Yogyakarta, 11 Mei 2024 - Memahami Culture Shock (Part 1)

in hive-103393 •  2 months ago  (edited)


Source


Jogja itu merupakan pusatnya budaya Jawa. Khususnya Jawa yang berkembang dari hasil akulturasi kerajaan Mataram. Sejak meninggalkan kampung halaman, aku telah berambisi untuk bisa mempelajari dan merasakan budaya jawa secara langsung. Langkah pertamaku di kota ini disambut oleh suara musik gamelan yang menggema di setiap sudut bandara YIA.

Malam itu jam menunjukkan pukul 10.00 malam, aku masih terlalu overthinking mengaitkan suara halusinasi seperti di film desa KKN. Karena setauku mitos yang berkembang di masyarakat jawa bahwa orang yang baru pertama ke jawa yang mendengar suara gamelan di malam hari maka akan betah untuk tinggal di kota tersebut. Selain itu juga akan mendapatkan jodoh orang Jogja.

Musik yang ada di bandara YIA merupakan ansambel gamelan yang terus diputar hingga pukul 11.00 malam. Selain sebagai ucapan selamat datang, suara tersebut juga sebagai upaya untuk memamerkan budaya musik khas jawa.

Ada banyak hal yang kuingat mengenai Culture Shock saat pertama kali sampai di kota pendidikan ini. Selain yang sudah kuceritakan di laman sebelumnya mengenai penyebutan ”motor” dan ”kereta” ada banyak lagi yang kudapatkan.


1. Pergeseran Waktu
Sebagai muslim yang taat, tentu kita senantiasa sudah terbiasa dengan waktu shubuh hingga isya. Acuan waktu yang selama ini kujalani berbeda hingga 1 jam lebih awal dibanding Aceh. Namun zonasi waktunya masih dalam wib, hanya saja perbedaan aktifitas. Di ujung Sumatera biasanya jadwal shubuh sekitar pukul 5.20-an. Di Jogja sekitar jam 04.20. Begitupun dengan aktifitas sosial disini, pukul 07.00 biasanya sudah mulai ngampus.

2. Makanan
Karena sudah terbiasa dengan makanan pedas, jadi ketika makan makanan yang bernuansa manis termasuk sambal terasa sedikit aneh di lidah. Misal saja pecal lele, angkringan dan warteg-warteg semua menyajikan rasa bumbu yang dominan manis. Aku sering makan di pecel lele saat malam di tempat langganan. Aku tetap meminta untuk dibuatkan sambal yang pedas setiap kali makan supaya lebih terasa. Jika indikator mie gacoan, rata-rata lidah sepertiku tetap memilih minimal Lv. 2. Namun banyak dari temen-temenku yang orang lokal sini menganggap Lv. 1 itu sudah sangat pedas.
Dan jika makan diwarteg, sampai sekarang aku masih bingung terkait harganya. Karena pada saat saya mengambil setumpuk sayur dan topping lain + lauk, hitungannya lumayan dibanding dengan sedikit topping dengan lauk yang sama. Padahal jika di rumah-rumah makan lain hitungannya tetap pada lauk, walaupun sayurnya satu piring full.

3. Beli Telur
Saat membeli telur di pasar, perhitungannya menggunakan kilo, sehingga ini bisa dibilang sedikit lebih adil dibanding dengan hitungan butir. Jadi mau sebesar dan sekecil apapun yang kita pilih tetap acuannya kilo. Kalau di daerah Sumatera biasanya hitungannya per butir. Jadi orang-orang lebih leluasa memilih telur yang besar saat ke pasar.

4. Perilaku Orang Jogja
Orang-orang disini cenderung lebih sopan baik dalam tindakan maupun perkataan. Kalau melewati suatu kerumunan, biasanya sering di trotoar jalan, setiap melewati orang-orang disini menunduk sambil meminta maaf. Kalau di Jogja orang-orang lebih suka duduk di lesehan, sehingga banyak pedagang kuliner kaki lima yang memeakai trotoar di malam hari untuk berjualan. Dan terkait karakter pengendara, semacet apapun di jalanan, sangat jarang terdengar suara klakson kendaraan. Kalaupun ada sudah kupastikan itu orang luar. Karena klakson disini hanya sebatas sapaan ketika bertemu di jalan.

5. Kelompok Md dan Nu Yang Kental
Di Jogja Muhammadiyah lebih dominan dibanding Nu, beberapa waktu lalu aku sudah menjelaskan terkait eksistensi kedua organisasi ini di pulau Jawa, khususnya Jogja Baca di sini. Aku bukan termasuk dari kader Nu, namun fiqih yang kuamalkan selama ini sama dengan Nu. Sejak awal mendarat di sini, aku selalu shalat di masjid Md dan sering berbaur dengan masyarakat di sini. Bahkan sering diminta untuk menjadi imam di masjid Md. Saya salut, karena toleransinya sangat kuat dan saling menghormati biarpun saya sendiri dari kalangan fiqih Nu.

Tentu banyak lagi hal yang bisa kita ceritakan disini, namun itu yang paling teringat dalam perjalananku sampai saat ini. Saya sangat beruntung bisa banyak belajar kultur budaya yang berbeda dari sosial kehidupanku biasanya. Minimal saya sendiri bisa menghargai budaya-budaya lain jika suatu saat menetap di daerah lain.


Salah satu sudut bandara YIA

~Han Adam~
(Yogyakarta, 11 Mei 2024)

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Upvoted. Thank You for sending some of your rewards to @null. It will make Steem stronger.