Membangun Citra dan Motivasi Fasilitator

in hive-107252 •  3 years ago 

Dalam usaha memperbaiki kondisi objektif fasilitator diperlukan adanya terapi yang tepat agar segala macam virus yang mendekam di dalam tubuh bisa musnah, sehingga kondisi tubuh bisa pulih kembali.

  1. Menjunjung Tinggi Nilai dan Prinsip

Fasilitator adalah individu ataupun sekelompok orang yang terorganisir untuk melakukan perubahan secara terus-menerus. Hal ini membawa konsekuensi logis pada setiap gerak organisasi yang senantiasa harus diarahkan pada perbaikan kehidupan manusia. Perubahan bagi Fasilitator merupakan suatu keharusan, demi terwujudnya transformasi sosial. Dalam melakukan profesinya, fasilitator meyakini bahwa program sebagai doktrin yang mengarahkan pada peradaban secara integralistik, transenden, humanis, dan inklusif. Dengan demikian fasilitator harus berani menegakkan nilai-nilai universal kemanusiaan seperti kejujuran, kebenaran dan keadilan serta prinsip-prinsip good governance (tata pemerintahan yang baik), seperti transparansi, akuntabilitas dan lain sebagainya.

Guna menjaga konsistensi dan kontinuitas fasilitasi, maka usaha yang dilakukan setiap fasilitator secara individu maupun secara institusi harus senantiasa berpegang pada kode etik fasilitator dan tanggungjawab yang tertuang dalam Matrix Standard Accountability Personel (MSAP). Kode etik bagi fasilitator merupakan karakter kepribadian yang terwujud didalam bentuk pola pikir, pola sikap dan pola laku setiap fasilitator baik dalam dinamika dirinya sebagai fasilitator maupun dalam melaksanakan “misi” program. Sedangkan MSAP, implementasi profesi yang terukur dilandasi sebuah tanggungjawab baik secara individu maupun tim dalam kiprah pendampingan di masyarakat.

Setiap perjuangan fasilitator harus selalu disesuaikan dengan konteks dan realitas sosial kekinian. Kini masyarakat sedang mengalami situasi transisi demokrasi yaitu pergeseran budaya,sosial, politik dan tata pemerintahan sebagai buah reformasi. Sebagai ciri masyarakat transisi adalah bermunculannya aspirasi masyarakat yang menuntut adanya perubahan sebagai cerminan kepedulian masyarakat terhadap dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Istilah Daniel Bell dan John Keane, aktor-aktor perubahan sosial disebut civil society, lahir dalam dinamika itu, yang setidak-tidaknya memiliki tiga ciri pokok perubahan, yaitu; Pertama, adanya kemandirian yang relatif tinggi dari individu-individu, kelompok-kelompok dalam masyarakat, dalam rangka tawar menawar terhadap negara. Kedua, adanya ruang publik yang tersedia sebagai wahana partisipasi politik masyarakat. Ketiga, adanya kemampuan membatasi kekuasaan negara agar tidak menjadi kekuatan yang intervensionis. Dalam perspektif inilah, maka kebangkitan partisipasi masyarakat merupakan indikasi adanya semangat proses demokratisasi dan pembangunan di Indonesia, salah satunya dibangun melalui program pemberdayaa masyarakat.

Oleh karena itu, fasilitator adalah bagian dari aktor-aktor perubahan yang harus mampu mendukung dan menjaga perubahan sosial kearah yang positif dengan mengedepankan nilai dan prinsip sebagai landasan berpikir, bersikap, dan bertindak. Setiap fasilitator, mulai tingkat Pusat, Regional, Wilayah, Kota/Kabupaten dan tim fasilitator harus menjunjung tinggi nilai- nilai luhur kemanusiaan dan prinsip good governance (tata pemerintahan yang baik) dalam menjalankan rutinitasnya. Apalagi, kita memang memiliki tanggungjawab menerapkan dan menumbuhkan kembali nilai dan prinsip dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Seperti istilah yang dikutip dalam modul Fasilitator Perubahan:

“Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat bukan boneka!. Tampak bagus dan indah dari luar, namun senantiasa terdiam dan tidak mampu berbuat apapun! Fasilitator Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat adalah agen perubahan masyarakat, yang mendampingi masyarakat untuk menemukan dan memulihkan kembali nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai kemasyarakatan yang hakiki menuju pintu gerbang kesejahteraan mereka!”

Pertegas Kode Etik Fasilitator

Dijelaskan di muka, bahwa Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat berperan strategis sebagai agen perubahan ataupun agen pembangunan dituntut menjunjung tinggi 14 poin kode etik karena merupakan karakter kepribadian yang terwujud didalam bentuk pola pikir, pola sikap dan pola laku setiap fasilitator baik dalam dinamika dirinya sebagai fasilitator maupun dalam melaksanakan misi program, meliputi :

Pertama, senantiasa melihat masyarakat sebagai tambang yang penuh sifat-sifat luhur/mulia manusia dan tugas utama seorang fasilitator adalah menggali tambang-tambang tersebut sehingga sifat-sifat luhur tersebut muncul, tumbuh dan berkembang.

Kedua, menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai kemasyarakatan dalam melaksanakan pembangunan di lingkungan masyarakat.

Ketiga, berpijak dan berorientasi pada kepentingan dan tujuan utama program pemberdayaan secara keseluruhan , serta tidak didasarkan pada kepentingan dan tujuan pribadi, kelompok atau golongan.

Keempat, senantiasa berpihak pada kelompok marjinal (warga yang tertindas).

Kelima, taat asas dan konsisten pada upaya-upaya pemberdayaan masyarakat miskin agar mampu meningkatkan harkat dan martabat mereka sesuai harkat dan martabatnya sebagai manusia luhur dan warga negara.

Keenam, senantiasa melayani masyarakat dan tidak sesekali minta dilayani masyarakat.

Ketujuh, tidak diperkenankan untuk meminta imbalan atau menerima imbalan dari masyarakat.

Kedelapan, berorientasi kepada kemandirian masyarakat agar mampu menangani persoalan kemiskinan. dengan potensi yang dimilikinya dan tidak menciptakan ketergantungan masyarakat pada fasilitator maupun pada keberadaan atau bantuan dari pihak-pihak di luar masyarakat.

Kesembilan, senantiasa berupaya merangkul berbagai pihak ke dalam iklim kemitraan, kebersamaan dan kesatuan, serta tidak menciptakan pengkotak-kotakan maupun menunjukkan sikap diskriminasi.

Kesepuluh, tidak berorientasi kepada TARGET saja, tetapi juga mengedepankan PROSES.

Kesebelas, tidak memberikan ‘janji-janji ‘ muluk kepada masyarakat.

Keduabelas, senantiasa menjunjung tinggi prinsip-prinsip partisipasi, demokrasi, transparansi, akuntabilitas dan desentralisasi.

Ketigabelas, menjunjung tinggi nilai-nilai; dapat dipercaya, jujur, ikhlas, adil, setara setara dan kebersamaan dalam keragaman.

Keempatbelas, menganut dan menjunjung tinggi integritas profesi .

  1. Memperkuat Tradisi Intelektual

Tradisi intelektual yang diinginkan adalah lebih transformatif karena mencoba memperkuat komitmen perubahan. Ilmu yang tidak transformatif, tidak akan berguna bagi masyarakat. Pengetahuan yang transformatif tentu menjadi dambaan masyarakat terutama dalam menyelesaikan problem-problem besar bangsa ini seperti kemiskinan dan ketidakadilan. Oleh karena itu, tradisi intelektual merupakan harga mati yang harus dimiliki oleh fasilitator sebagai agen perubahan, baik internal maupun eksternal.

2.1 Gerakan Internal

Pelatihan merupakan ruh bagi setiap fasilitator. Bagaimanapun juga setiap faslitator yang telah terlatih, sedikit banyaknya memiliki SDM yang andal. Dengan kata lain, pelatihan fasilitator itu penting dilakukan dengan konsep yang berkualitas. Methode pelatihan secara berjenjang dan yang sistematis dahulu pernah dipraktekkan, harapannya dapat diterapkan kembali. Begitu pula setiap fasilitator yang baru direkrut harus diberikan pelatihan dasar, bukan membiarkannya terjun tanpa ada bekal pengetahuan yang memadai. Setidak-tidaknya, pihak yang merekrut menerapkan itu sebagai langkah awal penguatan kapasitas fasilitator.

Perlu disadari, terhitung hari ini masih terdapat fasilitator yang belum mengikuti pelatihan dasar, pelatihan dasar lanjutan, pelatihan penguatan dan jenis pelatihan lainnya. Inilah yang menjadi tanggung jawab kita semua, menyikapi realita yang ada. Mereka tanpa bekal yang memadai dihadapkan dengan kondisi masyarakat yang dinamis, kritis dan memiliki pemahaman program cukup lumayan. Jangan heran, seandainya fasilitator ini tidak mampu memberikan yang terbaik dari subtansi maupun militansi dalam pendampingan di masyarakat sehingga berdampak pada suksesi penanggulangan kemiskinan. Tentu menjadi kendala, bila ini dibiarkan.

Team leader tidak boleh berdiam diri mendengar dan menyaksikan persoalan ini. Maka dari itu, segera melakukan langkah strategis disamping memang perannya melakukan tanggungjawab penguatan subtansi dan militansi. Apalagi, Provinsi Sumatera Utara memiliki banyak pemandu Nasional baik di tingkat pusat maupun yang menyebar disetiap kabupaten/kota.

Ada dua hal yang perlu didorong oleh petinggi program pemberdayaan masyarakat, untuk merealisasikan gerakan intelektual secara internal:

Pertama, memotivasi dan memfasilitasi setiap tim korkot untuk memperbanyak aktivitas yang merangsang dan mendukung tumbuhnya tradisi intelektual, seperti budaya riset, diskusi terkait subtansi maupun perkembangan masyarakat dengan terarah dan sistematis. Hal ini dapat dilakukan dengan cara seminar, KBIK, pelatihan, lomba penelitian dan penulisan karya ilmiah secara rutin dan terencana.

Kedua, memotivasi dan memfasilitasi setiap tim korkot untuk menyediakan media dan wadah sebagai tempat terjadinya transaksi ide dengan cara menerbitkan jurnal ilmiah atau buletin secara rutin dan terencana.

Fasilitator sebagai kaum intelektual harus serius dalam menyelesaikan problem masyarakat. Untuk dapat mencari penyelesaian, harapannya dengan menumbuhkan tradisi intelektual-sistemik di lingkungan internal terlebih dahulu. Tradisi ini dimulai dari komunitas fasilitator yang setiap saat menerima dan mentransfer nilai serta mencipta kesadaran epistemologis. Tanggung jawab keilmuan harus disadari dengan baik, agar paradigma berpikir kita mengarahkan pada penyelesaian persoalan mendasar dan kemanusiaan.

2.2. Gerakan Eksternal

Tradisi intelektual, bisa dijadikan referensi yang akan mengarahkan para intelektual ke arah perbaikan masyarakat dengan berpikir integral dan sistematis dalam merumuskan pergerakannya secara eksternal.

Pertama, perubahan cara berpikir yang sistemik di kalangan fasilitator, untuk melihat kondisi masyarakat dan daerah melalui kebijakan yang ada. Kemampuan analisis dari kalangan fasilitator sangat diharapkan untuk melakukan desain kekuatan gerakan sosial ke arah pembentukan masyarakat yang berdaya, mandiri hingga madani.

Kedua, di lingkungan sosial, harus membentuk pusaran kajian-kajian kritis yang berkesinambungan tentang bagaimana menyelesaikan problem masyarakat, ditopang dengan dukungan media publikasi, berupa media warga.

Ketiga, kekuatan gerakan harus diarahkan pada problem penyelesaian nilai kemanusiaan, bukan atas sifat ekslusif pribadi atau fanatisme kelompok, termasuk menepis kepentingan pribadi atau kelompok yang mengatasnamakan gerakan sosial.

Keempat, penguasaan sains dan teknologi yang di topang dengan kesadaran ideologi sebagai arah perjalanan pergerakan yang beretika dan bermoral.

Kelima, Intelektualis fasilitator harus bergerak dalam dua arah dalam mendampingi masyarakat yaitu ; antara idealita dan realita, antara individu dan sosial, antara vertikal dan horizontal, antara profesionalisme dan humanisme, antara misi kemanusiaan dan misi kenegaraan.

  1. Manajemen Konflik Secara Baik

3.1 Menata Konsolidasi Organisasi

Konsolidasi merupakan hal yang penting dan harus diutamakan untuk pembenahan dan perjalanan organisasi kerja setiap level, mulai nasional, provinsi, kota/kabupaten hingga tim fasilitator. Secara berjenjang, konsolidasi harus berjalan dalam rangka memperkuat institusi sekaligus soliditas pelaku setiap level. Komunikasi dari atas kebawah harus berjalan memberikan perhatian dan bimbingan baik subtansi maupun tupoksi secara rutin sehingga muncul rasa kebersamaan dan tanggungjawab, begitu pula sebaliknya. Sebenarnya konsolidasi ini telah diatur sedemikian rupa oleh program sesuai levelnya. Misalkan, adanya pertemuan rutin antara tim kabupaten/kota dengan team leader dan Satker Provinsi. Begitu juga, team leader secara terencana dan merata melakukan kunjungan ke kabupaten/kota.

3.2 Mulailah Membangun Solidaritas Tim

Dalam menjalankan profesi fasilitator tidak terlepas dari kerja sama tim karena keberhasilan program bergantung pada kerja sama tim yang solid. Kerja sama tim akan menghindari atau memperkecil peluang konflik. kerja sama ini bukan hanya dibangun pada satu level saja tetapi harus dibangun antar sesama diseluruh level, sehingga sebuah kegiatan operasional dapat dilakukan dengan baik. Bayangkan jika sebuah kegiatan operasional tidak berjalan karena tidak adanya kerja sama yang baik, tentu saja kegiatan akan jalan ditempat, bahkan tidak memperoleh hasil maksimal.

Peran seorang pemimpin dalam membangun sebuah kerja sama tim sangat penting dalam pemberian tugas, mengakomodir ide dan mengambil keputusan serta bertanggungjawab setiap tindakan yang dilakukan. Sikap egois dan tidak bijaksana serta mementingkan individu harus dihindari karena menggangu kerja sama tim sekaligus membuka peluang konflik. Membangun solidaritas tim dilakukan dengan mengedepankan sikap saling terbuka, saling menghargai, mengutamakan kepentingan tim dan sesering mungkin melakukan pertemuan.

Pertama, saling terbuka. Sebuah tim yang solid harus saling terbuka satu sama lain sehingga antar sesama anggota bisa saling mengkritik yang membangun dan mengevaluasi hasil kerja tim. Bersikap terbuka antar sesama anggota tim juga dapat meningkatkan kreatifitas dan produktifitas kerja asalkan semuanya terarah dan terkontrol dengan baik.

Kedua, saling menghargai. Sikap saling menghargai juga dibutuhkan dalam membangun sebuah kerja sama tim yang kokoh. Saling menghargai juga dapat dilihat pada saat mengeluarkan pendapat atau ide serta mengambil keputusan.

Ketiga, mengutamakan kepentingan tim. Setiap yang dilakukan oleh anggota tim harus berdasarkan atas kepentingan tim, tidak boleh ada unsur pribadi dalam setiap melaksanakan pekerjaan. Tugas pemimpin adalah memastikan bahwa setiap anggota tim yang terlibat dalam melaksanakan tugas harus sesuai dengan kesepakatan tim dan tugas tersebut diselesaikan tepat pada waktunya.

Keempat, mengadakan acara. Sesering mungkin melakukan pertemuan atau acara kumpul bersama untuk meningkatkan kekompakan tim, sehingga hubungan antar sesama anggota menjadi semakin kuat. Setiap acara yang dibuat harus melibatkan setiap anggota tim, tujuannya adalah menjalin hubungan interpersonal dan memperkuat kerja sama tim.

  1. Bersikap inklusif dan populis

Manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan bantuan dan berinteraksi dengan orang lain karena manusia tidak bisa hidup sendirian. Dengan demikian sikap merasa diri benar, hebat dan menutup diri merupakan pengingkaran sebagai makhluk sosial. Berinteraksi dengan orang lain memang merupakan fitrah atau sunnatullah yang pasti dijalani. Dengan interaksi, akan saling mengenal yang gilirannya terjalin hubungan yang harmonis yang menjunjung nilai – nilai moralitas dan budaya. Dengan interaksi akan membentuk suatu komunitas (community), masyarakat (society), kelompok dan golongan yang saling bekerja sama membangun solidaritas sosial.

Interaksi membangun sikap inklusif dan populis. Interaksi yang baik adalah membuka diri, baik secara internal maupun eksternal. Internal, menjalin komunikasi dan soliditas sesama fasilitator. Hubungan kerja tidak semata-mata dari garis vertikal antara bawahan dengan atasan, melainkan hubungan horizontal yang memandang persamaan perlu dilakukan. Meluangkan waktu sharing informasi dan membuka ruang diskusi merupakan sikap inklusif dan populis.

Begitu pula membuka diri berinteraksi dengan stakeholders potensial dalam menyikapi persoalan kemiskinan dan langkah penanggulangannya, antara lain pemerintah, sektor usaha, masyarakat, kelompok strategis seperti Pers, LSM dan perguruan tinggi. Perlu disadari bahwa kemiskinan tidak akan mampu diatasi oleh fasilitator semata, melainkan adanya kerja sama seluruh stakeholders karena masing-masing memiliki peran strategis, seperti Pemerintah dan DPR dengan alokasi anggarannya, sektor usaha dengan peluang kemitraan serta Pers, LSM dan perguruan tinggi dengan ide, dukungan dan kontrol terhadap keberhasilan program.

  1. Kualitas Pola Rekrutmen yang Diutamakan

Dalam meningkatkan hasil kerja mencapai tujuan program dibutuhkan fasilitator profesional terdiri dari tiga faktor dasar, yakni: attitude (perilaku), knowledge (pengetahuan), dan skill (keterampilan).

Faktor perilaku meliputi: Pertama, mencintai, menikmati, dan bangga terhadap pekerjaannya. Kedua, bekerja tuntas, dan mempunyai etos kerja tinggi. Ketiga, tidak pernah berhenti untuk belajar. Keempat, kelayakan untuk dipercaya sebagai fasilitator. Kelima, memiliki jiwa melayani dan empati kepada masyarakat. Sementara itu, faktor pengetahuan di antaranya, memiliki pendidikan dasar formal, pengalaman bekerja, berorganisasi, di bidang pemberdayaan, dan pendidikan tambahan. Sedangkan faktor keterampilan, fasilitator dituntut untuk memiliki kemampuan manajemen, kepekaan dalam membaca situasi, dan berkomunikasi yang baik dengan orang lain.

Untuk melahirkan fasilitator yang profesional dibutuhkan pula sistem yang berkualitas. Mulai dari proses rekrutmen hingga pada tahap pembinaan. Dari proses rekrutmen yang sarat KKN mustahil melahirkan fasilitator yang profesional. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem rekruitmen yang fokus pada kualitas serta pembinaan yang berorientasi pada kinerja dan prestasi dengan ”reward and Punishment” yang tegas.

Pola rekrutmen berkualitas adalah pelaksanaan rekrutmen melalui mekanisme yang dikelola secara transparan dan profesional. Transparan berarti rekrutmen dilakukan secara terbuka terkait informasi tentang mekanisme dan waktu mulai persyaratan, pendaftaran, proses penilaian hingga diperolehnya hasil. Bila perlu informasi disampaikan melalui media yang tersedia. Sedangkan profesional berarti mekanisme dilalui dengan baik oleh calon maupun pihak yang merekrut dengan melepaskan faktor primordialisme. Pola ini berlaku diseluruh event, baik mencari tenaga baru, mengisi jabatan maupun pengiriman peserta dalam mengikuti kegiatan Nasional, seperti pemandu nasional dan lain sebagainya.

Dalam rekrutmen dan seleksi harus menggunakan pendekatan yang terintegrasi untuk dapat mengenali calon yang memiliki nilai-nilai pribadi, talenta, kompetensi, dan latar belakang pengalaman yang sesuai dengan karakteristik jabatan atau profesi. Pendekatan ini dilakukan agar setiap proses rekrutmen dan seleksi yang dijalankan dapat memberi manfaat bagi kedua pihak, yaitu calon dan perusahaan/organisasi yang membuka rekrutmen.

  1. Pertegas Sistem Reward and Punishment

Dalam manajemen sumberdaya manusia (SDM) sistem reward and Punishment merupakan dua bentuk metode dalam memotivasi seseorang untuk melakukan kebaikan dan meningkatkan prestasinya. Kedua metode ini sudah cukup lama dikenal dalam dunia kerja maupun bidang lainnya, termasuk dunia pendidikan. Reward yang efektif adalah berorientasi pemberian penghargaan secara terbuka sehingga setiap fasilitator memiliki peluang untuk meraihnya.

Bentuk penghargaan kepada fasilitator yang bekerja profesional, produktif, terampil dan rajin, reward dapat berwujud banyak rupa. Paling sederhana berupa kata-kata seperti ucapan selamat dan dukungan adalah salah satu bentuknya. Bentuk lainnya berupa piagam, hadiah atau jenjang karir sehingga penghargaan itu meningkatkan prestasi bagi dirinya dan orang lain.

Begitu pula dengan penerapan Punishment harus dipertegas sebagai hukuman atau sanksi yang diberikan ketika terjadi pelanggaran. Pihak penentu kebijakan harus tegas terhadap fasilitator yang melanggar aturan program secara wajar dan adil tanpa memandang latar belakang dan siapa dibelakangnya sehingga muncul motivasi untuk memperbaiki kesalahan.

Dengan kata lain, bagi yang bersalah harus ditindak tanpa ada perbedaan karena bukan saatnya lagi menutup-nutupi dan mempertahankan kesalahan. Kita mengetahui, faktor kedekatan menjadi kendala penindakan, namun disinilah para penentu kebijakan diuji dan menunjukkan keberaniannya menegakkan keadilan sekaligus menciptakan tenaga profesional, berkualitas dan didukung suasana kerja yang nyaman. Setiap orang butuh pekerjaan, namun kualitas kerja juga diutamakan, termasuk disiplin. Oleh karena itu, mekanisme atau proses pemberian reward dan panishment harus diterapkan dengan mengacu beberapa variabel seperti motivasi, kinerja, kepuasan, keadilan dan kepatuhan pada peraturan.

By @hanafirusli

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!