Pagi-pagi kemarin, kami sibuk di dapur. Hanya memasak rajungan pedas. "Hanya" di sini maksudnya pekerjaan itu sederhana, tapi tetap butuh tenaga.
Rajungan ini kami beli kemarin di pasar. Pasar di sini penuh dengan bahan makanan segar, terutama hasil laut. Ada rajungan, ikan, cumi-cumi—semua yang mudah ditemukan karena kami tinggal dekat pantai.
Nelayan-nelayan di sini, menurutku, adalah orang-orang yang paling dekat dengan keajaiban Tuhan.
Mereka bangun pagi, melawan ombak, lalu membawa hasil tangkapan yang membuat dapur-dapur seperti milik kami jadi lebih hidup.
Kami senang memasak. Tapi terus terang, aku lebih senang makan. Terutama kalau yang masak adalah istriku.
Entah kenapa masakannya selalu terasa lebih enak. Mungkin lidahku sudah beradaptasi dengan masakannya. Atau mungkin, masakannya yang secara ajaib beradaptasi dengan lidahku. Tidak ada yang tahu.
Tapi satu hal yang pasti: memasak ini adalah penghargaan. Karena aku, sebagai suami, adalah tipe yang cintanya bertambah kalau ada masakan. Kalau tidak ada, cintanya tetap ada, sih. Tapi lebih baik kalau ada rajungan pedas di atas meja, bukan?
Dan yang aneh, dia juga suka dengan masakanku. Impas. Tapi tetap saja, aku lebih suka makanannya daripada makananku sendiri. Itu fakta.
Terus terang, kalau pagi aku sarapan masakan istri, semangatku bisa berkobar sepanjang hari. Bukan cuma semangat, tapi juga rasa bahagia yang entah kenapa seperti ikut terselip di bumbunya. Dan kebaikan itu akan terus teringat sampai malam menjelang, seperti suara lagu yang terus terputar di kepala.
Sebelum tidur, biasanya ada ritual khusus. Yang jarang-jarang kami melewatkan. Ritual ini sederhana, tapi membuat hidup kami lebih bahagia. Bahagia yang benar-benar bahagia, bukan basa-basi atau pura-pura bahagia.
Ritualnya? Istri selalu meminta maaf. Dia akan menggenggam jemariku, lalu berkata dengan suara lembut, “Ayah, maafkan Bunda untuk hari ini.”
Entah kenapa, setiap kali aku mendengar itu, hatiku seperti mencair. Sebagai suami, justru aku semakin menyayanginya. Padahal sering kali aku yang bersalah, tapi dia tetap yang meminta maaf duluan.
Setelah itu, aku akan membalas, “Makasih ya, udah ngerepotin seharian ini. Maafin Ayah juga, karena belum bisa memberikan kebahagiaan yang lebih.”
Dan selesai sudah ritual itu. Sederhana, tapi ada kedamaian yang masuk ke dalam hati. Setelah itu, barulah kami pergi tidur. Dengan tenang. Dengan bahagia. Dengan cinta yang entah kenapa selalu terasa baru setiap harinya.