Dana Perjuangan: Sebuah Cerpen Konflik |

in hive-105209 •  4 years ago 



Cerpen @ayijufridar

SUARA pesan singkat masuk terdengar susul-menyusul begitu aku mengaktifkan telepon selular. Di tengah kesunyian yang menyelimuti malam, suara pesan masuk itu seperti ledakan bom rakitan yang dulu sering terdengar.

Ah, sebenarnya bukan kesunyian malam yang membuat suara pesan masuk demikian menggema. Buktinya, di rumah sebelah masih terdengar suara orang mengaji dari sebuah transistor sebagai acara penutup siaran sebuah stasiun radio. Di seberang jalan, persis di depan rumah, sekelompok anak muda masih memetik gitar. Campuran suara orang mengaji yang ditingkahi dentingan gitar anak muda, sayup-sayup masuk ke rumahku bersama angin malam. Namun, suara-suara itu nyaris tak terdengar.

Hati dan pikiranku tertuju pada banyaknya pesan singkat yang masuk. Aku sudah menduganya. Maka ketika pesan singkat itu mulai kubuka, kurasakan jantungku berdetak lebih kencang. Angin malam yang masuk melalui celah-celah jendela, membuat dahiku terasa dingin karena keringat mulai mengucur di sana.

Sekejap kemudian hati mulai sedikit tenang saat membaca pesan pertama;

Kenapa tdk aktifkan hp? Tlg hubungi ak kalau sd aktif. Penting. Trims.

Pengirimnya Ampon Kemal, sahabatku di NGO. Kami punya program mendirikan sekolah alternatif. Para pelajarnya anak-anak korban konflik dan tsunami. Berbeda dengan sekolah biasa yang kerap menguras kantong wali murid, di sekolah alternatif para pelajar nanti malah dibayar. Jumlahnya memang tidak seberapa, hanya untuk biaya perjalanan dan sedikit untuk jajan. Kalau mereka mau sedikit berhemat, uang tersebut bisa disisihkan untuk tabungan.

Namanya juga sekolah alternatif, mata pelajaran yang diajarkan hanya empat; menulis, jurnalistik, fotografi, dan menari. Pengajarnya para praktisi di bidang masing-masing sehingga materinya hampir 80 persen praktek.

Aku mendapat proyek membangun sekolah alternatif sekolah tersebut. Tentunya melalui proses tender terbuka meskipun Ampon Kemal sudah menjadi sahabatku sejak lama.

Dari situlah masalah dimulai. Ada sekelompok orang yang meminta persen dari total jumlah proyek itu. Awalnya dia minta 30 persen yang katanya untuk dana memperjuangkan kemeridekaan. Aku langsung menolak mentah-mentah. Pertama, tidak ada yang namanya dana perjuangan setelah pemerintah berdamai dengan gerilyawan dan kemerdekaan menjadi lagu lama. Pihak yang bertikai kini sudah duduk semeja. Dan kedua, angka 30 persen sungguh luar biasa.

Dengan duduk-duduk saja ia sudah mendapatkan uang dalam jumlah besar. Padahal, dari total dana tersebut, kami para kontraktor harus menyisihkan untuk pimpinan proyek sekian persen, untuk kepala dinas sekian persen, dan pejabat militer serta kepolisian sekian persen. Belum lagi masyarakat sekitar sering minta bantuan ini-itu, mulai bola voli untuk kegiatan pemuda dengan alasan biar proyek kami tidak diganggu, sampai bantuan untuk warga miskin yang ada di lingkungan.

Dengan banyaknya biaya siluman tersebut, ujung-ujungnya dana yang turun untuk proyek hanya 50 atau 60 persen. Kami para kontraktor berhadapan dengan dilema. Mau mengerjakan sesuai bestek, berarti harus rela rugi. Tidak mau rugi, ya, harus tega mengurangi kualitas proyek. Selama ini, tak ada yang mau mengambil pilihan pertama. Jadi tidak heran bila kualitas proyek yang harus dikorbankan. Mungkin sekitar enam bulan serah terima, gedung yang kami bangun sudah runtuh atau jalan yang kami aspal sudah bisa ditanami rumput. Habis, mau bagaimana lagi?

Setelah aku menolak memberi 30 persen, tawarannya kemudian berkurang menjadi 20 persen. Dan kini, sekelompok orang yang masih memiliki senjata api itu mulai mengejarku untuk mendapatkan kepastian.
Aku hendak membaca pesan yang kedua ketika ponsel tiba-tiba bergetar. Sebenarnya aku tidak mau mengangkat sebelum mengetahui pasti siapa yang menelepon. Tapi, hubungan langsung tersambung ketika aku sedang memencet tombol untuk membaca pesan.

“Halo…” terdengar suara berat di seberang. Orang inilah yang menghubungiku sebelumnya dan meminta jatah 30 persen dan kemudian turun jadi 20 persen dari nilai proyek. Kalau tidak, proyek itu tidak boleh kulanjutkan. Hebat sekali dia. Belanda saja di zaman penjajahan dulu tidak sekejam itu.

“Assalammualaikum…”

“Tidak perlu mematikan hp. Saya sudah tahu rumah Anda. Anak dan istri Anda juga sudah saya kenal!” sambutannya sama sekali tak ramah.

“Kami mau mendapatkan kepastian. Kapan jatah 20 persen kami dapatkan?”

“Saya harus diskusikan dengan teman-teman lain dulu.”

“Kemarin juga alasannya begitu. Untuk apa diskusi lagi. Proyek itu punya Anda. Mau kasih atau tidak, urusan Anda!”

Kemarin dia memang meneleponku sehingga ponsel terpaksa kumatikan. Sata kalimatnya kemarin yang paling kuingat adalah, jangan coba-coba mengulur waktu. Strategi ini memang dilakukan kontraktor sambil berharap orang yang memeras itu (mereka sangat alergi dengan kata ‘memeras’) tertangkap atau ditembak mati. Tapi saat sekarang mustahil berharap kejadian itu menimpa Amad Tungai, lelaki yang meneleponku itu. Dia dan kelompoknya bukan lagi orang yang diuber-diuber aparat keamanan. Mereka kini bebas melakukan apa pun tanpa perlu khawatir ditangkap polisi atau tentara. Kalau terbukti mereka melakukan tindak kejahatan, pimpinan mereka tinggal bicara kepada wartawan; bahwa pelakunya bukan bagian dari mereka. Kalau terbukti pelakunya anggota mereka, maka sang pimpinan akan bicara; apa yang dilakukan anggota itu bukan kebijakan dari organisasi, itu urusan pribadi.

Mudah saja mereka mencari alasan, semudah mereka mendapatkan uang dari keringat dan darah orang lain.

“Kami ingin mendapatkan jawaban besok.”

“Maaf, besok tidak bisa…”

“Jangan bilang tidak bisa. Malam ini sebenarnya juga bisa, kalau mau.”

“Anda tidak bisa memaksa saya.”

“Untuk orang seperti Anda memang perlu dipaksa.”

“Katanya sudah damai…”

“Damai itu di atas. Perjuangan jalan terus, dan kita butuh dana. Ingat, menolak berarti Anda menggadaikan leher kepada kami. Saya tunggu jawabannya besok!!”

Dengar saja bahasanya yang tak kenal sopan santun itu. Seolah-olah dia punya saham ketika meminta persen tanpa kontribusi apa pun. Katanya untuk dana perjuangan. Tapi aku tahu pasti uang itu untuk dia sendiri dan kelompoknya. Uang itu paling digunakan untuk membeli emas istrinya, atau dijadikan modal untuk kawin lagi. Aku sudah beberapa kali memberikan uang buat mereka dengan dalih dana perjuangan. Jumlahnya tidak ingat persis, yang pasti melebihi jumlah zakat harta 2,5 persen yang kuserahkan melalui baitul mal.

Aku mengela napas panjang sembari mematikan ponsel. Tidak bernafsu untuk melanjutkan membaca pesan singkat lain. Pembicaraan barusan sudah menguras semangatku. Apa yang harus kulakukan kini?

“Dia menelepon lagi?”

Tanpa kusadari, ternyata sejak tadi istriku berdiri di depan pintu kamar kami. Tubuhnya sudah diselimuti baju tidur. Rambut panjangnya terlihat kusut, seperti pikiranku saat ini. Namun kusutnya rambut istriku memberi kesan alami, dan menawarkan keindahan yang sayangnya, tidak mampu mengurangi kekusutan pikiranku.

“Baiknya Cut Bang berikan sajalah, daripada ribut-ribut...”

“Mereka sudah keenakan mencari uang dengan cara itu. Kalau kita terus-terusan menuruti, orang lain akan terus menjadi korban. Kita harus berani melawan.”

“Melawan orang gila, sama saja bunuh diri.”

“Kita memang jadi korban kalau melawan. Tapi tidak melawan pun, kita tetap menjadi korban. Pilih mana, coba. Kalau tidak ada yang berani menolak permintaan mereka, maka selamanya kita akan menjadi korban.”

“Kalau ase pungoe menggigit kita, bukan berarti kita harus balas menggigit.”

Aku diam. Istriku memang tipe orang cari aman. Dulunya, aku juga demikian. Tapi kali ini tidak lagi. Aku harus melawan. Bukan dengan cara kekerasan karena itu sama saja dengan menggigit anjing gila seperti dikatakan istriku. Ada empat pilihan yang bisa kulakukan.

Pertama, melaporkan kasus ini kepada polisi atau tentara. Risikonya, aku bakal menjadi musuh kelompok pemeras itu seumur hidup. Kedua, melaporkan kasus ini kepada pimpinan kelompok mereka. Tapi kecil kemungkinan akan diselesaikan dengan baik. Paling-paling, pimpinan mereka akan mengatakan yang memeras itu bukan anggota mereka, atau paling tidak aku tetap diminta membayar dana perjuangan dengan jumlah yang lebih rendah setelah berdamai. Ketiga, aku melaporkan kasus itu kepada wartawan. Dalam situasi seperti sekarang, kelompok pemeras itu hanya takut kepada wartawan, itu pun kalau media asing. Mereka lebih takut kepada segala sesuatu yang berbau asing, terutama Amerika Serikat, dibandingkan dengan malaikat pencabut nyawa.

Aku belum bisa memutuskan pilihanku. Barangkali bisa kupikirkan sambil menunggu kantuk datang di atas tempat tidur.




Meskipun baru bisa memejamkan mata sudah menjelang pagi, aku bangun tidur dengan kondisi tubuh lebih segar. Setelah shalat Subuh, aku membuka jendela dan mengirup udara pagi sampai batas maksimal paru-paruku mampu menampungnya. Istriku sedang di dapur menyiapkan sarapan bagi anak-anak yang hendak berangkat sekolah.
Inilah waktu yang tepat memulai rencana itu. Aku membuka laci di dalam lemari pakaian. Meskipun lemari tersebut hampir setiap hari kubuka, tapi tidak dengan lacinya yang terletak di bagian bawah. Dalam laci tersebut, kuambil sebuah kotak kayu berukuran 45 sentimeter. Dari kotak kayu berukir, kukeluarkan sebilah rencong dengan gagang gading berwarna putih kekuningan.

Inilah sebilah rencong peninggalan ayah yang diwariskan pak nek. Entah sudah berapa serdadu Belanda merenggang nyawanya di ujung rencong ini ketika pak nek mempertahankan Aceh dulu.

Sungguh! Aku tak berharap rencong ini akan keluar dari sarungnya. Akan kutegaskan bahwa aku tidak bisa meluluskan permintaan mereka, karena itu pemerasan. Terserah mereka mau menerima atau tidak. Kalau mereka tetap mengancam, akan kulayani. Aku tidak takut mati karena percaya orang yang mempertahankan harta yang diperoleh dengan cara halal, jika mati akan mendapat pahala syahid. Dan aku bangga menjemput kematian sebagai seorang kesatria, bukan mati sebagai perampok!


Lhok Seumawe, Januari-April 2007

Catatan:

  • Cut Bang: Abang atau kakanda
  • Ase pungoe: anjing gila
  • Pak nek: kakek

============================================

Lhok Seumawe, 3 April 2007

Cerpen di atas masuk dalam antologi Cinta Dalam Secangkir Sanger (2021).



Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Mantap. Membawa kenangan akan pelabagi peristiwqa di Aceh, meski saya tidak tinggal di Aceh namun ikut terbawa alur...
Salam
Semoga Aceh damai senantiasa. Semoga sewmua berbahagia...

Bacaan bergizi di akhir pekan. Salam kreatif bang.....

Nampaknya ni akan lahir "Sisa Kabut Perang" lanjutan dari Kabut Perang sebelumnya.

Kabut Perang memang disiapkan untuk sebuah trilogi, tapi entah kapan bisa selesai, hehehehe....

Ditunggu Brader @ayijufridar kelanjutan Kabut Perang