Indonesia adalah surganya pengguna sepeda motor. Angka statistik yang melonjak tajam seperti harga cabai di musim hujan membuktikan itu.
Ada lagi katanya: orang Indonesia jarang jalan kaki. Mungkin ada benarnya. Bahkan saya, yang lahir dan besar di sini, harus mengakui, kaki ini seperti hanya mengenal fungsi estetika.
Ah, sepeda motor. Kendaraan sejuta umat. Alat transportasi yang serba bisa. Dibandingkan mobil, jauh lebih hemat. Dibandingkan kendaraan umum, jelas lebih praktis. Tidak peduli panas, hujan, atau macet, sepeda motor tetap menjadi pahlawan jalanan.
Katanya lagi, naik motor itu enak. Tapi ya, tetap ada "nikmat" lain yang mengintai: hujan ya kehujanan, panas ya kepanasan. Belum lagi, kalau bicara soal risiko, angka kecelakaan motor di Indonesia bikin siapa saja mengelus dada.
Tapi tetap saja, ada sisi menyenangkan. Misalnya, melintasi jalanan pesawahan, masuk kampung kecil, menghirup udara desa yang segar.
Hanya saja, kemarin itu ada yang aneh. Motor saya goyang-goyang di bagian belakang. Saya yakin ini bukan kerjaan makhluk gaib. Ternyata benar, ban belakang kempes.
Ah, cerita klasik pengendara motor. Katanya sepeda motor setia, tapi di saat genting malah bikin susah. Ban kempes di tengah sawah, tanpa bengkel, tanpa harapan. Jadi apa yang bisa dilakukan? Mendorong, tentu saja.
Dorong terus...
Bayangkan, berjalan dengan motor yang berat itu, ditemani angin sawah dan tatapan burung. Sambil sedih, jengkel, campur arah sama diri sendiri.
Sampai juga di bengkel kecil, lega sempat datang, tapi pas buka dompet: kosong!
Ngga ada cash.
Malu dan kesal jadi teman perjalanan pulang. Ditambah jengkel dan marah kepada diri sendiri: kenapa lupa bawa uang? Kenapa ngga cek bensin?
Kali ini, bukan motor yang mengantar, tapi aku yang mengantar motor pulang.
