Ilustrasi; Pixabay
Bagi yang sering membaca buku motivasi pasti pernah mengetahui buku The Magic of Thinking Big karangan David. J. Schward yang dalam Bahasa Indonesianya diterjemahkan menjadi Berpikir dan Berjiwa Besar.
Buku ini sangat berguna untuk membangun motivasi diri, terutama bagaimana memandang orang lain dan menempatkannya dalam perspektif yang benar. Pikiran dan mata kita benar-benar dibuka saat membaca lembar demi lembar buku ini, sehingga sangat berpengaruh dalam cara berpikir dan menempatkan orang lain pada perspektif yang benar.
Aku membaca buku ini saat di awal-awal masuk kuliah di tahun 2011 lalu, dan itu sangat berpengaruh dalam membentuk kepribadianku. Beberapa bagian yang kuanggap penting dari buku ini aku tuliskan dalam buku catatan sehingga sewaktu-waktu bisa aku baca kembali tanpa harus membaca keseluruhan isi buku.
Seperti salah satu judul dalam buku itu yaitu, Bagaimana Berpikir Besar yang aku catat pada 11 Maret 2011 lalu. Sepertinya perlu aku ulas dalam tulisan motivasi ini sebagaimana saran dari @steemiadi yang ingin melihat karyaku dalam bidang motivasi.
Buku catatanku
Berpikir Besar
Di dalam buku Berpikir dan Berjiwa Besar dijelaskan bahwa pemikir besar adalah ahli dalam menciptakan gambar yang positif, memandang ke depan dengan baik, dan optimis dalam pikiran mereka sendiri maupun pikiran orang lain. Oleh karena itu, untuk berpikir besar maka kita harus menggunakan kata dan frase yang menghasilkan citra atau gambar mental yang positif dan besar.
Jadi ketika kita berpikir tentang suatu hal, maka tempatkanlah pada bagian positif lewat perkataan yang kamu ucapkan pada diri sendiri.
Misalnya saja seperti, “saya memang gagal di tes CPNS kali ini, tapi saya belum kalah karena ada kesempatan di tes berikutnya dan saya akan mencobanya lagi.”
Dalam berpikir besar ini memang sulit dilakukan karena terkadang kita susah menempatkan sesuatu dalam perspektif yang benar, terlebih bila pengaruh dari lingkungan sekitar kita buruk. Bahkan budaya membanding-bandingkan dengan orang lain kerap menjadi tabir hitam yang menutup jalan pikiran kita.
Misalnya saja “Si Bunga baru sekali ikut tes CPNS sudah lulus, kamu kok lima kali tes juga nggak lewat-lewat?”
Ucapan membanding-bandingkan seperti itu sering kali kita dengar, bahkan sejak di dalam rahim pun pernyataan tersebut kerap kita dengar. Tanpa disadari perkataan negatif tersebut membenamkan kita ke lubang pemikiran kerdil sehingga akan berpengaruh bagi kehidupan.
Dulu saat saya hamil, saya sering sekali mendapat pernyataan dan pertanyaan dari ibu-ibu, “kok kecil kali perutnya kayak nggak hamil saja” ujar si Ibu.
“Ukuran tubuh saya kecil, ya wajarlah perut saya juga kecil saat hamil,” jawabku dengan penuh keyakinan.
“Anak saya ukuran tubuhnya juga sama kayak kamu, tapi waktu hamil perutnya besar. Itu pasti waktu lahir anak kamu kecil nantinya,” ujar si Ibu dengan tak kalah yakinnya.
“Setiap orang kan beda-beda bu, begitu pula ketebalan kulit perut juga berpengaruh pada ukuran perut saat hamil. Bukan berarti perut kecil anaknya juga ikut kecil dan perut besar anaknya ikut besar,” ujarku dengan sedikit kesal.
Contoh di atas sedikit gambaran tentang budaya membandingkan dalam kehidupan kita. Pernyataan tersebut dikenal sebagai baby shaming yaitu istilah yang digunakan untuk menggambarkan kegiatan body shaming sejenis bullying yang dilakukan kepada bayi atau wanita hamil dengan mengomentari bentuk fisik seseorang.
Bayangkan saja, di dalam kandungan saja sudah mendapatkan pikiran negatif dari lingkungannya, apalagi setelah lahir akan banyak perbandingan-perbandingan lainnya seperti “kok badan bayinya kecil ya? Eh, belum pandai berjalan ya anaknya, anak si Melati sudah bisa berjalan sejak umur 9 bulan, Aduh nak kenapa menghitung saja kamu tidak bisa, lihat tuh teman-temanmu sudah bisa semua.”
Akibatnya kita tidak bisa menerima sesuatu yang berbeda dari kebiasaan orang lain sehingga membuat jiwa menjadi sempit karena dirasuki pikiran-pikiran sempit tersebut. Sering kali iri hati, dengki, khianat, cemburu, marah, dan pikiran negatif lainnya muncul bila kita tidak mampu untuk berpikir besar.
Untungnya aku pernah membaca buku Berpikir dan Berjiwa Besar ini, sehingga aku mencoba menempatkan orang lain yang memberiku kalimat negatif dengan menempatkannya ke dalam prespektif yang benar.
Berikut dua jalan yang bisa dilakukan untuk menempatkan orang lain dalam prespektif yang benar.
Miliki pandangan yang seimbang dengan orang lain. Bila kita hendak menghakimi orang lain, lihat dulu diri kita bagaimana posisinya dibalik. Kita berada di posisi dia dan dia berada di posisi kita. Apakah kita pantas menghakiminya sepihak?
Kembangkan sikap penuh pengertian. Terkadang ada orang yang ngomong semaunya, ceplos-ceplos, atau marah-marah kepada kita atas suatu perkara atau hal. Jangan beranggapan bahwa orang itu tidak baik karena mungkin saja dia sedang mempunyai masalah atau pembawaannya memang seperti itu. Pahamilah bahwa setiap orang itu unik dan anggaplah itu sebuah hal yang kecil untuk dilupakan.
Bila kita sudah bisa menempatkan orang lain dalam prespektif yang benar, maka mudah bagi kita untuk berpikir besar yang pada intinya akan membawa kita menjadi orang yang berjiwa besar. Sebab, jiwa kita tidak terganggu lagi dengan hal-hal kecil yang mengusik pikiran karena pikiran kita sudah besar.
Seperti perkataan BJ Habibi “Ketika seseorang menghina kamu itu adalah sebuah pujian bahwa selama ini mereka menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan kamu, bahkan ketika kamu tidak memikirkan mereka.”
Jadi, tak perlu ambil pikir ketika orang lain tidak menyukaimu atau menilai buruk tentangmu. Yang perlu kamu lakukan ialah berpikir besarlah agar jiwamu ikut menjadi besar.