Ahsani Taqwim namanya…seorang anak yang lahir di Gayo Lues 15 oktober 2018, rambut ikal berombak macam sarimi rasa mi goring, hmmm sedap. Maksudku sedap memandang wajahnya, anak ini bermain riang di halaman rumahku, puasa Ramadhan belum berbuka di Mereudu, tapi dia dengan mandat kebebasan seorang anak dari Tuhan, dengan santai berbuka puasa dengan sebuah risol lezat buatan istriku…
“Terimakasih Bude” lalu riang dia melompat kesana kemari.
Dia anak gayo, sehari hari memanggil ayahnya dengan ucapan ama…ya ama joseva
Dan memanggil ibunya dengan ucapan ine…ine adis..
Joseva adalah pemuda gayo yang mempersunting Adis seorang gadis gayolues. Mereka telah menjadi teman akrabku sejak tahun 2018.
Bermula dengan penempatan Joseva sebagai cpns di Pidie Jaya tahun 2017. Dia seorang diploma teknik sipil, sebuah keahlian yang dibutuhkan daerah ini, pas pula raja daerah menunjuk dia sebagai tukang periksa konstruksi di sebuah kantor audit mengaudit.
Lintasan kenangan ku melayang kemana kusuka. Tanah gayo kusentuh pada saat aku belum menikah tahun 2001. Urusan manusia gayo juga dimulai jauh jauh hari saat aku sekolah dasar di lingke banda aceh, aku punya teman arwinsyah arahim sohar, seorang gayo cerdas, juara satu langganan, juara baca tulis pustaka provinsi aceh, yang kenalin aku lagu slank dan swami sawung jabo iwan fals kantata takwa saat kami SMA 3 di Banda. Lalu di perumnas lingke tempat aku tinggal aku berkenalan juga dengan empat lelaki gayo dari keluarga Pak Ikhsani lorong tiga, semua sukses dengan karir masing masing.
Menarik sekali, saat sekolah dasar juga aku mengenal rasisme aceh atas gayo, ada ucapan bi tuenti seven atau B27…ejekan ini dilontarkan salah satu teman acehku berkulit putih terang seperti china sampai dijuluki achong. Pernah si achong ini menyuruh aku berteriak dalam lokal, saat guru keluar meninggalkan kelas setelah memberi catatan di papan tulis. Teriakan aku menggema…BIIII tuentiiiii seveeeeen…. Selesai.
Oh ternyata tidak, keluar dari lokal aku diajak berantam oleh si win alis arwinsyah… karena b27 adalah ucapan penghinaan untuk ras gayo yang dileceh dengan batak dua tujuh. Alamak mana aku tahu…
Di saat kuliah dan SMA pun aku sering melihat kepongahan teman teman Acehku, ada yang rasis sama gayo, rasis sama Jawa, dan paling parah rasis sama China.
Tahun 2005 kupercepat ini cerita…aku melayang dengan burung besi Jatayu ke tanah jawa. Sebuah ras yang sangat dibenci orang aceh dengan segala alasan politik dan sejarah. Aku berusia 28 tahun, korban tsunami, sedikit banyak benci jawa benci gayo karena asupan pergaulan. Perlahan itu terkikis, dan tahun terus berjalan. Aku sampai berapa kali mengikuti pelatihan di tanah jawa yang ternyata isinya bukan semua suku jawa. Aku mulai belajar buka mata, melihat kebaikan orang sunda, orang banten, orang betawi, dan terakhir dengan berat hati kuakui orang jawa juga ada baiknya.
Dalam masa pendidikan dan pelatihan tahun 2005 di pusat penataran pendidikan guru srengseng sawah, aku saat makan malam duduk berpindah pindah meja. Mendatangi seluruh kelompok peserta diklat yang berbeda suku. Pernah aku satu meja dengan teman jawa, manado, Kalimantan, melayu Riau babel, anak anak Makassar dan yang paling pertama aku datangi meja teman teman papua.
Umumnya anak anak luar Jawa sangat membenci walau dengan sindiran dominasi Jakarta atas provinsi mereka. Aku diam saja, mencerna sedikit, beda jauh jika berjumpa teman papua, aku juga ikut meletup larut dalam gaya bicara mereka yang selalu bangga berkata…kita orang papua basodara dengan kamu orang aceh. Tahulah kalian sendiri kenapa.
Saat kuliah dan sampai tahun 2021 tulisan ini kutulis, aku merasakan banda aceh adalah kota paling mudah belajar menghapus rasisme. Bukan tak ada demo anticina saat aku sekolah tingkat taman kanak kanak, tapi saat aku kuliah semua lebur. Khusus teman gayo, mereka memang terkesan ekslusif, kalau bicara sering pakai Bahasa mereka, tapi kalau diusut lebih jauh, kita yang orang aceh pun sering asal nyeplos Bahasa kita tanpa menghargai mereka yang “tengoh tengik ngik” dalam kerumunan kita. Satu sama, bagi aku.
Saat kuliah ada teman yang bernama win wan nur abang letting 92 teknik sipil, aku sendiri kuliah teknik tahun 94. Dia sering sampai saat ini menulis di laman facebook nya teman rasisme aceh atas gayo. Sebuah kenyataan. Bagi aku tak masalah, rasisme memang ada di Aceh, cukup terkutuk kalau kita menutupinya. Cuma ya itu dia, semua butuh kebijakan masing masing orang sampai separah mana rasisme itu diambil dalam bentuk tindakan.
Mungkin aku bukan seorang yang begitu paham agama, tapi aku yakin dengan kebenaran Al Quran. Ketika Allah berfirman Kami Ciptakan Manusia bersuku berbangsa untuk saling mengenal, sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang bertaqwa…maka final bagi aku semua masalah.
Mau dia gayo, aceh, jawa, sunda, makassar bahkan dia lain negara misalnya keturunan china, eropa, Bengali india, atau blasteran ini itulah, selama dia orang beriman, bersyahadat, mengamalkan Islam dengan baik, maka dia dalam tingkat kemuliaan.
Hari ini aku memandang wajah Ahsani Taqwim, membidik kamera Samsung ku pada wajah imutnya, angina bertiup memainkan kriwil dia, ine ahsani sedang mengandung anak kedua, istriku yang sedang memanen daun ubi keriting sibuk membungkus hasil panen untuk dua keluarga. Dulu Ahsani sering kutimang saat ama dan ine ngekost di Meuraksa Mereudu, kini mereka telah membangun rumah sendiri di Mbeu Trienggadeng. Kami saling mengunjungi, dan tertawa bersama saat menikmati lezatnya kopi gayo.
Kadangkala …bahkan sering…aku berujar pada Joseva Ama Ahsani…kenapa ada rasisme gayo dan aceh, padahal kuah beulangong dan kopi gayo sama lezatnya. Danau laut tawar, ikan depik, panorama seribu bukit gayo lues, saman gayo …sama sedapnya dengan melihat lauk asam keumamah, mie aceh, gulai pliek, sate mereudu, nasi briani mereudu, pantai trienggadeng dan manohara. Semua berpadu dalam suasana alami, natural sekali. Cuma kadangkala sebagian kita belum terlepas dari doktrin yang salah, sesuatu yang diajarkan dalam turun temurun, kesalahan dengan rantai panjang.
Akhirnya semua berpulang pada setiap individu….
Aku melihat pasca tsunami, kita mengenal orang dengan berbagai warna kulit, dengan berbagai latar. Mulut aceh kita sedikit banyak pernah mencicip daun kemangi, daun pok pok an sunda di pecel lele, roti kebab turki, risol bakwan Jawa, lontong, rending padang, aneka lalapan, aneka sambal ceucah dan depik gayo.
Aku akhirnya kembali keluar dari kenangan…memandang lambaian ahsani si anak gayo muslim…dadah abuwa (karena aku orang aceh)…dadah bude..(karena istriku jawa tamiang)…dadah kakak Khadijah..dadah bang Khalid….ahsani pulang dulu yaaa.
Ah Ahsani, anak ini adalah perjalanan takdir…takdir multikultur kami.
Be A Good Moslem Ahsani……
Mantap abuwa, tapi maaf abuwa, Ahsani tahun 2017 😁😁
Terimakasih udah perkenalkan steemit, belum ada postingan sama sekali ni abuwa, masih belajar2 😁
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Maaf...trimkasih atas perbaikannya ama ahsani😁
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit