The Diary Game (December 09, 2022) : Apa Kaoy dan Kodok Makan Kapal

in hive-103393 •  2 years ago  (edited)

Sore itu, Jumat, 9 Desember 2022, hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya, termasuk di perumahan saya tinggal di perbatasan Depok, Jawa Barat, dengan Pamulang, Tangerang Selatan. Saya janjian dengan seorang seniman Aceh, M Yusuf Bombang, yang lebih dikenal sebagai Apa Kaoy, di sebuah warung kopi di kawasan Kemang, Jakarta. Saya sempat ragu mau naik apa ke sana. Naik sepeda motor berpotensi kehujanan di Jalan.

Bombang - MI 4.jpg

M Yusuf Bombang dan Mustafa Ismail

Stasiun kereta listrik commuterline lumayan jauh dari Kemang. Paling dekat ya dengan kereta MRT. Saya bisa naik di Lebak Bulus lalu turun di kawasan Blok A di Jalan Fatmawati atau Blok M. Dari sana menyambung dengan ojek online ke Kemang. Tapi repotnya, saya akan terburu-buru karena harus menyesuaikan pertemuan dengan jadwal kereta terakhir. Isteri saya sempat menganjurkan bawa kendaraan roda empat. "Pakai mobil saja, hujan," kata dia. "Wah menembus jalanan jam segini dengan mobil jam berapa nanti sampai di Kemang," kata saya.

Akhirnya saya memutuskan naik sepeda motor. Hujan sudah reda dan sisa gerimis kecil yang mungkin tidak terlalu membuat basah. Malam mulai terang. Saya berangkat sekitar pukul 19.30 dari rumah. Motor saya pacu santai, karena jalanan lumayan licin. Saya meninggalkan kawasan Pondok Petis, Bojongsari, Depok, memasuki Pamulang, Tangerang Selatan, dan melintasi sejumlah gedung yang menjadi ikon di kawasan itu seperti Universitas Pamulang, lalu UIN Jakarta di Ciputat, hingga Universitas Muhammadyah Jakarta, sekitar 1 Km sebelum Lebak Bulus.

Karena berbalik arah dengan orang pulang kerja, jalanan yang saya lalui tidak terlalu ramai. Tapi saya tetap memacu sepeda motor dengan kecepatan santai: 40-50 km per jam. Kepadatan baru terasa setelah tiba di Lebak Bulus dan makin padat di Jalan TB Simatupang. Jalan itu menjadi titik pertemuan orang pulang kerja dari arah Pondok Indah, Jakarta Selatan, maupun dari arah tol JORR. Maka itu ketika menjelang tiba di perempatan Jalan Fatmawati macet benar-benar membekap.

Beberapa ratus meter sebelum perempatan Fatmawari, saya sempat berhenti sebentar untuk mengecek telepon genggam. Rupanya Bombang, begitu biasa sebagian kawan menyapanya, sudah mengirim pesan singkat di WhatsApp: "Sudah sampai mana?" Setelah menjawab bahwa sekitar 15 menit lagi sampai, saya pun kembali berjalan menembus Jakarta yang masih tetap gerimis kecil. Hawa malam bercampur suasana hujan terasa begitu dingin. Kendaraan di jalan arteri TB SImatupang maupun di tol yang berada di sebelahnya padat merayap.

Kemang 2.jpg

Salah satu sudut bagian depan Waroeng Aceh Kemang.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 1 jam 20 menit, saya tiba di lokasi. Rupanya warung itu sangat ramai. Parkiran, yang hanya muat beberapa mobil, penuh dengan sepeda motor. Saya kembali teringat anjuran istri agar pakai mobil. Nah, seandainya anjuran itu saya turuti pasti susah sekali cari parkir. Parkir di jalan jelaslah tidak bisa, karena jalan itu sempit. Hanya bisa dilintasi dua mobil. Saya memang belum pernah ke Waroeng Aceh Kemang itu. Jadi tak tahu kondisi parkiran dan lain-lain. Jadi untung bawa motor, masih bisa parkir selap-selip.

6ad601d5-816e-4aaa-a944-a3587668753e.jpg

Suasana di salah satu ruangan di Waroeng Aceh Kemang.

Saya masuk ke dalam. Rumah yang menjadi lokasi warung berlantai dua dan cukup luas. Terbagi dalam beberapa ruangan, yang malam itu dipenuhi banyak anak muda. Suasana hiruk-pikuk, suara obrolan dan sesekali tawa pengunjung saling berebut ruang dan berbenturan satu-sama lain. Ada pula area luar ruangan di bagian belakang warung tersebut.

VIDEO Suasana Waroeng Aceh Kemang bisa disimak di reels Instagram saya di link berikut ini:
https://www.instagram.com/reel/Cl-P3HPo92w/?igshid=ZmVmZTY5ZGE=


Banyak orang mengenalnya sebagai Apa Kaoy. Itu adalah karakter yang ia tampilkan ketika menjadi penyiar di beberapa radio swasta di Banda Aceh. Tapi ketika bertemu pekan lalu di sebuah warung kopi di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, saya tak sempat bertanya apakah ia masih aktif sebagai penyiar.

Sejatinya lama asli seniman teater ini adalah Muhammad Yusuf. Tapi kemudian di belakang namanya ditambahkan Bombang -- ini sejenis alat musik khusus yang ia buat sendiri dan ia namakan bombang. Alat musik ini dihubungkan dengan perangkat seluler untuk menghasilkan menstransmisi suara dan musik sesuai yang ia programkan.

Tapi malam itu kami tidak bicara musik. Babak awal pertemuan hingga dini hari ini ia menyerahkan sebuah buku berisi kumpulan tulisannya berupa hiem -- salah satu tradisi lisan di Aceh. Buku setebal 200 halaman itu ia beri judul "Hikayat Cangguek Pong Pajoh Kapai". Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kira-kira: Hikayat Kodok Makan Kapal.

Bombang Buku.jpg

Saya belum sempat membaca lebih lanjut buku itu, jadi belum bisa menulis review-nya. Yang pasti, selain menulis dan berpentas hiem yang dilengkapi dengan alat musik khasnya itu, Bombang -- begitu ia juga akrab disapa -- rajin menulis. Paling banyak tentu saja hiem. Dulu hiem itu sering ia posting di media sosialnya. Namun di luar itu ia menulis cerpen yang pernah dipublikasikan di koran Aceh. "Tapi tak banyak." Selain itu, ia juga menulis beberapa cerpen dalam bahasa Aceh. Sehingga jika dikumpulkan cukuplah menjadi satu buku.

Saya pun memprovokasi Bombang untuk mengumpulkannya menjadi buku. Hal itu penting, minimal sebagai dokumentasi karya. Sekaligus agar karyanya bisa disebar lebih luas. Sebab usia koran kan sangat pendek. Belum tentu ketika cerpen-cerpen itu disiarkan orang pada baca. Mencari di internet juga susah karena cerpen itu ia tulis pada 1990-an, ketika koran belum ada versi onlinenya. Internet masih sangat terbatas kala itu. Saya -- termasuk Bombang -- masih menulis menggunakan mesin ketik.

Bombang MI 2.jpg

Tapi Bombang rajin mendokumentasikan karya dan aktivitasnya dalam bentuk kliping koran. Oh ya, satu lagi, selain sebagai seniman teater dan hiem, ia adalah salah satu pembaca puisi handal di Aceh dan dulu kerap bertarung di berbagai lomba baca puisi nasional. Ia juga dikenal sebagai penggerak kesenian. Ia kerap mengadakan berbagai acara seni di Aceh, termasuk berbagai lomba baca puisi tingkat provinsi, salah satunya Lomba Baca Puisi Piala Maja. Lomba ini menjadi ajang seleksi provinsi yang pemenangnya difasilitasi untuk mengikuti lomba baca puisi tingkat nasional di Jakarta -- Piala HB Jassin.

Tak hanya itu. Bombang-lah yang membawa pertunjukan rapai Uroh dari Pasee, Aceh Utara, ke Taman Budaya Aceh. Bahkan, ia membawa kelompok rapai itu hingga pentas di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Maka itu ketika kelompok rapai itu kembali tampil di Jakarta baru-baru ini, saya langsung menelponnya. "Ada rapai Pasee di TIM. Apa Kaoy lagi di Jakarta?" Tanya saya. Jawabannya di luar dugaan. "Hana rhoh lon lam acara nyan." Maksudnya, saya tidak ikut dalam acara itu. Rupanya pihak penyelenggara berkomunikasi langsung dengan kelompok tersebut untuk tampil di TIM, tidak lewat Bombang.

Bombang 1.jpg

Agus Nur Amal PMTOH, M Yusuf Bombang, Mustafa Ismail

Nah, Kamis pekan lalu, begitu ia tiba di Jakarta sehabis mengikuti sebuah acara di Bali, ia mengontak saya mengajak ketemu. "Nyoe na kuba buku saboh ke droe neuh," kata. Ini ada buku untuk kamu. Tapi hari itu saya tidak bisa memenuhi ajakannya karena sedang tidak fit. Baru pada Jumat malam saya bisa ikut nenikmat kopi Aceh bersamanya. Saya tiba sekitar pukul 21.00 di Kemang. Lebih satu jam kemudian, seniman PMTOH Agus Nur Amal bergabung. Dari pertemuan itu, terbetik untuk membuat sebuah pertunjukan yang menggabungkan teater rakyat Aceh, puisi, PMTOH, dan hiem.

Tapi Bombang mewanti-wanti ke saya, "Kau kan sudah lama tidak berteater. itu harus mulai dari nol lagi," kata dia. "Sudah bisa mulai lagi latihan vokal, pernafasan, dan akting pelan-pelan." Oke siap Apa Kaoy. Sekitar pukul 01.00, saya pun pamit pulang. Adapun Apa Kaoy dan Agus Nur Amal PMTOH masih tetap melanjutkan malam dengan cangkir kopi masing-masing di sana. Malam semakin dingin, namun di warung itu masih sangat ramai orang. Saya pun menembus malam yang tak tampak lagi sisa-sisa hujan.

MUSTAFA ISMAIL
131222 | Twitter/ IG @moesismail

#indonesia #thediarygame #betterlife #steemexclusive #burnsteem25 #club100 #books #story #coffee

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!