Mengarang itu mudah yang susah adalah mencari nama besar.( Aswendo Atmowiloto)
Tugas pertama penulis adalah menulis. Sebenarnya selaku penulis pemula kita tidak usah dulu mencari nama, yang terpenting yang harus kita lakukan adalah menulis saja, sesudah itu kembali membaca. Beberapa pertanyaan yang sering muncul ketika saya mengikuti kelas menulis adalah kenapa tulisan saya tidak pernah dimuat di surat kabar. Pertanyaan ini terus berkelidan dari masa ke masa.
Munculnya pertanyaan tersebut sesungguhnya sangat manusiawi, mengingat semangat yang sudah kita pupuk demi menyelesaikan sebuah karya itu tidak mudah. Mungkin banyak orang yang paham kaidah-kaidah menulis yang benar tapi hanya sedikit yang punya kesabaran dan ketekunan dalam menyelesaikan tulisannya. Nah, pada titik ini, saya secara pribadi makanya saya sangat menghargai sebuah karya tulis seseorang sekalipun tulisan tersebut belum layak dikatakan bagus. Lalu pertanyaannya adalah; apakah jika saya seorang kurator di sebuah media akan meloloskan karya yang belum layak itu, hanya karena saya sangat menghargai kerja keras seseorang.
Dari sini pertanyaan-pertanyaan di atas terjawab sudah kenapa karya kita belum juga dimuat di sebuah media, padahal kita sudah sudah banyak mengirimkan tulisan ke media, jika dihitung dan dikumpulkan tulisan-tulisan itu mungkin sudah bisa di kumpulkan menjadi satu buku.
Sepatutnya sebuah tulisan yang dipilih kurator untuk dimuat di kolom surat kabarnya adalah tulisan yang memenuhi syarat, dari cerita menarik, tulisan yang baik dan benar, apalagi punya sisi cerita yang berbeda. Artinya setiap penulis baik yang sudah punya nama maupun yang masih pemula punya kesempatan yang sama untuk dinilai karyanya di sebuah media.
Karya dan Nama Besar
Saya bingung jika membahas tentang hal ini, antara karya tulis dan nama besar. Pernah satu kali saya mengikuti kelas menulis yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Aceh, Lhokseumawe (DKAL) tahun 2013 silam, pada saat itu seorang pemeteri mengatakan bahwa dalam sastra juga terjadi Nieopotisme. Terlepas benar tidaknya kecurigaan ini, yang jelas jika ini benar terjadi maka sangat disayangkan di mana sebuah intelektualitas dipertaruhkan. Namun, pada dasarnya hal ini menjadi sebuah telah teki bagi setiap penulis, apakah benar nama besar sangat mempengaruhi layak tidaknya sebuah karya dimuat di media.
Baru-baru ini, seorang penulis besar menjadi sorotan publik. Seorang As Laksana yang membuat pengakuan dosa pada dinding Facebooknya. Di mana seorang As Laksamana melakukan plagiarisme, meminjam karya anak kelasnya sendiri yang kemudian dikirimkan ke media Jawa Pos dengan mencantumkan nama besarnya. Tanpa menungu lama cerpen itu langsung tayang di sana. Beberapa hari kemudian pengakuan dari AS Laksana telah mengguncangkan jagat sastra Indonesia. Berbagai komentar bermunculan dari berbagai kalangan, baik dari pengamat Sastra, penulis hingga orang biasa--seperti saya.
Saya secara pribadi tidak berani megatakan apa yang dilakukan oleh As Laksana itu masuk dalam katagori plagiat atau tidak. Berbagai polimik warung kopi muncul, ada yang mengatakan As Laksana sengaja melakukan itu untuk menguji para kurator surat kabar bagaimana mereka dalam memilih dan memilah cerpen yang layak muat, apakah mereka mengutamakan nama besar atau kualitas tulisannya. Artinya Seorang AS Laksana tidak ingin cerpennya dimuat hanya karena dia punya nama besar. Bila benar ini terjadi bagaimana nasib dengan para penulis pemula, penulis yang tidak punya nama besar. Artinya setiap penulis harus punya kesempatan yang besar bagi tulisan untuk ikut ambil bagian di surat kabar cetak maupun elektronik.
Terlepas dari semua itu, kita belum pantas menghakimi, menjustifikasi, karena apa dan demi apa yang dilakukan oleh sang penulis yang punya karya-karya hebat seperti AS Laksana. Kita tidak perlu menyimpulkan sesuatu yang bersifat misteri yang perlu kita garis bawahi adalah sebagai penulis kita punya ruang yang sama untuk menyajikan sebuah karya terbaik kita untuk dibaca khalayak.
Wow..mantap..! Ulasannya keren..Tapi kiban cara tapeugot gamba yang diyupnyan @nasrol. Yang na foto droe keuh..bagi ilmunya ya..
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Nyan photo ambil di internet, sertakan sumber. 😃
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Saya juga tidak berani berkomentar tentang AS Laksana itu @nasrol. Masalahnya, saya tidak mengikuti kasus tersebut dari awal, hanya membaca komentar penulis lain di media sosial.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
B @ayijufridar_ Terimakasih tanggapanya. Sebenarnya tulisan ini lebih untuk menyemangati penulis muda untuk terus berkompetisi dalam berkarya, bahwa setiap penulis punya kesempatan menulis di media besar tanpa harus membawa nama besar.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Menurut saya mengapa penulis setara AS Laksana tulisannya langsung dimuat. Karena AS Laksana punya pembaca yang menantikan karyanya dan itu jadi pertimbangan media koran untuk memuatnya.
Pengalaman saya, nama besar atau seleb sangat menjual oplah koran tersebut. Terkadang redaktur mencari penulis yang memiliki banyak pembaca untuk dimuat karyanya. Bisa meminta langsung pada penulisnya untuk mengirim naskah yang akan dimuat.
Koran bertindak dari sebab target penjualan, jadi wajar jika koran tersebut memuat karya atas nama AS Laksana, karena AS Laksana punya pasar pembaca. Tapi cara AS Laksana memuat karya dari muridnya, sebuah tindakan bunuh diri. Entah jika beliau memang sudah putus asa dengan idealismenya 😁
Itu menurut pendapat saya.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Tidak ada yang tau apa mau AL semua masih misteri, mengingat para penulis yang punya cara berpikir yang berbeda.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit