70persen ditutup, 30persen kita jalani
Hari ini adalah review pelangi kehidupan. Sebuah perjalanan saya lakukan ke Banda Aceh, untuk menjemput sebuah asa dari sedikit dana bagi hasil migas.
Untuk sebuah unit kerajaan yang baru tumbuh dalam urusan tanah ukur. Ada usaha menjemput peralatan yang disebut real time kinetic, sebuah alat yang bagus dan cukup anyar. Untuk merek toopcon saja membutuhkan anggaran sebesar mobil pajero. Kerja tim mengukur seluruh asset ke depan menjadi tuntutan agar terhidar dari komisi anti raswah, sebuah system kerajaan yang tidak ingin satu barang Negara indah ini hilang tanpa bekas.
Bersama seorang kawan dari Glumpang Minyeuk, perjalanan ini dilanjutkan. Halangan bukan tak ada, walau raja sudah setuju, wazir mendukung, dan kepala perencana habis-habisan. Tapi tetap saja ada pion pion perintang.
Pelangi muncul menyambut hari, jalanan juga menyisakan gerimis pemberi kesegaran pagi. Usai berjumpa punggawa penjaga pertanahan kerajaan langit di atas kami, sejumput janji segar menanti, katanya malam taraweh Ramadhan sepuluh hari menjelang, kami harus siap dengan segenap perhitungan, kematangan, melawan ketidak mungkinan.
Lelah juga melihat angka angka , kemungkinan gagal tujuh puluh persen, namun 30% keberhasilan yang harus dijalani. Perjuangan jauh lebih perlu dibanding ratapan.
Usai bermain angka di Kuta ALam, kami melangkah ke pinggiran kota. Mau ke Lem Bakri, jam masih pukul 11 siang, kami memilih minggir ke Aceh Moorden. Tak ada pesanan kopi kali ini, mulut kami sudah penuh kopi bermacam model sejak dari pulo pisang SPBU sigli, sampai di rumah punggawa di kuta Alam disuguh sanger, maka cukuplah di aceh moorden café di jalan pango ini air mineral jadi pilihan.
Pembicaraan kami melantur ke jalur evakuasi dan pos pos di atas bukit rungkom meureudu yang terbengkalai, masa jayanya tahun 2016 saat gempa pidie jaya terjadi seolah dilupakan kerajaan.
Berikut gambar penampakan atas pos, ketinggian 128 meter dari permukaan laut.
Lepas dikau kawan jika disini memandang Selat Malaka, dikelilingi searah jarum jam, pantai Manohara, sedikit Jangka Buya, tebing cadas irigasi Seunong, jalan menuju tempat pembuangan akhir Rungkom, gambaran sawah Kemukiman Beuracan, dan aksen jalan serta perkantoran kerajaan. Meureudu memang unik, ke pantai lima menit, ke sungai lima menit, ke gunung pos evakuasi di sini, Cuma 10 menit. Apakah ada yang mau mencoba, silakan jika kau jadi yang pertama.
Tempat ini awalnya adalah sebuah mesin pemecah batu, punya swasta. Sayang sekali, lokasi ini tak dilirik, tak dirawat dan difungsikan. Aku membayangkan seandainya ada teropong dengan kemampuan zoom lensa tinggi seperti di menara Eifel, lalu ada pos komando siaga bencana, dan sebuah pendidikan dan pelatihan rutin evakuasi bencana, sebuah mimpi indah, tapi kuyakin bukan omong kosong. Kujaga asa dan mimpiku dengan pose jempol dan tersenyum, karena semua mimpi baik wajib diperjuangkan, sebelum hidup menghadapi mimpi buruk.
Lamunan harus buyar, kembali ke jalan pango. Menyeret sang vios ke arah Lem Bakri, merasakan sensasi masih ada menu rasa turun temurun gulai kambing kuah beulangong aceh rayeuk yang mangat lagoina. Meuketam ulee , rasa dibalas timun sirup merah.
Batuk dan pening yang kurasakan dalam urus mengurus kerajaan hilang perlahan. Sekedar asa memohon ampun duli pada rakyat, yang kelaparan, begitu banyak syukur terucap, walau hutang Negara bertumpuk, maka takutlah menjadi punggawa bermental pencuri. Oh lemahnya manusia, dan perlunya iman dan mengakui kekurangan di dada.
Lalu sebagai seorang anak, banda aceh adalah kota yang dulu kurasa saat masih kampungan. Perjalanan hidup kutoreh disini dari tahun 1977 sampai tahun 2008. Aku merasa asing sama jalan pango ini, saat perlahan ingatan dibuka oleh Zulfikar Glumpang Minyeuk teman perjalananku. Dia bertutur, bahwa dia asli Lamteh. Jalan Pango ini dulu penuh semak belukar, jalan pematang besar, dan persawahan. Yaaa aku ingat, tiga puluh tahun lalu aku pernah berjuang beriringan bersepeda disini, mencari ikan cupang alias ikan laga. Namun semua sudah berubah, jalan besar gagah membelah, rumah padat menyeruak, hilangkan semua kolam rumput berair, sawah dilindas zaman. Tersadar daku, umurku empat puluh empat, peut ploh peut , cukup tua, persis hidangan prang orang aceh yang mengkeramatkan angka empat puluh empat, Cuma mitos , habis perkara.
Disamping rumah makan ini ada kuburan kuno, masih terjaga. Dan sebuah daging panggang asin dalam tatakan kecil, membuat rasa sadar tumbuh kembali. Manusia makan untuk ibadah, maka makanlah sekedarnya. Usia bicara, tak banyak kami bersantap, cukup sepiring berdua, selain menjaga tubuh alakadar, juga alakadir dompet isi kampong persis si kadir Madura mendarat di Surabaya, wuih semua serba mahal di banda aceh ini, bagi punggawa kampong, jalan terseok seok itu biasa. Syukur dan sabar, walau picisan kedengaran, sediakan hati lapang dan kuping tebalmu disini.
Kembali aku besok, ke negeriku yang mirip kerajaan Thailand, yang seharusnya berdikari mandi fulus dari kebun, sawah dan laut. Tapi seribu disayang, petani semakin tua dan yang muda cuma bertani di smartphone via village virtual, yang melaut kadangkala penuh serapah dalam nikmat dan bala. Tapi negeri kerajaan ini menumbuhkan sejuta cinta. Pada terminal kehidupan, kadangkala aku berhenti pada sebenar-benar terminal. Berkumpul disana, stemian yang ah rada-rada nyentrik, dengan ide gila, tapi sopan. Tidak memalukan, walau tertawa tanpa malu.
Petualangan berakhir sore ini di gerbang kampus darussalam, melihat tarian kuliner, mahasiwa dan rakyat menyatu....santap sore, menuju keremangan senja
Postingan ini telah dihargai oleh @steemcurator08 dengan dukungan dari Proyek Kurasi Komunitas Steem.
Ikuti @steemitblog untuk mendapatkan info tentang Steemit dan kontes.
Anroja
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit