Di tempat ini banyak sekali nisan dengan ukuran yang beragam, bermacam pula bentuknya, ada yang berbentuk salib, tugu beratap, bahkan sampai nisan batu berwarna putih yang sederhana. Luasnya mencapai tiga kali lebih besar dari lapangan sepak bola.
Inilah tanah kubur para prajurit Belanda, Kherkoff Peucut namanya. Kherkoff memiliki arti sebagai halaman gereja atau juga kuburan, sedangkan Peucut diambil dari nama Putra Sultan Iskandar Muda yang meninggal setelah dihukum rajam (cambuk) oleh Sang Raja karena melanggar hukum syariah kala itu. Travelers bertanya-tanya kenapa nama putera Sang Raja disematkan pada kompleks Kherkoff ini? Alasannya adalah Pupok Meurah (nama Putera Raja, dimakamkan dilokasi tersebut 300 tahun sebelum Belanda membuatkan kompleks kuburan untuk serdadunya yang tewas.
Kherkoff Peutjut ini terletak di belakang Museum Tsunami Banda Aceh, sebelum memasuki komplek kuburan, travelers akan menemukan pintu gerbang berukuran besar berwarna putih yang pada dindingnya terdapat nama dari 2.200 prajurit Belanda yang dimakamkan di kompleks kuburan tersebut.
Di kompleks Kherkoff, bukan hanya serdadu Belanda saja yang dimakamkan di sana. Tetapi, juga sejumlah pribumi yang dahulunya direkrut tentara Marsose dan pasukan KNIL yang dikirimkan untuk melawan Aceh. Diantaranya berasal dari Ambon, Manado, dan Jawa. Hal itu terlihat jelas dari sejumlah nama yang tertera pada dinding pintu masuk Komplek Kherkoff ini.
Rusdi Sufi, seorang sejarawan Aceh menyebutkan bahwa Belanda mulai menyerang pada tahun 1873-1904. Hal ini terjadi karena masyarakat Aceh menolak untuk bergabung dengan Hindia Belanda (Saat ini kita kenal sebagai Indonesia). Pada saat itu, hampir seluruh wilayah di Nusantara sudah dikuasai oleh Belanda, namun Aceh masih berdaulat dan menolak ajakan Belanda untuk bergabung.
Di masa pendudukan Hindia Belanda, Masjid Raya Baiturrahman sempat dikuasai pasukan Belanda, dan mereka membakar masjid tersebut, meskipun kemudian dibangun kembali. Pada perang yang terjadi pada 1873-1874 tersebut, masyarakat Aceh berhasil menahan serangan pasukan Belanda.
Selanjutnya pada April 1873, Mayor JLH Pel. Kohler yang ditugaskan untuk memimpin pasukan Belanda untuk menyerang, tewas ditembak oleh pejuang Aceh di halaman Masjid Raya Baiturrahman. Selain Kohler, ada juga beberapa jenderal lain yang dikuburkan di kompleks Kherkoff ini.
Kemudian, Jenazah Kohler sempat diboyong ke Tanah Abang, Jakarta untuk dimakamkan di sana. Namun, saat pembongkaran kuburan di Tanah Abang pada tahu 1978, Pemerintah Belanda meminta izin pada Pemerintah Aceh agar Kohler dapat dikuburkan di kompleks Kherkoff, dan Pemerintah Aceh pun mengizinkan. Pada nisan Kohler terdapat lambang freemansory, dan beberapa sumber menyatakan bahwa Kohler merupakan anggota freemansory di masa itu.
Freemasonry adalah organisasi pemikiran yang didirikan pada 1717 di Inggris. Menurut banyak peneliti konspirasi, mereka diduga terlibat dalam berbagai peristiwa besar di dunia, seperti revolusi hingga pecahnya Perang Dunia I (1914-1918) dan Perang Dunia II (1939-1945). Organisasi ini turut memberikan sumbangsihnya bagi gerakan nasionalisme dan humanisme di Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya. Sebagian pejabat VOC dan tokoh berpengaruh pribumi adalah anggota Freemasonry.
Di Aceh, Freemasonry turut mendirikan markasnya di Kutaraja (sekarang Banda Aceh) dengan nama Lodge Prins Frederick. Beberapa pejabat VOC di Aceh yang diketahui sebagai aktivis Freemasonry di antaranya adalah Jenderal Karel van der Heijden, Gubernur Aceh pada kurun waktu ketiga (1884-1896).
Menurut data dari AHC (Aceh Heritage Community), diperkirakan Loji Prins Frederick dibangun pada awal 1920-an. Loji ini diisi oleh para tentara Belanda yang bertugas di Aceh. Tercatat hingga 1880, jumlah anggota dari organisasi ini adalah kurang lebih sekitar 60 orang. Sebagian besar anggotanya berasal dari kalangan perwira militer. Penulis sendiri belum mendapatkan data jumlah anggota Freemasonry pribumi asal Aceh.
Setelah gedung ini tidak lagi dipakai oleh Freemasonry, sebagian gedung ini kemudian dipakai sebagai sekolah menengah pertama bernama Sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs/Pendidikan Dasar Lebih Luas). Kemudian, tepatnya pada 1946, keseluruhan bekas Loji Prins Frederick ini resmi difungsikan sebagai Sekolah MULO. MULO di Aceh kala itu memakai metode dan sistem pendidikan yang sama dengan yang ada di Belanda. Sistem pendidikan Belanda ini dijalankan di Indonesia hingga 1960-an.
Saat itu, ada tiga jenis level pendidikan yang diterapkan di Belanda dan MULO ini berada di tingkatan kedua alias sebagai sekolah menengah pertama. Menurut AHC, pasca-kemerdekaan, sekolah ini kemudian mengalami beberapa tahapan renovasi dan penambahan beberapa bagian ruangan atau gedung. Saat ini gedung tersebut dijadikan sebagai SMAN 1 Banda Aceh. Meskipun terjadi perubahan, arsitektur lama gedung ini masih tetap dipertahankan, sehingga gambaran singkat mengenai bentuk Loji atau Lodge tersebut masih dapat kita lihat hingga sekarang.
Batu nisan dalam kompleks Kherkoff-laan mengungkapkan beberapa fakta penting di dalam sejarah Aceh. Seperti jejak keberadaan komunitas Yahudi, termasuk warga Belanda keturunan Yahudi, Avram Meier Bolchover. Dulunya, keluarga Bolchover adalah pemilik tanah ini. Penyebutan namanya menjadi cikal bakal nama Kampung Blower di Banda Aceh yang saat ini disebut Gampong Sukaramai.