terindah di Aceh. Tapi bukan itu intinya. Kahadiran Abu ke acara tersebut tidak menghapus pandangan saya terhadap takengon.
rombongan hendak berangkat dari dayah
Sekitar jam 09 pagi, kami bergerak dari pondok pesantren untuk ke tempat tujuan sebanyak 24 mobil. Kali ini saya akui kalau saya melihat tekengon kembali indah karena kedatangan Abu. Bukan sebaliknya. Terserah jika Anda tak sependapat. Ini pola saya dalam berfikir.
Setelah asar, semua rombongan telah tiba. Sedangkan rombongan Abu MUDI nyusul sekitar setengah jam setelahnya. Hampir setiap anggota punya tugasnya masing-masing untuk mempersiapkan acara nanti malam.
momen anggota PHBI menjalankan tugasnya masing-masing
Setelah selesai azan magrib semua hidangan makan untuk seluruh anggota serta Abu telah siap untuk disajikan. Setelah semuanya selesai makan malam, selanjutnya acara bincang-bincang dengan Abu.
Abu menyampaikan banyak hal dalam momen ini. Ikatan Batin Abu MUDI dengan Abon Aziz
Saya termasuk diantara yang mengimani kalau setiap pahatan kata para ulama selalu menarik dikupas. Selain karena sarat pesan, cerita yang disampaikan langsung dari lisannya adalah salah satu sisi yang paling menarik. Barangkali bahasa tubuhnya akan menyampaikan pesan lebih dari apa yang ingin beliau sampaikan lewat kata.
Demikian saya menyaksikan pada sosok Abu MUDI dalam momen Rihlah Mahabbah Panitia Hari Besar Islam (PHBI) dayah MUDI tadi malam di Takengon.
Beliau menyampaikan kisah perjuangannya di dayah MUDI setelah Abon Aziz wafat. Berawal dari salah satu pertanyaan salah satu anggota PHBI.
"Abu, pada masa Abon Abdul Aziz apakah sudah ada yang namanya PHBI? Kalo memang belum ada, siapakah penanggung jawab pada saat itu dalam membuat acara di hari besar Islam dan sejak kapan PHBI terbentuk?" Demikian kira-kira pertanyaan Tgk Ikhsan kepada Abu.
Abu mengawali dengan cerita yang gambarkan kondisi dayah MUDI setelah wafat Abon sebagai tautiah jawaban.
Singkatnya, Abu menyampaikan bahwa setelah Abon wafat, jangankan PHBI, pemangku dalam bidang penting lain seperti pendidikan, jamaah serta gotong royong sama sekali belum ada saat itu. Semua bidang itu dijalankan oleh Abu sendiri; beliau sendiri yang membangun santri, menertipkan proses belajar-mengajar dan mengontrol gotong-royong. Bersamaan dengan itu, Abu juga bertanggung jawab sebagai sekretariat serta bendahara dayah.
Yang paling menyentuh selain substansi kisah yang mengarah kepada kerja kerasnya sebagai khadim bagi penuntut ilmu adalah raut wajah serta suara Abu saat hendak ingin mengucapkan "semenjak Abon wafat". Abu menunduk, tangannya yang menggenggam mikrofon gemetar, serta kalimat pertama yang beliau keluarkan layaknya suara paksaan; sebuah tanda yang khas untuk seseorang yang menahan kesedihan yang serius.
Yang sering mengikuti pengajian Abu, mungkin termasuk orang yang berulang kali menyaksikan ini. Hampir setiap kali saat beliau menceritakan kisah kepergian Abon, menahan kesedihan adalah tantangan utama Abu untuk bisa berbicara.
momen saat malam bersama kawan-kawan
Abu bukan memaksa bersedih saat mengingat gurunya, tapi memaksa untuk stop merasa pilu agar bisa membari ilmu kepada muridnya. Barangkali kecintaan kepada gurunya yang memuncak membuat Abu demikian. Bukankah "mustahil" bagi kita merasakan itu saat menceritakan seseorang yang tidak kita cintai?
Hormat kepada @anroja @radjasalman @el-nailul @herimukti
📷 Picture | Photography |
---|---|
Model | iPhone 7 plus |
iOs | 15it |
Camera used | Handphone |
Photographer | @joel0 |
Location | Aceh |
Edit | lnCollage |