Rumah kembali sunyi. Anak sulung dan anak tengah telah kembali ke pondok mereka.
Dua minggu bersama untuk si sulung, dan sebulan penuh dengan si tengah—rasanya waktu berlalu begitu cepat. Seperti keluarga lain, kebersamaan itu membawa kebahagiaan, sekadar berkumpul dan berbagi kehangatan sudah cukup mengisi hati.
Anak-anak memang seperti perhiasan. Indah, dicintai, tapi tak pernah bisa dimiliki sepenuhnya.
Minggu kemarin adalah hari yang penuh rasa. Bahagia karena melihat mereka tumbuh mandiri, tapi juga sedih karena harus melepas mereka kembali ke jalan masing-masing.
Tapi begitulah hidup. Setiap anak akan melangkah di jalannya sendiri, menapaki takdir yang telah digariskan untuk mereka. Sebagai orang tua, tugas kami hanya mengantar, memberi bekal, dan mendoakan agar masa depan mereka menjadi seindah mungkin.
Si sulung kini pergi ke Semarang, Jawa Tengah. Sementara si tengah lebih dekat, tinggal di Kuningan, Cirebon.
Aku tahu, keduanya masih merindukan rumah. Masakan ibu, suara tawa, atau bahkan permainan sederhana dengan teman masa kecil—semuanya adalah potongan kenangan yang selalu mereka bawa.
Kami meninggalkan rumah sekitar pukul 07.00 menuju titik penjemputan. Tiba di sana pukul 08.30, beberapa keluarga sudah lebih dahulu hadir, sementara bus penjemputan telah menanti sejak subuh.
Saat waktu keberangkatan tiba, anak-anak satu per satu menyalami orang tua mereka. Ada keraguan di langkah mereka, mungkin antara berat hati dan kewajiban belajar. Wajah-wajah para orang tua penuh dengan harapan, doa, dan cinta tanpa syarat. Sebagian bahkan tak mampu menahan air mata.
Melihat anak-anak tumbuh besar, saya sadar bahwa waktu terus berjalan. Fokus saya kini hanya mengantarkan mereka menuju masa depan yang baik dan mempersiapkan diri menghadapi akhir perjalanan hidup saya.