Pagi ini kami memulai petualangan ke Tegal Gubuk, sebuah pasar sandang legendaris di Cirebon. Kalau pasar ini manusia, mungkin dia sudah jadi selebriti, karena kehebatannya dalam menyediakan kain, pakaian, dan gamis berkualitas. Tapi lucunya, jalan menuju pasar ini seperti labirin yang dirancang untuk menguji kesabaran pembeli.
Dari rumah, kami punya rencana mulia: berangkat jam 07.00 pagi, saat udara masih segar dan energi masih penuh.
Tapi, kenyataan hidup sering punya plot twist. Jam 07.00, kami masih di rumah, sibuk menyelesaikan tetek-bengek yang entah kenapa selalu muncul saat mau pergi.
Mungkin ini konspirasi alam semesta untuk menguji kesabaran. Pada akhirnya, waktu tepat yang direncanakan hanya menjadi wacana. Tapi begitulah hidup, kan? Kadang rencana hanyalah dekorasi untuk chaos yang lebih seru.
Akhirnya, sekitar pukul 08.00 lebih, kami tiba juga. Tantangan pertama? Mencari parkiran. Setelah beberapa putaran yang penuh harapan, akhirnya kami menemukan tempat. Tapi jangan kaget, parkir di sini bisa sampai Rp30.000. Teman saya yang datang dari kota pernah shock karena di daerah ternyata lebih mahal daripada di kota. Ironisnya, waktu itu dia cuma lihat-lihat tanpa membeli apa-apa, dan tetap harus bayar parkir mahal. Kalau begini, suasana pasar memang penuh kejutan—mulai dari barang dagangan hingga tarif parkirnya!
Kami turun dan, tentu saja, langsung mencari bahan yang sudah direncanakan. Rencana awal? Dapat bahan, lalu pulang. Tapi rencana tinggal rencana. Setelah bahan utama didapat, selalu ada godaan untuk “lihat-lihat sebentar.” Sebentar yang ternyata cukup lama hingga siang pun menjelang.
Sementara energi terkuras, saya memutuskan untuk duduk menunggu. Menunggu siapa? Para istri yang masih berjuang berbelanja. Dalam momen menunggu ini, muncul kesempatan langka: menulis sambil menyaksikan keramaian pasar yang penuh cerita. Pasar, seperti biasa, memang selalu punya drama dan kejutannya sendiri.
Kami turun dan, tentu saja, langsung mencari bahan yang sudah direncanakan. Rencana awal? Dapat bahan, lalu pulang. Tapi rencana tinggal rencana. Setelah bahan utama didapat, selalu ada godaan untuk “lihat-lihat sebentar.” Sebentar yang ternyata cukup lama hingga siang pun menjelang.
Sementara energi terkuras, saya memutuskan untuk duduk menunggu. Menunggu siapa? Para istri yang masih berjuang berbelanja. Dalam momen menunggu ini, muncul kesempatan langka: menulis sambil menyaksikan keramaian pasar yang penuh cerita. Pasar, seperti biasa, memang selalu punya drama dan kejutannya sendiri.
--
Salam